Sistem proporsional terbuka bagi PKB masih merupakan opsi terbaik untuk diterapkan dalam Pemilu 2024
Sekjend PKB Pertahankan Pemilu Sistem Proporsional Terbuka
Hasan menjelaskan pragmatisme politik harus diakui saat ini memang terjadi dalam berbagai tingkatan, baik di level Pilkades, Pileg, hingga Pemilihan Presiden.
BUKAMATA - Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih langsung wakil-wakil legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politiknya saja.

Pada sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik. Melalui sistem proporsional tertutup, setiap partai memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil).
“Sistem proporsional terbuka bagi PKB masih merupakan opsi terbaik untuk diterapkan dalam Pemilu 2024. Memang ada ekses negatif berupa munculnya liberalisme politik yang memicu pragmatisme calon maupun pemilih. Tetapi itu yang harus dicarikan solusi bersama, bukan malah mengganti sistemnya,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKB Hasanuddin Wahid saat membuka Diskusi Publik bertajuk Daulat Rakyat vs Daulat Partai di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2021).
Hasan menjelaskan pragmatisme politik harus diakui saat ini memang terjadi dalam berbagai tingkatan, baik di level Pilkades, Pileg, hingga Pemilihan Presiden. Situasi ini muncul karena mayoritas pemilih di Indonesia masih didominasi oleh pemilih emosional dibandingkan pemilih rasional.
“Pragmatisme politik ini memang kita rasakan mulai dari Pilkades, Pileg, hingga Pilpres. Kenapa karena di Indonesia pemilih masih didominasi oleh pemilih irrasional,” katanya.
Kultur pemilih di Indonesia, lanjut Hasan memang berbeda dengan kultur pemilih di negara maju. Jika di negara maju seorang calon pemilih publik dipilih karena gagasan dan program, di Indonesia lebih karena pragmatisme maupun kedekatan emosional.
“Program dan gagasan di Pemilu Indonesia masih menjadi kembang-kembang demokrasi. Belum menjadi subtansi,” katanya.
Kendati demikian, kata Hasan, pragmatisme politik ini masih bisa dicarikan solusi melalui pendidikan politik intensif kepada calon pemilih. Kedewasaan politik juga akan mempengaruhi seiring kesadaran pemilih jika mereka akan rugi jika hanya menerima 100 ribu atau 200 ribu tanpa peduli program dan gagasan calon yang mereka pilih.
“Nah hambatan ini yang harus diselesaikan bersama oleh stakeholder di bangsa ini. Bukan malah kembali ke proporsional tertutup yang membawa Indonesia kembali ke masa lalu. Dan ini tidak boleh terjadi,” katanya.
News Feed
Kominfo Makassar Tingkatkan Kapasitas OPD Lewat Bimtek Arsitektur SPBE
23 Oktober 2025 19:40
Kurang dari 24 Jam, Polisi Berhasil Tangkap Pelaku Curanmor di Bontocani Bone
23 Oktober 2025 17:54
13.224 PPPK Kemenag Dilantik, Termuda Usia 20 Tahunan
23 Oktober 2025 17:47
