Pasca wabah Covid 19, kondisi perekonomian khususnya pangan di semua negara masih dalam pemulihan, tak terkecuali Indonesia. Kondisi ini pun semakin berat diwujudkan karena kemelut perang Rusia dan Ukraina hingga kini belum menemukan titik damai sehingga berdampak pada penyediaan pangan di berbagai negara, khususnya komoditas gandum. Ekonomi dan pangan pun mendapat ancaman nyata ke depannya, dunia mengalami cuaca ekstrim. Lagi-lagi, Indonesia pun merupakan salah satu negara yang tak bisa lari dari kondisi buruk ini.
Situasi konflik antara Ukraina dan Rusia membuat produksi dan distribusi gandum negara keranjang roti Eropa ini mengalami distorsi. Mengutip data BPS, Ukraina sempat menutup keran ekspor gandumnya. Lagi-lagi Indonesia pun merasakan dampaknya. Impor gandum dari Ukraina hanya sebanyak 5.509 ton pada tahun ini. Volume ini turun jauh dari volume 2021 ketika Ukraina menjadi negara asal impor gandum terbesar kedua Indonesia.
Akibatnya, kini Indonesia mengandalkan impor gandum dari Australia dan Argentina. Indonesia mengimpor gandum dari Australia sebanyak 2,06 juta ton pada Januari-Juli 2022. Sementara, impor gandum dari Argentina mencapai 1,47 juta ton. Kedua negara ini mencakup 64,1?ri total impor gandum Indonesia pada periode tersebut. Indonesia pun mengimpor gandum dari Kanada sebesar 694 ribu ton, Brasil 594 ribu ton dan India sebesar 545 ribu ton.
Parahnya lagi, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto beberapa pekan lalu mengatakan sejumlah negara pengekspor gandum masih belum menunjukkan tanda-tanda akan memulai kembali pengiriman produk tersebut. Terdapat 9 negara yang menghentikan ekspor gandumnya, yakni Kazakhstan hingga 30 September, kemudian Kirgizstan, India, Afghanistan, Algeria, Kosovo, Serbia dan Ukraina sampai 31 Desember mendatang.
Berangkat dari ini, mau tak mau pemerintah, perguruan tinggi dan anak bangsa harus berpikir dan bertindak cerdas, inovatif dan out off the box. Indonesia sebagai negara berkembang, tentunya sebuah keniscayaan untuk melakukan impor pangan. Tapi, Indonesia harus bisa memenangkan kondisi tersebut bahkan menyediakan pangan bagi dunia.
Perang Rusia-Ukraina dan cuaca ektrim dunia menjadi cambuk dan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan dan menggali potensi pertanian sebagai alternatif pangan dan berdaulat pangan. Perang Rusia-Ukraina menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk mengurangi impor gandum alias mengembangkan budidaya sorgum sebagai pangan alternatif substitusi gandum.
Peluang Pengembangan Sorgum
Presiden Jokowi pun merespon dengan sangat serius terhadap ancaman pangan dunia yang berdampak pada Indonesia, khususnya soal gandum. Tak ayal, Presiden Jokowi telah memberikan titah kepada jajarannya untuk mengembangkan budidaya sorgum sebagai pangan alternatif substitusi gandum. Presiden Jokowi memerintahkan para menteri terkait untuk meningkatkan produksi dan hilirisasi sorgum. Hal ini diungkapkanya saat melakukan penanaman bibit dan meninjau panen sorgum di Kabupaten Sumba Timur, NTT pada tanggal 2 Juni 2022.
Pengembangan sorgum di Indonesia bukanlah hal sulit. Pasalnya, tanaman serealia ini mampu tumbuh secara baik pada lahan-lahan marginal, dimana jenis tanaman pangan lainnya tidak bisa tumbuh secara optimal. Di daerah-daerah yang sering mengalami kekeringan atau mendapat genangan banjir, tanaman sorgum masih dapat diusahakan.
Selain itu, Indonesia sendiri memiliki areal yang berpotensi untuk pengembangan yang sangat luas, meliputi daerah beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah yang kurang subur. Artinya, ada peluang yang cukup besar untuk meningkatkan produksi sorgum melalui perluasan areal tanam.
Pengembangan sorgum di Indonesia sudah lama dilakukan. Misalnya, Badan Litbang Kementerian Pertanian pada tahun 2012 mengembangkan sorgum di Sidrap seluas 3.200 hektar. Pada tahun 2013, melakukan pencanangan pengembangan sorgum di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Badan Litbang Kementerian Pertanian mengirimkan benih bantuan sebanyak 1,5 ton untuk ditanam di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Luas pertanaman yang diusahakan mencapai 200 ha yang diutamakan untuk pangan.
Tak ayal, Indonesia menjadi peringkat ke 8 penghasil Sorgum di dunia. Namun sayangnya Indonesia termasuk negara yang masih ketinggalan, baik dalam penelitian, produksi, pengembangan, penggunaan, maupun ekspor sorgum. Daerah penghasil sorgum dengan pola pengusahaan tradisional di Indonesia adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), Sulsel, Sulteng dan sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Oleh karena itu, penulis menilai program yang digaungkan pemerintah saat ini dalam membangkitkan hulu- hilir sorgum sangatlah tepat. Setidaknya, untuk menekan ketergantungan impor gandum yang selama kian naik. Sorgum pun untuk memperkuat ketahanan pangan dalam menghadapi tantangan cuaca ekstrim.
Hingga hingga Juni 2022, pemerintah telah mengembangkan sorgum seluas 4.355 hektar yang tersebar di 6 provinsi. Tak main-main provitasnya mencapai 3,36 ton per ha sehingga produksinya mencapai 15.243 ton.
Pemerintah menargetkan pada tahun ini setidaknya terdapat 15.000 hektare lahan yang sudah ditanami sorgum. Kabupaten Waingapu NTT menjadi salah satu wilayah prioritas pengembanganya. Pemerintah pun menyiapkan pengembangan sorgum di tahun 2023 seluas 115 ribu hektar dan di tahun 2024 sebesar 154 ribu hektar.
Harapan
Sorgum merupakan salah satu komoditas sumber karbohidrat yang kaya akan produk turunannya. Selain dapat dijadikan substitusi gandum dan beras, hasil utama dari sorgum adalah nira dari batangnya yang selanjutnya bisa diolah menjadi bioetanol dan gula kristal.
Gandum sendiri merupakan bahan baku pembuatan tepung terigu. Sementara itu, tepung terigu merupakan bahan baku dalam beberapa produk makanan, seperti mi instan, roti, dan biskuit. Oleh karena itu, menjadikan sorgum sebagai alternatif pangan sangat tepat untuk penguatan ketahanan pangan dalam menghadapi tantangan pangan dunia dan menjadikan sektor pertanian sebagai bantalan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, dalam pengembangan sorgum ada beberapa hal yang menjadi catatan penting. Pertama, pengembangan sorgum di Indonesia harus diakui masih ketinggalan, baik dalam penelitian, produksi, pengembangan, penggunaan, maupun ekspornya. Untuk itu, pengembangan hulu-hilir sorgum perlu dilakukan berbasis korporasi dengan pelibatan perguruan tinggi. Tentunya ini untuk menerapkan pola budidaya modern yang menggunakan benih unggul, mekanisasi pertanian, penanganan pasca panen yang maju dengan menghasilkan produk berkelas industri dan hingga penyediaan modal dan pasar melalui off taker.
Kedua, pengembangan sorgum tentu terkendala pada faktor ketersediaan lahan. Pasalnya, lahan-lahan produktif hingga lahan marginal saat ini telah tertanami komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, salah satu buktinya jagung. Petani di berbagai daerah hingga saat ini masih memilih menanam jagung karena harganya sangat menguntungkan dan budidaya cukup mudah. Tak heran lahan yang dulunya tidur, kini ditanami jagung sehingga menjadi ladang uang bagi petani. Dengan begitu, ini menjadi tantangan nyata dalam pengembangan sorgum. Penyediaan lahan harus benar-benar dipetakan. Sebab jangan sampai terjadi paradox, yakni kita mengembangkan sorgum namun justru menurunkan produksi komoditas lainnya.
Ketiga, manfaat sorgum masih minim di kalangan publik, khususnya generasi muda. Untuk itu, peran anak muda dan perguruan tinggi pun sangatlah penting karena sampai saat ini banyak anak muda yang belum mengetahui tentang manfaat dan nilai bisnis sorgum. Tepung sorgum memiliki keunggulan bebas gluten yang mengandung niasin, thiamin, vitamin B6, dan juga zat besi. Kemudian tak hanya sebagai pangan alternatif penganti beras dan gandum, tetapi juga sebagai bahan pakan dan bahkan dapat menghasilkan bio ethanol.
Ketiga, setiap varietas sorgum membutuhkan treatment berbeda. Oleh karena itu, kunci pengembangan sorugm adalah melakukan pendampingan kepada petani agar bisa melakukan produksi pertanian dengan teknik yang tepat.
keempat, pengembangan suatu komoditas sangat ditentukan jika adanya pengembangan hilir. Sebab, ini terkait sekali dengan jaminan pasar dan harga karena hukum yang berlaku di petani sangat sederhana, yakni ketika harganya sangat bagus, maka melakukan tanam tentu tak perlu disuruh apalagi dipaksa.
Editor : Redaksi