BUKAMATA - Apakah yang muncul di benak saudara saat mendengar “Banda”? Pulau yang terkenal menyimpan gugusan keindahan dunia, menyejukan air muka dan pendalaman diri. Bung Hatta pun menjadi saksinya, dia tertegun saat pertamakali menapak kaki di Banda Neira. Ia terbingung-bingung, Belanda menjadikan tempat ini sebagai tempat pengasingan, padahal tak ayal Banda adalah surga. Ternyata memanglah bertujuan untuk Belanda melunakkan hati Bung Hatta agar tak bersifat korosif kepada Belanda. Alangkah sayang, maksud tujuan berlainan dengan hasil, tempat ini malah menjadi perenungan dan meditasi bagi Bung, untuk bisa melakukan hal yang lebih dahsyat lagi untuk Indonesia.
Bila kita membaca syair-syair Kahlil Gibran tentang Pasir dan Buih, ada syair yang mampu menstimulasi imajinasi kita tentang Pulau Banda
Mereka berkata kepadaku dalam kesadaran mereka,
“Kau dan Dunia yang kau tinggali hanyalah sebutir pasir di tepi laut yang tiada terbatas”
Dan dalam mimpiku aku berkata kepada mereka ,
“Akulah laut yang tak terbtas itu, dan semua yang ada di dunia hanyalah butiran pasir di atas pantaiku”
Pada abad 13 M Orang-orang China telah berdagang ke Kepulauan Maluku, dengan sendirinya Kepulauan Banda menjadi tujuan orang-orang China karena kedua kepulauan ini berdekatan. Yang menjadi daya tarik, Kepulauan ini dianugerahkan tuhan dengan Pala yang dapat diperoleh manfaaat buahnya dan juga fuli. Secara Geograis, Kepulauan ini terbagi dua, Pulau Banda dan Pulau Lontor, kemudia di bagian baratnya ada Pulau Rossenggain dan Pulau Run. Terdapat 15.000 jiwa hidup dan tinggal di Kepulauan Banda, dan pada Kepulauan ini terdiri dari desa-desa yang masing-masingnya dipimpin oleh Orangkaya.
Lain cerita pada Abad ke 15 M, di masa Cheng He yang telah menguasai pelabuhan Malaka, maka tak perlu lagi orang china jauh-jauh berlayar ke sekitaran Kepulauan Banda, lagi pula para Pelayar Jawa dan Melayu mengangkut Pala ke Pelabuhan Malaka.
Kemudian di masa kolonialisme Portugis, sempat pula memonopoli perdagangan di Kepulauan ini dengan ditandai terdapatnya Benteng yang menjadi ciri kehadiran penjajahan Portugis.
Sebelum abad 17 M, Inggris dan Belanda sama-sama telah menemukan jalur ke kepulauan Banda, hubungannya meruncing saat Inggris tampil dengan membentuk East India Company (EIC) tahun 1600. Kemudian dua tahun berselang, Belanda tampil membentuk VOC. Dua perwujudan serikat dagang ini memiliki pandangan yang sama, bahwa perdagagan di Asia harus dilakukan dan dipertahankan dengan senjata. Hingga kemudian EIC menduduki puloway (Puau Ai) dan puloroon (Pulau Run) yang termasuk kedalam kepulauan Belanda. Bahkan James I ketika dilantik sebagai Raja, ia diberi gelar denga “Raja Inggris, Skotlandia, Irlandia, Prancis, Puloway dan Puloroon.
Sedangkan VOC menduduki Banda Neira pada 1602, setelah berhasil mempengaruhi Orangkaya untuk menandatangani perjanjian pemonopolian. Dalam perjanjian, VOC memberi iming-iming perlindungan keamanan dari Portugis dan Inggris.
Tak sampai disitu, keseriusan VOC pada Banda dapat kita lihat di Tahun 1609. VOC mengirim Armada Besar untuk menggunakan senjata ke Kepulauan Banda, armada ini dipimpin Lakama Verhoven. Kemudian si Laksamana membuat perjanjian pemonopolian kepada para Orangkaya. Namun hubunan diplomatik yang mesra ini, dikotori sendiri oleh tangan Laksaman dengan membangun Benteng (fort) yang diberi nama Nassau. Benteng ini didirikan di tempat yang sebelumnya dibangun benteng Portuugis.
Hal ini mencuat kecurigaan di benak Orangkaya berupa niat buruk yang akan dilakuan orang-orang VOC. Pada suatu kesempatan, Laksamana Verhoven dibunuh bersama beberapa pasukannya. Setelah itu, terjadi hubungan dalam interaksi perdagangan yang mesra antara Rakyat Kepulauan Banda dengan Inggris. Hal ini lah yang amat mencemaskan VOC, kemudian Belanda membangun benteng lagi di Pulau Banda, yakni bernama Fort Belgica.
Keadaan menjadi merumit bagi Belanda. Hal ini mendorong Belanda untuk mengonsolidasikan kekuatannya di Batavia. Karena disanalah kekuatan Belanda berpusat. Tak tanggung-tnggung, tangan Gubernur Jenderalnya langsung yang mempersiapkan kekuatan besar menuju Kepulauan Belanda. Ialah Jan Pieterszoon Coen, pada 1621 bersama dengan 13 kapal, 40 jungku dan sekoci, 1600 tentara, 300 pidana jawa dan 100 samurai jepang berangkat menuju ke Kepulauan Belanda yang nantinya disana mereka akan bergabung dengan 250 Tentara Belanda yang telah menunggu kehadiran pasukan Coen.
Di Bulan Februari di tahun yang sama, Coen memilih mendarat di Pulau Lontor. Lalu membuat benteng yang bernama Fort Hollandia. Dibangunnya benteng ini membuat kecurigaan di tengah-tengah rakyat, maka dari sini banyak yang melarikan diri dan membentuk kelompok bergerilya. Hingga kemudian dalam waktu sebulan, Rakyat yang ada di Pulau tersebut dapat dibekukan. Dikumpulkanlah Orangkaya untuk membuat perjanjian damai dengan Belanda dengan syarat penyerahan senjata yang ada di tangan Rakyat. Lalu pada 16 Mei 1621 Coen kembali berpulang ke Batavia, mandat pun diestafet ke Kapten t’Sonck.
Saat itu, rumah-rumah rakyat dijadikan tempat tinggal rakyat dan Masjid dijadikan markas. Terjadi suatu peristiwa di malam sunyi pada 21 April 1621. Saat itu lentera di Masjid terjatuh, hingga menyebabkan kebakaran. Atas perkara yang kecil ini, t’Sonck menuduh bahwa ini adalah bentuk perlawanan dari rakyat. Langsung sang Kapten t’Snock mengerahkan pasukannya untuk membunuh penduduk-penduduk yang ada di desa dan membakar atau menghancurkan rumah-rumah dan perahu-perahu, mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan-hutan dan puncak-puncak gunung. Banyak yang tertembak mati, namun lebih banyak lagi yang mati kelaparan.
Jumlah kematian tercatat sebanyak 2500 jiwa (dibunuh dan mati kelaparan). Rakyat yang selamat hanya 300 jiwa, mereka mencari pelindungan inggris atau menyebar ke pulau Kei dan Aru. Bila dijumlah, maka yang sebelumnya yang menetap di Kepulauan ini terdapat kisaran 15.000 jiwa, disebabkan tragedi ini, hanya tersisa 1.000 jiwa
Editor : Aswad Syam