Remaja 14 Tahun di Selayar Diserang Buaya, Alami Luka di Kepala
06 Oktober 2025 23:21
Terdapat penyalahgunaan wewenang dalam proyek pembangunan PLTU Kalbar ini, hingga berujung mangkrak sejak 2016. Meskipun telah diberikan perpanjangan waktu melalui amandemen kontrak sebanyak 10 kali sampai dengan 2018, proyek PLTU itu tetap tidak berhasil diselesaikan dan bisa dimanfaatkan.
JAKARTA, BUKAMATANEWS - Halim Kalla, adik Wakil Presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Barat (Kalbar) oleh Kortas Tipikor Polri. Selain Halim Kalla yang merupakan Presiden Direktur PT BRN, Dirut PLN 2008 - 2009, Fahmi Mochtar, turut ditersangkakan dalam kasus ini.
Penetapan Halim Kalla dan Fahmi Mochtar sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp1,3 triliun tersebut diputuskan melalui Gelar Perkara yang dilaksanakan pada Jumat, 3 Oktober 2025 lalu. Hal ini kemudian diumumkan melalui Konferensi Pers di Mabes Polri, Senin, 6 Oktober 2025.
Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, Brigjen Totok Suharyanto, menjelaskan, terdapat penyalahgunaan wewenang dalam proyek pembangunan PLTU Kalbar ini, hingga berujung mangkrak sejak 2016. Meskipun telah diberikan perpanjangan waktu melalui amandemen kontrak sebanyak 10 kali sampai dengan 2018, proyek PLTU itu tetap tidak berhasil diselesaikan dan bisa dimanfaatkan.
Ia mengatakan, kasus ini bermula ketika PLN menggelar lelang pembangunan PLTU dengan sumber pembiayaan kredit komersial. Akan tetapi, sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar.
Selanjutnya dalam pelaksanaan lelang, panitia pengadaan PLN meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
Selain itu, penyidik juga menemukan indikasi bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai PT BRN. Setelahnya pada 2009, KSO BRN mengalihkan pekerjaannya kepada PT PI tepat sebelum melaksanakan tanda tangan kontrak.
"Termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT BRN," tuturnya.
"Pada saat dilaksanakan tanda tangan kontrak pada tanggal 11 Juni 2009, PLN belum mendapat pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan," imbuhnya.
Totok menjelaskan hingga batas berakhirnya kontrak pada 28 Februari 2012, KSO BRN dan PT PI baru mengerjakan total 57 persen proyek. Sementara setelah dilakukan amandemen kontrak hingga 31 Desember 2018, proyek masih belum diselesaikan atau baru mencapai 85,56 persen.
Ia menyebut KSO BRN dan PT PI beralasan proyek itu tidak bisa diselesaikan dengan dalih keuangan yang tidak mencukupi. Akan tetapi, kata dia, ditemukan adanya aliran
transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek kepada para tersangka.
"Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323,19 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62,4 juta untuk pekerjaan Mechanical Electrical," tuturnya.
Atas perbuatannya, pembangunan PLTU 1 Kalbar belum juga selesai dan tidak dapat dimanfaatkan oleh PLN. Sebagian besar kondisi bangunan dan peralatan juga terbengkalai, rusak dan berkarat.
"Total kerugian keuangan negaranya dengan kurs yang sekarang Rp1,35 triliun," ungkapnya. (*)
06 Oktober 2025 23:21
06 Oktober 2025 18:29