Tahun 2011 lalu melalu WAPRES Boediono, saya mewakili APTISI menolak adanya perguruan tinggi asing di Indonesia, dengan alasan pemerintah belum maksimal membina PTS yang ada di Indonesia. Jika PT asing datang pasti akan menggerus mahasiswa PTS besar, dan PTS besar akan mengambil pasar PTS sedang dan PTS sedang akan mengambil PTS yang lebih kecil. Akhirnya PTS kecil tutup gulung tikar
Pada prinsipnya jika PTS diberikan waktu menata diri dengan pendampingan dan bantuan dari pemerintah, maka dengan sendirinya PTS akan jauh lebih kuat menghadapi persaingan “bisnis pendidikan”. Kendala yang besar juga paradigma dan nomenklatur bahwa pendidikan di Indonesia adalah nirlaba, sedangkan PT asing yang beroperasi dari negaranya mereka sudah mengunakan nomenklatur BISNIS, bukan NIRLABA seperti pendidikan di Indonesia.
Sementara jika PT asing dibiarkan masuk ke Indonesia tanpa dengan persyaratan yang mengikat maka dapat diyakini akan menghancurkan pendidikan tinggi kita, khususnya PTS kecil. Permintaan APTISI kepada Wakil Presiden Boediono, saat tahun 2011, disalurkan melalui Rancangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Selanjutnya Perguruan tinggi luar negeri atau asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus memenuhi syarat yang tercantum pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Diperbolehkannya perguruan tinggi asing dapat masuk ke Nusantara hali ini terkait dengan Indonesia sudah melakukan ratifikasi terhadap General Agreement on Trade in Services [GATS] tahun 2004, negara-negara yang menandatangani GATS sepakat bahwa jasa akan diperdagangkan secara bebas di negara-negara yang meratifikasi GATS termasuk Indonesia," PTA yang masuk ke Indonesia tidak bisa dibendung begitu saja sebab Indonesia sudah meratifikasi satu perjanjian bersama dalam konteks perdagangan, yakni World Trade. Jenis jasa yang diperdagangkan ada berbagai macam, yakni wisata, kesehatan, bisnis termasuk pendidikan. Semestinya di tahun 2004 kita bisa menolak GATS saat itu, khususnya jasa pendidikan, tapi nasi sudah menjadi bubur, yang bisa dilakukan adalah persyaratan masuknya agar tidak sebarang perguruan tinggi asing masuk. Kita punya akar budaya yang harus dipertahankan, sementara budaya asing juga kita perlu mengadopsi yang baik-baik.
Disinilah titik temu yang harus dilakukan. Artinya jangan latah, karena Malaysia, Singapura termasuk Australia dan jepang mereka membuat regulasi PT asing yang masuk tidak sembaranagan, mereka melindungi perguruan tinggi lokalnya.
Dalam undang-undang nomor 12/2012 mengenai pendidikan tinggi itu memberikan batasanbatasan yang sangat ketat terhadap perguruan tinggi luar negeri yang akan beroperasi di Indonesia, dengan syarat yang tercantum di dalam undang undang nomor 12/2018. Maka, perguruan tinggi asing atau luar negeri yang ingin beroperasi di Indonesia harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
Pertama, hanya boleh beroperasi pada daerah-daerah tertentu.
Kedua, hanya boleh menyelenggarakan prodi (jurusan) tertentu di mana prodi tersebut belum ada atau masih jarang ada di pendidikan tinggi Indonesia, misal STEM (sciance, technology, engineering dan math).
Ketiga, harus bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia
Keempat, harus ada kurikulum tentang muatan lokal yang menjadi mata kuliah seperti bahasa Indonesia, agama, dan kurikulum tentang kewarganegaraan.
Kelima, harus mampu memberikan beasiswa pada masyarakat Indonesia kurang mampu dan memilikibakat dan kemampuan khusus.
Keenam, harus beroperasi di entitas pendidikan tinggi non-profit seperti perguruan tinggi dalam negeri yang sudah beroperasi selama ini.
Ketujuh, bersedia memberikan alih teknologi dan berkontribusi pada masyarakat Indonesia, khusunya perguruan tinggi..
"Jadi jiwa dari undang-undang nomor 12/2012 memberikan batasan-batasan yang ketat beroperasinya perguruan tinggi luar negeri di Indonesia.
Disisi lain membuka peluang masuknya perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia, akan melahirkan kompetisi baru bagi PT Lokal. Kebijakan Menristekdikti tahun 2018 membatasi 10 PTA masuk ke Indonesia. Hal ini bisa menjadi ajang kompetisi memacu kualitas pendidikan PTN dan PTS di Indonesia, tetapi juga bisa merugikan jika tak diatur sesuai kepentingan pembangunan nasional.
Harapan saya masyarakat tak mencurigai kehadiran perguruan tinggi di Indonesia. Saya menilai kehadiran PTA di Indonesia akan meningkatkan daya kompetitif perguruan tinggi di dalam negeri. Sejauh pemerintah sudah berusaha keras memberikan dukungan perundangan dan peraturan yang menjadikan PT Lokal menjadi tuan dinegeri sendiri, dengan pemerintah memberikan bantuan pada PTS melalui sarana dan prasarana yang memadahi, maka PTS akan siap menghadapi PTA, namun sebaliknya jika pemerintah tidak membuat regulasi yang menguntungkan PT lokal dan bantuan pada PTS, maka hal ini akan menjadikan atau membiarkan PT lokal mati.
Kebijakan perguruan tinggi asing di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, di mana diamanatkan jika perguruan tinggi asing diperkenankan menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri. “Tujuannya agar perguruan tinggi kita meningkatkan kualitasnya. Ini peluang yang harus ditangkap. Jadi nanti perguruan tinggi itu harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi lokal. Namun hal ini belum dimasukan secara tersirat dalam RUU SISDIKNAS yang menyatukan UU Sisidiknas, UU Pendidikan tinggi dan UU Guru dan Dosen, yang oleh APTISI diprotes kehadirannya, karena APTISI dan oraganisasi lain tidak dilibatkan.
Meski ada peluang tentu ada tantangannya. PTS maupun PTN di Indonesia sudah membuka kelas-kelas internasional yang memberikan kesempatan mahasiswa belajar lebih dibanding kelas regular. Memang biayanya lebih mahal. Bisa saja daripada mahasiswa Indonesia mengambil kelas internasional lebih baik kuliah di PTA. Akibatnya peminat kelas internasional, bisa saja berkurang. Walaupun mungkin hanya sedikit, karena banyak orang ingin kuliah keluar negeri untuk mencari pengalaman langsung.
Saya mengakui bahwa pemerintah harus menentukan kriteria perguruan tinggi asing yang dapat menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya, perguruan tinggi asing yang akan masuk ke Indonesia harus perguruan tinggi bonafid. Harus punya reputasi, tidak boleh yang ecek-ecek, sederhana begitu. Jangan sampai kita memasukkan sampah ke Indonesia. Tapi kita mau masukkan emas ke Indonesia.
Selain itu, nantinya akan ditentukan di mana saja perguruan tinggi asing itu dapat menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Program studi yang ditawarkan dalam kerjasama juga harus ditentukan dan mendapat persetujuan dari kementerian. Namun, belum ditentukan ada berapa banyak PTA yang akan menjalin kerjasama di Indonesia. Sebab masalah reputasi kampus itu menjadi pertimbangannya.
Pemerintah menjadikan Monash University akan menjadi kampus asing pertama yang akan beroperasi di Indonesia. Sementara pemerintah harus mengevaluasi dengan adanya PTA ini. Apa sudah sesuai dengan harapan pemerintah dan masyarakat atau belum.
Kampus asal Australia tersebut telah memulai kegiatan operasionalnya pada Sabtu 4/10/2018 dengan inagurasi bagi mahasiswa angkatan pertama. Perkuliahan dimulai secara virtual, yang bertahap transisi ke perkuliahan tatap muka yang akan mengikuti kebijakan pemerintah.
"Kita nantikan bersama bagaimana program akademik yang ditawarkan dan lulusan Monash dapat berkontribusi secara luas terhadap kemajuan bangsa,". Monash University Indonesia akan menggelar program pascasarjana magister dan doktoral yang akan berfokus kepada empat jurusan yang berorientasi masa depan yaitu Sains Data (Data Science), Kebijakan Publik (Public Policy), Desain Perkotaan (Urban Design) serta Inovasi Bisnis (Business Innovation).
Jurusan tersebut secara khusus dirancang untuk mendidik tenaga kerja Indonesia agar dapat berkontribusi lebih dalam membangun bangsa khususnya dalam aspek sosial, ekonomi dan teknologi. Dengan kata lain harapan APTISI menentang berdirinya PT asing saat tahun 2017 ada alasannya. Dan sekrang berbuah hasil dari kesepakatan kemenristekdikti dengan APTISI setelah pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2017 sudah ada hasilnya dan diterapkan oleh menteri Nadiem saat ini. Semoga kedepan ada dialog seperti ini dalam berbagai hal. Jangan sampai di demo baru berubah, saya kira kurang baik. Semoga
Editor : Redaksi