BUKAMATA - Menurut Benn Steil dalam buku The Marshall Plan: Dawn of the Cold War (2018), yang dikhawatirkan Amerika Serikat sebenarnya bukanlah agresi militer Soviet. Tetapi tantangan ekonomi dan dinamika sosial politik yang diprediksi akan segera melanda negara-negara Eropa Barat usai PD II.
Marshall Plan selama ini disebut-sebut sebagai bantuan luar negeri paling sukses yang pernah Amerika berikan selama Cold War. Sebagian bahkan mengklaimnya sebagai the most successful plan in the history of the United States, bantuan paling berhasil sepanjang sejarah Paman Sam.
Kalau di Amerika Serikat ada Marshall Plan, maka di Indonesia ada Sumpah Pemuda yang sangat melegenda. Anis Matta, seorang pakar geopolitik yang juga Ketum partai Gelora mengatakan bahwa Sumpah Pemuda adalah buah keberhasilan para founding fathers dalam menjadikan merdeka dari penjajahan kolonial Belanda sebagai collective mind anak bangsa.
Dalam paradigma jaringan sosial, merdeka dari penjajahan kolonial Belanda adalah konten paling signifikan yang mampu mengikat mayoritas rakyat Indonesia saat itu. Mayoritas anak bangsa penghuni Nusantara saat itu terkoneksi kuat dengan konten merdeka. Bahkan merdeka kemudian menjadi pikiran dan keinginan kolektif mereka.
Tentunya sangat menarik untuk mengetahui apa konten yang sekarang paling banyak diperbincangkan oleh anak bangsa yang sejak pilpres 2019 lalu terbelah menjadi cebong & kampret. Gotong royong yang selama ini menjadi jati diri bangsa tetiba tercabik-cabik oleh ritual politik 5 tahunan.
Jika konten yang paling banyak dibicarakan oleh mayoritas jaringan sosial dari Sabang sampai Merauke itu ditemukan, lalu ada komposer ulung yang piawai mengalirkannya ke seluruh jaringan sosial tersebut, maka insya Allah kita akan melihat adanya gelombang rakyat di mana-mana.
Konten yang paling signifikan itu akan membuat jaringan-jaringan sosial yang tersebar dari Miangas hingga pulau Rote menjadi saling terkoneksi. Konten ini menembus batas-batas geografi dan sekat-sekat sosial, sehingga dikotomi Jawa dan non Jawa, Islam dan Nasionalis, Santri dan Abangan menjadi tidak relevan lagi bagi mayoritas anak bangsa. Apalagi hanya sekedar cebong dan kampret.
Kemudian jika sang komposer mampu mengcompose konten ini sedemikian rupa hingga bisa menjadi collective mind anak bangsa, maka oligarki, penjajahan, pembelahan, politik identitas dan sejenisnya bukan hanya menjadi tidak relevan, tapi bahkan akan menjadi common enemy atau musuh bersama mereka.
Karena begitu konten paling signifikan ditemukan, lalu sang komposer handal melakukan composing dan decomposing konten ke semua jaringan sosial, maka saat sang komposer meningkatkan ritme composing dan decomposing di momentum yang tepat, “Mak jeddeerr! Tiba-tiba terjadi gelombang rakyat yang sulit dibendung oleh Xi Jinping atau Vladimir Putin sekalipun.”
Editor : Redaksi