BUKAMATA - Ketidakjelasan Pilpres AS ini pertama kali terjadi dalam sejarah Pilpres di sana.
Masing masing kubu mengklaim kemenangan dan bisa jadi nanti akan terjadi penolakan hasil pilpres kali ini.
Persaingan yang cukup panas ini menunjukkan, bahwa negara sebesar AS saja masih belum lepas dari intervensi asing dalam pilpres mereka.
Negara dengan status demokrasi mapan ini, masih mengalami banyak masalah. Sekaligus memberi sinyal, bahwa AS saat ini sudah lemah.
Pilpres AS 2016 lalu juga masih meninggalkan banyak PR dan dianggap sebagai pilpres hasil intervensi asing. Terutama China dan Rusia.
Pada dasarnya, siapa saja yang terpilih nanti baik Donald Trump atau Joe Biden, kebijakan AS 10 atau 15 tahun ke depan tidak akan keluar dari kesibukan mereka mengurus soal China dan Rusia.
AS ke depan, masih akan disibukkan dengan segala upaya membendung hegemoni China yang semakin kuat di dunia. Baik Trump atau Biden akan menomorsatukan isu ini.
AS sedang berada di persimpangan jalan, ke depan mereka akan sangat repot dengan China dan Rusia, khususnya. Maka, tidak akan banyak perubahan siapapun yang akan menang pilpres kali ini.
Terkait dengan dunia Islam, mereka tidak akan terlalu fokus mengurus isu ini, terutama kalau Trump yang menang lagi. Akan lain ceritanya jika Biden yang menang. Orang ini punya masalah dengan Dunia Islam.
Pilpres AS kali ini juga tidak lepas dari intervensi asing, China dan Rusia sudah lama berupaya masuk mengganggu Pilpres AS. Rusia lebih suka sama Trump, sedangkan China lebih suka kepada Biden, mengingat tidak ada pilihan ke-3 untuk China.
China sendiri berhasil menganggu pilpres AS kali ini. Ini wajar. Karena, AS selama ini di bawah Trump, juga sangat memusuhi China. Di Taiwan dan di Hong Kong, adalah bukti kongkretnya. Wajar kalau China juga melakukan fight back.
Ketidakpastian dan kekacauan pilpres AS kali ini, tentu memberikan kredit kepada politik luar negeri China dan Rusia. Ini sebenarnya yang mereka inginkan.
AS siapapun nanti yang terpilih sebagai presiden definition 4 tahun ke depan, tetap akan sangat frustasi dalam membendung China dan Rusia.
Kejatuhan AS ini sangat penting untuk dunia Islam. Tinggal kita yang beradaptasi dengan China jika nanti China ambil alih kekuasaan dunia.
Kejatuhan AS akan sangat berimbas langsung kepada negara Islam. Minimal, melemahnya AS akan sangat berefek kepada banyak isu-isu dunia Islam.
Melemahnya AS, akan ikut langsung melemahnya Israel dan sekutunya. Sedangkan jika China menggeser AS nanti, maka tinggal pandai-pandai saja kita membawa diri. China satu benua dengan kita Indonesia, seharusnya kita jauh lebih fleksibel dan lebih mudah diplomasinya.
Karena pada dasarnya, isu-isu anti-China di Asia termasuk Indonesia, adalah bagian dari propaganda media-media dunia yang dikuasai AS, juga bagian dari operasi intelijen mereka dalam logika persaingan mereka.
Begitu juga dengan negara Islam lain, khususnya di timur tengah. Melemahnya AS, akan sangat menguntungkan dan akan memberikan banyak kebaikan jangka panjang. Tinggal negara-negara Islam saja nanti pandai-pandai berdiplomasi dengan China, saat negeri tirai bambu itu menggantikan posisi AS.
Kebijakan luar negeri China berbeda jauh dengan kebijakan luar negeri AS selama ini. Doktrin China bukan doktrin perang. Tetapi China lebih mengutamakan doktrin bisnis dan kemajuan bersama. Beda dengan AS yang selalu melakukan pendekatan konflik dan militer saat menghadapi negara lain.
Pada dasarnya, China bukan musuh besar dunia Islam. Apalagi China saat ini memang bukan penguasa dunia. Sekali ditekankan, bahwa kita harus pandai-pandai membawa diri dengan iklim dunia yang baru. Karena kalau kita bodoh dan tidak cerdas, siapapun yang memimpin dunia tetap tidak akan membawa masalah untuk kita.
Oleh sebab itu, pemimpin Indonesia ke depan haruslah sosok-sosok yang lihat dan jago soal-soal Geopolitik Internasional. Agar bisa mengambil satu kebaikan di antara dua pilihan keburukan.
Indonesia ke depan wajib punya pemimpin yang punya visi yang jelas dan ajib, sudah khatam soal-soal isu dunia dan Geopolitik Internasional.
Pemimpin Indonesia ke depan harus berasal dari sosok-sosok visioner yang mampu memahami banyak bahasa dunia secara maknawi, bukan sekadar menguasai bahasa asing secara akademik.
China, Rusia, bukan musuh kita. Kita mungkin perlu belajar kepada Turki yang mampu memanfaatkan kedua negara itu untuk kepentingan penguatan dalam negeri mereka.
Kita perlu banyak belajar soal visi-visi besar dunia, agar politik kita tidak terus-menerus jalan di tempat meributkan isu-isu recehan semacam isu haluan kiri, kanan, pancasila, radikal, jualan ayat hadits, dan seterusnya.
Karena Indonesia adalah negara besar, maka butuh visi, misi, ilmu, dan narasi besar dalam memahami Indonesia ke depan. Bukan lagi berkutat pada tema-tema recehan yang terus membelah bangsa.
Kita akan ketinggalan jauh kalau kita tidak mampu memahami dan menyikapi isu-isu dunia ke depan. Kita akan jauh tertinggal kalau gaya berpolitik kita masih terus-terusan dalam kebisingan tanpa ujung dan tidak bermanfaat sama sekali dalam mendorong Indonesia ke pentas dunia.
Editor : Redaksi