Konstruksi Strategi Perubahan: Sebuah Gerakan Politik Anggaran
Selasa, 10 November 2020 06:10
Politik anggaran merupakan ruang dialektika yang meningkatkan mobilitas moral dan komitmen etika pada masyarakat. Makalah ini juga menyimpulkan, politik anggaran, bekerja melalui kontrol strategi, dan bukan kontrol individual saja.
BUKAMATA - Hadirin yang saya hormati.
Pemerintahan daerah adalah organisasi yang sangat kompleks, serta berada dalam lingkungan yang bergejolak. Karenanya, kepala daerah sebagai manajer dalam organisasi ini diharapkan dapat memperkirakan dan mengidentifikasi kebutuhan, serta bereaksi terhadap kompleksitas sosial, demografi, ekonomi, dan masalah lingkungan (Camillus, 2008; Head, 2008; Head dan Alford, 2013). Artinya, manajer harus mampu memberikan tanggapan terhadap ekspektasi masyarakat yang berubah, memberikan respons terhadap harapan warga, dan mengalokasikan sumber daya langka (anggaran) secara efektif dan efisien, dimana hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan terefleksikan dalam formulasi kebijakan (Bolton dan Leach, 2002).
Konon, pergantian kepemimpinan akan diiringi pula dengan perubahan nilai-nilai politik dan ideologi dalam organisasi pemerintahan. Perubahan ini sering juga diiringi dengan perubahan konsep-konsep pemikiran yang berhubungan dengan masalah sosial, ekonomi, layanan publik, serta batas-batas dalam kehidupan pemerintahan. Namun, sepertinya perlu dicatat bahwa perubahan itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi dicapai/dibuat dengan sadar. Artinya, orang atau organisasi secara bertahap mengalami perubahan baik karena keinginan mereka sendiri maupun karena dorongan eksternal. Jadi, perubahan harus direncanakan dan perencanaan itu dapat mencapai tujuannya jika dikelola secara strategis.
Akan tetapi, disadari atau tidak pengelolaan ‘strategi perubahan’ dalam pemerintah daerah tidaklah mudah. Bahkan sampai saat ini belum ada konsensus mengenai apa makna di balik pernyataan mengelola secara stratejik dalam konteks pemerintahan daerah (Joyce, 2004). Menurut Joyce (2004), meskipun sebuah pendekatan stratejik bisa dijalankan, dalam arti tidak dinyatakan secara eksplisit atau “implisit tanpa strategi dokumen formal”, tetap saja pekerjaan merubah adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Seperti yang dikemukakan Head dan Alford (2013) bahwa mengelola strategi untuk berubah dalam dunia pemerintahan daerah yang secara masif sangat kompleks, bukan tugas yang sederhana. Menurut Camillus (2008), hal ini dikarenakan jenis masalah yang harus dibahas oleh pemerintah daerah adalah masalah yang sulit bahkan dapat dikatakan tidak mungkin untuk menguraikan gejala hanya dari masalah.
Grøn (2018) mengemukakan bahwa dalam situasi dimana tubuh pemerintahan daerah terus berubah, dibutuhkan adanya intervensi (strategi) untuk mengarahkan tujuan perubahan tersebut. Menurutnya salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menghindari tumpang-tindihnya (overlap) struktur permasalahan. Dalam hal ini, pemerintah daerah perlu mengembangkan sebuah kapabilitas lateral untuk memastikan tingkat konsistensi antara strategi organisasi dan host strategy / strategi dasar (misal: pendidikan, perumahan, lingkungan, anti kemiskinan, sistem informasi, keuangan, dan lain-lain) yang mereka miliki. Jika tidak, maka kesemrawutan dan ketidakjelasan akan menjadi kehidupan sehari-hari organisasi bersangkutan (Head, 2008). Oleh karena itu, seorang pemimpin perlu suatu cara yang sederhana baik dalam struktur maupun imajinasi untuk dapat menghindari chaos (Sandford dan Moulton, 2014).
Berkaitan dengan perubahan dan kebijakan, kaum positivis percaya bahwa masalah-masalah kebijakan merupakan kondisi yang objektif dimana keberadaannya dapat diciptakan secara sederhana dalam suatu kondisi tertentu (Parsons, 1997). Menurutnya, pandangan naif atas sifat masalah kebijakan, gagal untuk mengenali fakta-fakta yang sama. Sebagai contoh, statistik pemerintah yang memperlihatkan kejahatan, polusi, dan kemiskinan yang selalu berada dalam perubahan, sering dipahami berbeda (subjektif) oleh para pelaku kebijakan. Oleh karena itu, informasi sama yang relevan dengan kebijakan dapat menghasilkan definisi-definisi dan penjelasan-penjelasan yang berbeda. Hal ini terutama karena para pelaku kebijakan mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap sifat manusia, perubahan sosial, serta objek kebijakan itu sendiri.
Dengan demikian, kebijakan dapat dikaitkan sebagai refleksi pemaknaan stakeholder atas subjek kebijakan (misalnya akuntansi). Sementara, perubahan itu sendiri merupakan tanda dan bentuk perubahan (kebijakan) sebagai petanda. Oleh karena itu, dalam mengarahkan perubahan ke arah sebuah kebijakan akuntansi seperti yang terjadi di berbagai daerah, menurut saya adalah penting untuk mengetahui bagaimana pemaknaan stakeholder terhadap akuntansi sebagai tanda, dan bagaimana strategi perubahan dimainkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tulisan ini akan membahas bagaimana stakeholder mengelola perubahan dan mengkonstruksi kebijakan sebagai suatu tanda, dan bentuk perubahan sebagai petanda berdasarkan pemahaman mereka terhadap akuntansi (anggaran).
Dalam konteks makalah ini, saya ingin menunjukkan bagaimana pimpinan organisasi mampu melakukan re-engineering ‘strategi perubahan’ yaitu suatu rancangan strategi untuk meyakinkan agar perubahan tersebut dapat diterima oleh masyarakat daerah.
Hadirin yang saya hormati
Politik Anggaran: Makna Subjektif Accounting Man Atas Akuntansi (Tanda)
Isu penting dalam konteks strategi pemerintahan daerah adalah memperhatikan hubungan antara accounting man dan konteks (ruang dan waktu). Karenanya, kebijakan anggaran sebagai strategi untuk merespon perubahan tampak sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemahaman pelaku terhadap akuntansi (anggaran).
Selama ini, dalam banyak literatur, akuntansi telah dikonseptualisasikan sebagai informasi (Prakash dan Rappaport, 1977), bahasa (Boland, 1989; Jayasinghe et al., 2011; Graham, 2013), politik (Burchell et al., 1980), sihir (Gambling, 1977), mitos (Boland, 1982), ideologi (Tinker et al., 1982), dan eksploitasi (Morgan, 1988). Sementara, bukti dari hasil penelitian Syarifuddin (2011) menemukan bahwa kebijakan akuntansi (anggaran) sebagai peluang (change), harapan (hope), dan janji (promises) dalam arti metaforis. Pemaknaan stakeholder terhadap anggaran dalam studi tersebut, dipandang sebagai salah satu pendorong bagi stakeholder dalam mengarahkan dan mengatur perubahan.
Pandangan di atas, dapat ditelusuri melalui bukti-bukti berikut. Sebagai contoh, pemahaman kebijakan anggaran bagi staf keuangan pemerintah daerah yang memandang kebijakan anggaran sebagai sesuatu yang nyata dan merupakan hasil konstruksi sosial, Informan 1, seorang staf keuangan, misalnya mengungkapkan bahwa: ”kebijakan anggaran pemerintah daerah Seroja dalam membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya adalah sesuatu yang nyata (riil), dapat dirasakan langsung tidak saja bagi kami yang mengurusi belanja sektor tersebut, tetapi juga bagi masyarakat yang menikmatinya. Hal yang sama dikemukakan Informan 2, seorang Wali murid SDN Seroja, bahwa kebijakan pemerintah Seroja membebaskan pendidikan sungguh-sungguh sangat membantu dan nyata berpihak kepada rakyat miskin, seperti saya ini. Saya memandang kebijakan anggaran sebagai suatu harapan yang diberikan penguasa kepada rakyat.
Dua bukti di atas, jelas memandang kebijakan anggaran sebagai harapan (hope) dan ’janji’ (promises) yaitu melihatnya sebagai wujud yang dirasakan. Bagi Neyland dan Whittle (2017), pandangan ini merujuk pada akuntansi yang telah dimaterialisasikan. Dalam hal ini, akuntansi menjadi material atau objek yang bisa didefinisikan secara empiris. Dengan demikian, tepatlah yang diungkapkan Brown (2009) bahwa akuntansi adalah sesuatu yang nyata, dan dihasilkan secara sosial. Menurutnya, akuntansi dalam hal ini anggaran adalah sesuatu yang dirasakan (nyata sebagai suatu janji), karena anggaran adalah sesuatu yang nyata, dapat secara akurat diukur dan digambarkan. Oleh karena itu, menurut saya, kebijakan akuntansi didefinisikan sebagai proses produksi dalam bentuk material dari interaksi sosial sehingga dapat dipresentasikan sebagai media, dan hasil dari aktivitas sosial. Artinya, harapan yang dirasakan dari kebijakan anggaran adalah bersifat material, namun, tidak berarti bahwa hal ini adalah sebuah alam fisik. Sebaliknya, akuntansi adalah hasil dari praktek sosial, dan eksistensinya tergantung pada praktek sosial tersebut (Irvine dan Moerman, 2017). Akibatnya saya memandang, interpretasi stakeholder mengenai kebijakan anggaran merupakan indikasi proses, di mana harapan atas kebijakan anggaran diukur dan diberi label secara empiris.
Dialog saya dengan staf bagian keuangan yang mengurusi kebijakan anggaran menyimpulkan bahwa anggaran dan segala bentuk kebijakannya di atas, menunjukkan kebijakan anggaran sebagai sebuah ’peluang (change), harapan (hope), dan janji (promises). Oleh karenanya saya berkesimpulan, kebijakan anggaran tidak hanya dianggap sebagai deretan angka-angka semata, tetapi merupakan sebuah bentuk sosial lain yang dapat dirasakan manusia sebagai penikmat.
Informan 3, ternyata tidak saja menganggap anggaran sebagai janji (sarana olah wacana) tetapi sebagai kepala bagian keuangan Kota Paraikatte, ia merasa hidup dan bertanggung jawab terhadap janji tersebut. Waktu bangun, saya langsung teringat mengenai anggaran dan alokasi yang harus saya hadapi hari ini. Di kantor pekerjaan saya menatapi ulang dan mengamati peluang kendala yang akan saya hadapi dalam anggaran. Menjelang tidur, saya berpikir bagaimana saya menyiasati anggaran, agar semua program prioritas dapat terlaksana?”. Bukti tersebut di atas menunjukkan bahwa Informan 3 telah menganggap anggaran sebagai bagian dari kehidupannya, ia adalah penghuni kebijakan itu. Dia ada di dalamnya dan menentukan keceriaan, kegelisahan, warna, dan pelangi politik anggaran.
Sedikit berbeda dengan pandangan sebelumnya, Informan 4, melihat kebijakan anggaran sebagai suatu konsep untuk mencapai tujuan politiknya. Interpretasi ini jauh dari materialitas akuntansi. Informan 4 adalah seorang anggota legislatif yang mengemukakan: ”anggaran bukan tujuan. Ia adalah alat untuk mencapai tujuan saya punya cita-cita, punya ideologi, ... punya dasar moral, dan saya butuh suatu anggaran untuk mencapai gagasan saya.
Sangat pragmatis, seperti yang saya duga sebelumnya, Herbert Blumer, sang sosiolog, benar! Pernyataan di atas menunjukkan sikap manusia yang penuh dengan penafsiran dan pengertian. Yaitu pandangan yang diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionalis sebagai struktur sosial. Blumer (1969) lebih senang menyebut fenomena ini sebagai tindakan bersama, atau pengorganisasian secara sosial atas tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipan yang berbeda pula. Bagi Blumer, pandangan ini lebih dari sekedar performance tunggal yang diuraikan dalam penjelasan impression management (Blumer, 1969). Dalam hal ini, kinerja seorang pimpinan adalah sinyal yang dibaca oleh masyarakat sebagai sebuah kesan.
Sementara menurut saya, bukti di atas menunjukkan bahwa kebijakan anggaran adalah sebuah konseptualitas yang dipahami dan dimaknai sebagai alat untuk mencapai tujuan dari ideologi politik yang dianut oleh pimpinan. Peluang yang dipahami adalah gudang kekuatan epistemologi, representasi kekuatan dan ideologi, kontrol dan pengawasan, yang memanifestasikan dirinya sebagai sistem verbal tanda-tanda.
Hadirin yang saya hormati
Strategi Mengelola Perubahan: Mengenali Pandangan Politik Stakeholder (Petanda)
Mengenali ’perubahan yang membingungkan adalah sesuatu yang sangat bermanfaat terutama ketika pimpinan ingin merefleksikan bagaimana kebijakan anggaran terpengaruh oleh berbagai perubahan lingkungan yang sangat kompleks dan plural. Kesadaran atas hal ini, telah mendorong para praktisi dan peneliti bidang akuntansi untuk terus mengembangkan konsep baru dalam mengamati ’perubahan’. Perlu diketahui bahwa akuntansi bukanlah suatu fenomena yang otonom, tetapi faktor sosial, politik dan ekonomi lainnya dipandang mampu memberikan dasar untuk perubahan akuntansi (anggaran) (Friend dan Jessop, 1976). Lebih lanjut, Walker (2004) berpendapat bahwa, apabila ekonomi memperluas basis konseptualnya, maka ia percaya bahwa akuntansi kritis akan membatasi perkembangan konsep yang menjadi ciri dari banyak aktivitas ekonomi. Akuntansi kritis tumbuh dalam tingkat intelektual dimana ia belajar untuk fokus pada sejumlah kecil konsep-konsep kunci.
Berkaitan dengan hal ini, saya memandang bahwa kenyataan ini memunculkan penggunaan analisis dan studi kebijakan atas berbagai hal yang berhubungan dengan perubahan akuntansi. Analisis terhadap perubahan tersebut menggunakan berbagai pengetahuan baru, terutama memaknai aspek ekonomi, politik, dan sosial yang merupakan dasar perubahan dalam kebijakan anggaran. Seperti di jelaskan oleh Informan 5, seorang pegawai Dinas Pendidikan Kota Seroja, bahwa, “pergantian kekuasaan jelas membawa perubahan yang sangat mendasar. Hampir seluruh aspek pengelolaan pemerintahan termasuk kebijakan publik berubah secara dratis. Saya kira setiap pemimpin baru akan membawa sebuah “pembaharuan” untuk mewujudkan mimpi politiknya. (pembaharuan merupakan penekanan).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa arus pemikiran seperti ini telah memainkan peran penting dalam mempengaruhi jalannya transformasi tersebut. Seperti yang diungkapkan Informan 6, pegawai Bagian Keuangan Kabupaten Rewako, yaitu: “untuk memungkinkan terciptanya visibilitas konseptual, kebijakan anggaran harus dapat mengakomodasi dan menjelaskan peran penting masalah-masalah sosial, politik, dan organisasional.”
Dari sini saya berpandangan bahwa para pelaku (accounting man) harus dapat menunjukkan bagaimana kebijakan anggaran dipengaruhi oleh berbagai persepsi, serta menjadikan kebijakan anggaran sebagai bahasa sehari-hari melalui berbagai dialog. Dengan cara demikian, diharapkan kebijakan tersebut dapat merembes ke berbagai prioritas, kepedulian dan kekhawatiran, serta kemungkinan-kemungkinan yang baru untuk diekspresikan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan yang tertuang dalam anggaran merupakan petanda. Ia (kebijakan anggaran) merupakan refleksi wajah dan hati seorang pemimpin.
Dengan demikian, memfokuskan kebijakan anggaran sebagai refleksi perubahan pola visibilitas/keterbukaan, akan memberikan contoh empiris tentang bagaimana ’perubahan’ tersebut terjadi, dikelola secara strategis, dan membentuk sebuah perubahan baru (kebijakan). Hal tersebut dapat ditempuh dengan mengapresiasi bagaimana strategi dapat diimplikasikan dalam proses perubahan organisasi yang terefleksi dalam bentuk kebijakan (strategi mengendalikan perubahan).
Pembicaraan strategi dalam makalah ini dikembangkan untuk membahas isu-isu kunci dalam proses anggaran, alokasi sumber daya, prioritas layanan, dan prioritas tematik. Menurut Joyce (2004) dalam segala konteks, tidak mungkin mendesain strategi terbaik, tetapi penting untuk mendesain strategi yang koheren dan konsisten dalam menghadapi isu serius berkenaan dengan kebijakan publik. Koherensi dalam konteks ini meliputi persiapan perumusan kebijakan dan pertimbangan strategi alternatif yang tersedia. Koherensi adalah, juga mungkin, melibatkan perbaikan kejelasan posisi stakeholder yang berbeda, dan memperbaiki komunikasi di antara stakeholder dalam fase persiapan strategi.
Menurut saya, koherensi perubahan dan ide strategi yang demikian itulah menyebabkan masyarakat pada umumnya ketika berbicara mengenai pendidikan dan kesehatan gratis, tidak melepaskan pembicaraan mereka tentang sang Walikota. Sehingga kemajuan daerah disamakan dengan kehadiran Walikota. Meskipun, jika berbicara mengenai strategi yang membentuk kebijakan tersebut, mereka agak bingung. Sebagaimana kebanyakan istilah yang digunakan dalam ranah publik, strategi sering diangkat dan diaplikasikan tetapi tidak dimengerti dengan baik. Dalam suatu kesempatan, Informan 1 berceloteh bahwa, mengelola pemerintah daerah secara strategik tidak mudah, bahkan nampak kurang memiliki konsensus mengenai makna pengelolaan strategik dalam konteks pemerintahan daerah. Ia melanjutkan:
Bahkan, ketika banyak pemerintah daerah memiliki strategi korporat (estimasi terbaru menunjukkan sekitar 60 persen), namun tidak berarti pendekatan stratejik dijalankan pada semua organisasi tersebut. Bagi saya, strategi adalah pola perilaku, strategi adalah posisi, strategi adalah maksud, strategi adalah perspektif.
Alkisah, Mintzberg (2014) mengambil pandangan yang lebih pragmatis mengenai strategi dan membedakan antara strategi yang dimaksudkan (apa yang Anda inginkan untuk dilakukan pertama kali), strategi yang tidak terealisasi (apa yang selanjutnya tidak bisa Anda lakukan), strategi yang disengaja (apakah yang ingin Anda lakukan atau capai), strategi emergent (apa yang Anda ingin lakukan selama implementasi), dan strategi realisasi (apa yang menjadi hasil akhirnya). Apa yang muncul dari interpretasi Mintzberg mengenai strategi adalah hasil dari sebuah proses, dan proses itu sendiri.
Saya memandang bahwa pendapat Mintzberg didasarkan pada gagasan konsistensi dan dependensi waktu strategi itu ephemeral (tidak kekal) khususnya di konteks pemerintah daerah dengan segudang permasalahan kompleks yang dibahas oleh mereka. Sejalan dengan pandangan ini, Vijoen (1994) melihat strategi sebagai suatu proses untuk mengidentifikasi, memilih dan melaksanakan kegiatan yang akan meningkatkan kinerja jangka panjang organisasi melalui penetapan arah dan penciptaan kesesuaian yang berkelanjutan antara keterampilan dan sumber daya internal organisasi; dan perubahan lingkungan eksternal di mana organisasi beroperasi. Senada dengan itu, Thompson dan Martin (2005) melihat strategi sebagai arah dan ruang lingkup organisasi dalam jangka panjang, idealnya, yang menyesuaikan sumber daya dengan lingkungan yang terus berubah, khususnya pasar, pelanggan, atau klien dalam rangka memenuhi harapan pemangku kepentingan.
Clark (1994), telah mengembangkan sebuah metafora biologi untuk mengidentifikasi kompetensi kunci yang dibutuhkan bagi sebuah organisasi untuk bertindak strategis, yang bisa digunakan untuk menilai kapabilitas organisasi. Pandangan yang diajukannya adalah kemampuan organisasi untuk mengumpulkan data tentang lingkungan eksternal, tentang operasi internal, kinerja dan kompetensi organisasi, dan juga tentang hubungan dinamis organisasi dengan lingkungannya (Clark, 1994). Sementara dari aspek kognitif, ia mengemukakan bahwa strategi merupakan kemampuan analitis untuk mendapatkan makna dari data (yaitu memperoleh informasi dan intelegensi dari data), untuk menilai implikasi informasi bagi organisasi dan untuk belajar dengan terus mempertanyakan asumsi dan nilai kunci (Clark, 1994).
Dari penyataan di atas, saya kemudian menyimpulkan bahwa sebuah organisasi mulai mengalami pembelajaran ketika asumsi yang utama dinilai, dan secara berkelanjutan terus dipertanyakan. Karenanya, Clark (1994) kemudian mengajukan aspek motorik dari strategi yaitu suatu kemampuan untuk melaksanakan tindakan dalam mencapai maksud dan tujuan, dan untuk mengubah hubungan organisasi dengan lingkungannya.
Karenanya, ada pandangan bahwa proses evolusioner strategi sering dimulai dengan keyakinan bahwa sikap bertahan (muddling through) bukan cara yang efektif untuk mengelola organisasi serumit pemerintah daerah (Lindblom, 1979). Menurut pandangan ini, pengembangan kebijakan hanya berbeda secara marjinal dari kebijakan yang ada, karena kebijakan anggaran dibatasi oleh aturan yang menyebabkan sinergitas pengembangan pada beberapa area fungsional atau pragramatik sering terhambat. Sejalan dengan Informan 7, seorang informan di pemerintah daerah, yang mengatakan bahwa “aturan yang ada sering membuat ketidakmampuan strategi untuk memberi respon pada agenda politik radikal.” Hal inilah yang menjadi masalah utama, menurut kacamata saya, dan kendala ini cenderung meningkatkan ketidakpuasan dan pencarian cara yang lebih metodologis dan rasional dalam menjalankan organisasi.
Lebih lanjut, saya beranggapan bahwa strategi adalah sebuah proses politik pada periode tertentu. Hal ini berarti, strategi dipandang sebagai suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan keputusan arah kebijakan, mencari model kepemimpinan, serta mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia. Sebagaimana ungkapan Steiss (2003), sebuah strategi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang tersusun atas kata dan kertas yang bisa dihasilkan dalam beberapa minggu, melainkan serangkaian keputusan menyeluruh, yang dicatat dan dipublikasikan oleh sebuah dokumen strategi. Menurut Informan 7, “... dibutuhkan keberadaan proses stratejik yang dikembangkan melalui proses rasional yaitu prioritas induktif. Oleh karenanya, pada waktu itu kami memulai pendidikan gratis dengan rencana stratejik untuk mendapatkan prioritas dalam anggaran.”
Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan alternatif yang didapatkan dari teori organisasi. Teori ini menyarankan bahwa organisasi berkembang melalui resolusi kekuatan internal dan eksternal yang kompleks, dan perubahan secara keseluruhan muncul dengan spontan melalui proses ini. Pembuat keputusan stratejik, dalam hal ini pimpinan, berusaha untuk menentang, atau memberikan komentar yang mendukung mengenai kejadian (event) yang tidak terhindarkan dalam perubahan (Mintzberg, 2014; Thompson dan Mc.Hugh, 2002).
Karenanya, saya berpendapat bahwa pemahaman terhadap akuntansi memberikan dasar untuk melakukan perubahan secara radikal atas proses fisik yang mengatasnamakan berbagai kriteria pertimbangan, dan terimplikasi secara langsung dalam proses fisik itu sendiri, seperti pada sektor ekonomi dan keuangan. Pemahaman akuntansi sebagai peluang, harapan, dan janji memberikan berbagai strategi yang dapat mempengaruhi dan menginduksi perubahan dalam kebijakan anggaran. Lebih lanjut, pemahaman terhadap akuntansi memberikan arti yang sangat kuat untuk membandingkan antara kondisi sosial politik dengan kondisi ekonomi. Akuntansi memberikan fasilitas pengetahuan tentang bagaimana kecenderungan ekonomi akan dibuat. Dan dengan cara itu, akuntansi memudahkan pengambil keputusan untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai dan ukuran yang akan dibebankan pada urusan-urusan ekonomi dan keuangan.
Sisi lain dari pandangan subjektif terhadap kebijakan akuntansi, menurut hasil peneropongan saya, politik anggaran adalah sebuah representasi ruang bagi orang yang tertangkap dalam visi kebijakan anggaran, karena mereka hidup dalam ruang kebijakan anggaran, ruang yang secara spesifik dihasilkan untuk dibaca. Informan 8 menjelaskan, ”kebijakan anggaran dapat dibaca atau menghasilkan sesuatu yang bisa dibaca”. Namun, saya berpandangan bahwa kebijakan anggaran tidak hanya ditujukan untuk dibaca oleh individu di luar mereka, tetapi kebijakan anggaran juga harus mampu dibaca dan dipahami oleh mereka yang ada di dalamnya.
Saya menyimpulkan bahwa politik anggaran mempunyai power untuk merubah pola-pola keterbukaan organisasi, sehingga berbagai urusan dari dunia eksternal dapat menembus dan mempengaruhi urusan internal organisasi. Artinya, apabila digunakan dengan hati-hati dan seksama, kesadaran mengenai akuntansi dapat memainkan peran untuk merubah kesadaran manajerial secara strategis. Kesadaran tersebut jauh dari berbagai masalah yang hanya berkutet di seputar internal saja yang memiliki saling ketergantungan, namun menuju pada suatu pandangan posisi eksternal organisasi atau pada segmen utama dalam organisasi.
Lebih lanjut, saya berpandangan bahwa kebijakan anggaran (petanda) melengkapi lingkungan dengan tanda, agar hasil dari kebijakan anggaran dapat dibaca oleh individu dalam ruang kebijakan anggaran. Tetapi, berdasarkan transparansi tetap saja dapat menyembunyikan maksud strategis dari sebuah kebijakan. Sebab, terdapat perbedaan di antara dua sisi ruang representasi dialektik, yaitu antara orang dalam dan orang luar saat memahami kebijakan akuntansi yang dihasilkan.
Hadirin yang saya hormati
Kesimpulan
Sadar bahwa penafsiran dapat mengarahkan suatu perubahan (kebijakan), saya kemudian memikirkan beberapa cara yang lebih detail tentang bagaimana akuntansi (tanda) terpengaruh dengan adanya proses perubahan yang lebih besar (petanda). Berkaitan dengan hal ini, saya menyusun beberapa cara yang konvensional mengenai hubungan antara akuntansi dan perubahan.
Bukti-bukti di atas jelas menunjukkan bahwa bagi para pelaku (accounting man), akuntansi mempunyai power untuk merubah pola-pola keterbukaan organisasi, sehingga berbagai urusan dari dunia internal dapat dibaca oleh masyarakat eksternal. Artinya, jika akuntansi digunakan dengan hati-hati dan seksama, akuntansi dapat memainkan peran untuk merubah kesadaran manajerial secara strategis, yang jauh dari berbagai masalah di seputar ketergantungan internal saja, tetapi menuju pada suatu pandangan posisi eksternal organisasi atau pada segmen yang utama dalam organisasi. Berbagai bentuk tekanan politik dapat dimasukkan ke dalam organisasi dan akan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan strategis termasuk kebijakan akuntansi.
Dalam konteks makalah ini, ditunjukkan bahwa melalui berbagai konfigurasi organisasional dan perubahan kebijakan anggaran [akuntansi], organisasi pemerintahan dalam proses pembuatan kebijakan akan lebih berorientasi pada kepentingan publik. Hal ini disebabkan karena publik berperan menjadi watch dog.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola-pola keterbukaan sedang mengalami perubahan. Karenanya, kebijakan termasuk kebijakan akuntansi juga sedang mengalami penyesuaian, yang secara pro-aktif membentuk dan merubah konsep-konsep pemerintah terhadap apa yang penting, dan apa yang tidak penting. Pemahaman terhadap akuntansi, dalam hal ini anggaran, sangat potensial dalam mengubah kesadaran manajerial publik dalam melakukan perubahan berkaitan dengan kebijakannya.
Perlu dicatat, bahwa makalah ini menyimpulkan politik anggaran merupakan ruang dialektika yang meningkatkan mobilitas moral dan komitmen etika pada masyarakat. Makalah ini juga menyimpulkan bahwa politik anggaran, bekerja melalui kontrol strategi, dan bukan kontrol individual saja. Pada akhirnya, saya memahami bahwa dalam mengapresiasi dan mengaktifkan berbagai perubahan, dibutuhkan lebih dari hanya sekedar pandangan tehnik akuntansi saja. Untuk memahami apa yang sedang terjadi, kebutuhan-kebutuhan akan akuntansi perlu diapresiasikan dalam konteks organisasi yang strategis. Akuntasi, dalam hal ini anggaran, tidak dapat dilihat hanya sebagai sesuatu hal yang merefleksikan berbagai keadaan organisasi, tetapi juga sebagai suatu fenomena yang dapat memainkan peran dalam merubah organisasi tersebut.
Hadirin yang saya Muliakan
Ucapan Terima kasih
Sebelum mengakhiri pidato ini, perkenankanlah saya mengucapkan penghargaan yang tulus dan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan baik material maupun secara moril, dorongan, dan doa restu sehingga memungkinkan terselenggaranya acara pengukuhan ini sesuai yang direncanakan. Semoga Allah Subhana Wataala memberikan balasan Rahmat kebaikan dan petunjuknya tanpa henti kepada kita semua, Amin.
Kepada Yang terhormat Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA sebagai Rektor Universitas Hasanuddin saat ini, saya ucapkan terima kasih yang tulus atas segala bantuannya sehingga saya dapat berada di tempat yang terhormat ini.
Rasa terima kasih yang setinggi-tingginya, saya ucapkan kepada Prof. Dr. Made Sudarma, Prof. Iwan Triyowono, PhD, Prof Gugus Irianto, PhD., yang telah membimbing saya dalam penulisan disertasi.
Terima kasih dan penghargaan yang sama saya sampaikan kepada Prof.Dr. Kustiah Kristanto (alm), Prof.Dr. Rachman Panetto, M.A (alm), Prof.Dr. Karim Saleh (alm), Prof.Dr. Djabir Hamzah, M.A, Drs. Taslim Arifin, M.A, Dr. Fattah Kadir, S.U (alm), Prof.Dr. Muhammad Yunus Zain, M.A (alm), Prof.Dr. Muhammad Ali, M.S, Prof.Dr. Gagaring Pagalung, S.E, M.Si, Ak, CA, masing-masing sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin pada masanya, dan Prof.Dr. Rahman Kadir, MSi. sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin saat ini.
Tak lupa kepada semua pihak yang selama ini berperan baik sebagai guru, pembimbing, maupun teman sejawat dan tempat berbagi dalam segala hal, saya ucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala keihklasan memberikan arahan, pencerahan, dan dalam berbagi selama ini. Terima kasih yang sama saya ucapkan kepada seluruh civitas akademi yang saya tidak sempat sebut satu per satu, baik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis maupun pada Fakultas dan Unit Kerja lainnya di Lingkungan Universitas Hasanuddin atas segala kerja sama dan dukungannya selama ini.
Secara khusus pada kesempatan yang berbahagia ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya dengan segala doa dan amal jariah yang menyertainya kepada kedua orang tua saya ayahanda, Sailellah Daeng Naba (alm) dan ibunda Sittiara Daeng Romba (alm), yang telah melahirkan dan menyusui saya dalam keadaan susah dan semakin payah. Terima kasih juga kepada saudara-saudara saya beserta suami/istri kakanda Prof.Dr. Sugira Wahid (alm)/Prof.Drs. A Gani Wahid, yang telah membesarkan saya. Selanjutnya Ir. Syamsuddin Sailellah (alm)/Amsina Biya, Ir. Sulaeha Sailellah/Ir.A.Akil Ahmad atas segala kasih sayang maupun dukungan moral yang telah diberikan. Ucapan terima kasih yang sangat dalam juga saya sampaikan kepada Bapak Mertua saya Dr. Harry Sugianto (alm) dan Ibu Mertua Dra. Sri Woerjani, MPD, serta saudara-saudara ipar saya, beserta suami/istri Dr. Ratna Dewi Artati, SpA(K) MARS/Dr. Herry Faisal, MARS, Dewi Umi Savitri, SS/Ikhwan Fahri, SE. MT., Wijaya Gautama, SE. Ak., MT/Lia Fajarini, SE.,Ak., atas segala bantuan dan motivasi yang diberikan sehingga saya berhasil mencapai jenjang tertinggi dalam jabatan akademik ini.
Terima kasih kepada istri yang tercinta dan sekaligus sebagai guru dan sahabat saya yang terhormat, Dr. Ratna Ayu Damayanti, SE. Ak.,MSoc.Sc,CA, kita telah menjalani hidup bersama dalam susah dan senang. Banyak cerita diantara kita, biarlah itu menjadi milik kita saja. Terima kasih kepada putra-putri ku tersayang Shavira Zalshabila, SE.,Ak.,MSA., Ridho Muhammad Purnomosidi, SE, MSA. dan Ajie Maaz Muawwaz, serta menantu Alita Puspa Ningrum, SE, saya ucapkan terima kasih yang sangat dalam atas segala pengorbanan, serta doa yang selama ini dicurahkan sehingga saya berhasil meraih derajat tertinggi dalam jenjang jabatan akademik.
Mengakhiri pidato pengukuhan saya, sekali lagi saya haturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat Ibu Rektor, Sekretaris dan Anggota Senat, Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Hasanuddin, dan Kepada seluruh undangan dan hadirin yang senantiasa saya muliakan. Semoga Rahmatan lil alamin, hakikat dari Sang Rasul pemilik ingatan cahaya kesadaran akal selalu menerangi jalan kehidupan akademik kita sehari-hari.
Wabillahi Taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.