Persoalan korupsi saat ini sudah bukan hal baru lagi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Semakin banyaknya kasus korupsi yang terbongkar dan menyeret berbagai kalangan, muncul pernyataan yang semakin terbiasa diucapkan di Negeri ini. Budaya Korupsi dan Korupsi yang membudaya.
Korupsi termasuk sebagai perilaku kejahatan. Korupsi tidak sekedar mencuri, tetapi ada unsur penyalahgunaan wewenang/kekuasan di dalamnya. Hal itu memberikan muatan moral pada korupsi.
Faktor penyebab perilaku koruptif berkaitan erat dengan lingkungan. Dijelaskan dengan sudut pandang dimensi lingkungan sosial, antara lain keluarga, komunitas-masyarakat, budaya dan sistem pendidikan. Dari seluruh faktor tersebut, yang dominan menyebabkan seseorang atau sekumpulan orang melakukan korupsi yakni faktor keluarga dan masyarakat, namun tidak memandang faktor budaya dan sistem pendidikan sebagai suatu hal yang tidak penting. Justru faktor tersebut berkontribusi untuk mencegah perilaku manusia melakukan korupsi.
Korupsi secara formal korupsi didefinisikan dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terutama Pasal 2 ayat 1, adalah setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dan orang lain, korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Kemudian Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, korupsi menurut hukum di Indonesia adalah tindakan yang mengandung sejumlah unsur, yakni melawan hukum, merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan wewenang.
Perilaku korupsi adalah bentuk dari perilaku yang dikaitkan dengan penyalahgunaan wewenang, dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, melanggar hukum, menyimpang norma atau moral, dan terjadi dalam lembaga pemerintah maupun korporasi swasta. Penyebab munculnya perilaku korupsi menurut teori motivasi, menemukan bahwa motif afiliasi dan kekuasaan memiliki hubungan langsung dengan perilaku suap sebagai bagian dari perilaku korupsi. Hubungan antara motif afiliasi dengan perilaku suap diperantarai keadilan distributif, sementara hubungan antara motif kekuasaan dengan perilaku suap diperantarai peluang.
Berkaitan dengan motif afiliasi, memiliki temuan yang sejalan. Fakta menunjukkan bahwa peluang untuk suap, terutama ketika praktik suap telah menjalar secara luas dan peraturan diterapkan secara ambigu, akan meningkatkan keinginan melakukan suap. Suap dipandang sebagai bagian dari transaksi bisnis yang normal ketika hampir semua orang melakukannya.
Ketika penegakan hukum lemah, maka suap akan terjadi secara signifikan. Suap akan terfasilitasi dan terjadi secara terus menerus ketika kedua belah pihak (penyuap dan penerima suap) memiliki persepsi yang sama sehubungan dengan seberapa adil pertukaran tersebut.
Pada praktiknya, terdapat sejumlah pelaku yang melakukan korupsi tidak hanya sekali saja, tetapi berkali-kali. Hal ini terjadi diduga karena sebelumnya pelaku tidak merasakan efek jera tetapi justru lebih banyak merasakan kepuasan karena korupsi. Faktor konformitas juga bias menjadi penyebab, yaitu ketika masing-masing orang merasa bahwa korupsi merupakan hal yang biasa dilakukan. Situasi seperti ini menggambarkan besarnya peluang terjadinya korupsi.
Individu dengan motif kekuasaan tinggi memiliki kebutuhan akan status, pengakuan, dan penghargaan dari orang lain. Sayangnya, motif kekuasaan yang ditunjukkan adalah motif yang sifatnya personal, yaitu motif berkuasa yang didasarkan pada kebutuhan pribadi dan egoistis. Motif inilah yang kemudian menekan individu mencari jalan pintas untuk berkuasa, salah satunya melalui korupsi.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai Ultimum Remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi (J.M. Van Bemmelen, 1984: 13).
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum.
Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada di dalamnya. Mengingat hukum pidana merupakan hukum yang digunakan sebagai "obat terakhir", yang sebenarnya harus hati-hati dalam menggunakannya. Karena di dalamnya memuat sanksi yang berat bagi pelaku tindak pidana. Semestinya, hukum pidana yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka.
Hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, seperti tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa dalam perkembangannya penerapan ultimum remedium mengalami kendala–kendala, karena apabila suatu perbuatan sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut undang-undang yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidana lah yang menjadi pilihan utama (premium remedium).
Posisi premium remedium dalam konteks hukuman bukan lagi menjadi obat terakhir, melainkan menjadi obat pertama untuk membuat jera orang yang melakukan kejahatan yang bersifat pidana korupsi. Jika dilihat dari sifat hukum pidana itu sendiri, maka hukum pidana memang merupakan ultimum remedium. Namun, terhadap suatu perbuatan sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut undang-undang yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat misalnya kejahatan korupsi, Premium Remedium merupakan pilihan utama.
Demikian sekadar kami sampaikan. Semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal Ibadah, Wallahu A’lam Bissawab, Jazakkalahu Khairan....
Editor : Dewi Yuliani