Perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin sering menjadi bahan perbincangan. Teknologi yang mulanya sekadar dianggap sebagai penunjang pekerjaan manusia, kini menimbulkan pertanyaan lebih dalam: apakah AI akan selalu setia menjadi mitra yang membantu, atau pada akhirnya mengambil alih peran manusia? Pertanyaan ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga menyentuh dimensi sosial, etis, bahkan spiritual. AI tampil dengan wajah ganda: di satu sisi memudahkan dan mempercepat kerja, di sisi lain menghadirkan kecemasan karena berpotensi mengurangi ruang gerak manusia dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
Jika dilihat dari sisi optimis, AI jelas menawarkan banyak manfaat. Pekerjaan yang biasanya menghabiskan waktu berjam-jam kini dapat diselesaikan dalam hitungan detik. Guru mampu memanfaatkan aplikasi berbasis AI untuk membuat materi pembelajaran interaktif. Dokter menggunakan kecerdasan buatan untuk membantu menganalisis hasil laboratorium dengan lebih akurat. Para peneliti pun bisa menelusuri ribuan literatur hanya dalam sekejap. AI, dalam konteks ini, berperan sebagai alat bantu yang membuat manusia mampu melompat lebih jauh. Dengan hadirnya teknologi ini, manusia justru bisa lebih fokus pada hal-hal yang membutuhkan kreativitas, refleksi, dan nilai kemanusiaan.
Tetapi kenyataan lain tak bisa diabaikan. Perlahan namun pasti, AI juga mulai menggantikan peran manusia dalam bidang tertentu. Layanan pelanggan kini lebih sering dijawab chatbot, pembukuan manual bergeser ke sistem akuntansi digital, bahkan sebagian berita singkat sudah bisa ditulis oleh algoritma. Fenomena ini menimbulkan rasa cemas, terutama bagi mereka yang pekerjaannya mudah digantikan dengan pola yang dapat diprogram. Ketika pekerjaan administratif bisa dilakukan mesin dengan biaya lebih murah dan hasil lebih cepat, apa yang tersisa untuk manusia?
Islam memberikan sudut pandang yang lebih luas terhadap dilema ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah fil ardh, wakil Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Ini berarti posisi manusia tidak semata dilihat dari pekerjaannya yang teknis, melainkan dari amanah moral dan spiritual yang diembannya. Teknologi, termasuk AI, hanyalah ciptaan yang ditundukkan untuk manusia. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Jatsiyah: 13: “Dialah Allah yang menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya sebagai rahmat dari-Nya.” Artinya, AI seharusnya ditempatkan sebagai sarana untuk mendukung tugas manusia sebagai khalifah, bukan untuk menggantikan kemuliaannya.
Perbedaan mendasar antara manusia dan mesin justru terlihat jelas di sini. AI bisa mengolah data dalam jumlah besar, tetapi ia tidak memiliki kesadaran, empati, maupun nurani. AI bisa meniru gaya bahasa, tetapi tidak bisa merasakan kasih sayang. AI mampu menghasilkan karya kreatif, tetapi tidak memiliki keikhlasan atau niat yang tulus. Al-Qur’an kembali menegaskan kemuliaan manusia dalam QS. Al-Isra’ ayat 70 bahwa manusia dimuliakan dan diberi kelebihan di atas banyak makhluk lain. Kemuliaan ini tidak diukur dari kecanggihan algoritma, melainkan dari akal, hati, dan ruh yang menjadikan manusia istimewa.
Ilmu pengetahuan adalah inti dari kemajuan teknologi. Dalam Islam, ilmu dipandang sebagai karunia yang mengangkat derajat manusia. QS. Al-Mujadilah ayat 11 menyebutkan: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Dengan ilmu, manusia membangun peradaban, menciptakan teknologi, dan memberikan solusi bagi kehidupan. Namun, jika ilmu digunakan tanpa kendali moral, ia bisa berubah menjadi ancaman. AI yang lahir dari ilmu pengetahuan modern hanya akan membawa manfaat bila diarahkan pada kemaslahatan, bukan kerusakan. Sejarah emas peradaban Islam menunjukkan bahwa ilmu selalu dipadukan dengan nilai spiritual, sehingga menghasilkan peradaban yang adil, beretika, dan berorientasi pada kebaikan.
Eksistensi manusia tetap tak tergantikan. Manusia bukan hanya pengolah data, tetapi juga pengemban amanah. Jika manusia menyerahkan seluruh kendali pada mesin, ia telah kehilangan martabatnya sebagai khalifah. Tetapi jika ia mampu menempatkan AI sebagai mitra, maka teknologi ini akan melengkapi, bukan menghapus eksistensinya. Tanda-tanda kolaborasi itu sudah nyata terlihat. Guru masih berperan sebagai teladan nilai meski AI membantu menyediakan materi ajar. Dokter tetap hadir memberi penjelasan penuh empati meski AI membantu analisis medis. Peneliti tetap merumuskan gagasan orisinal meski AI mempercepat pencarian data.
Kasus nyata memperkuat pandangan ini. Di Finlandia, aplikasi AI dipakai untuk mengajarkan bahasa asing dengan simulasi percakapan layaknya guru virtual. Meski begitu, guru tetap dibutuhkan untuk memberi motivasi dan bimbingan emosional. Di rumah sakit besar Amerika, sistem AI membantu mendeteksi kanker payudara lebih cepat dibanding mata manusia, tetapi dokterlah yang tetap menyampaikan kabar dengan empati. Dalam dunia jurnalisme, Associated Press sudah menggunakan AI untuk menulis laporan keuangan rutin, sementara jurnalis lebih fokus pada liputan mendalam. Bahkan di Indonesia, sejumlah perguruan tinggi mulai menggunakan ChatGPT untuk mendampingi mahasiswa menyusun draf awal, tetapi dosen tetap memegang kendali etika akademik dan kualitas ilmiah.
Semua ilustrasi ini memperlihatkan satu hal: AI memang bisa mengambil alih sebagian fungsi teknis, namun nilai, etika, dan kreativitas tetap berada di tangan manusia. Karena itu, pertanyaan sejatinya bukan lagi “apakah AI membantu atau menggantikan,” melainkan “bagaimana manusia memilih untuk menempatkan AI.” Apakah kita rela menyerahkan kendali pada mesin, atau justru menjadikannya alat yang menguatkan peran kita sebagai khalifah di bumi?
Sejarah menunjukkan bahwa peradaban selalu bergerak seiring kemajuan ilmu pengetahuan. Namun hanya peradaban yang berlandaskan etika dan nilai spiritual yang mampu bertahan lama. AI hanyalah bagian dari fase baru perjalanan manusia. Ia dapat mempercepat kemajuan, tetapi juga dapat memicu krisis bila digunakan tanpa kebijaksanaan. QS. An-Nahl ayat 90 menjadi pengingat penting bahwa manusia harus berlaku adil, berbuat kebajikan, dan menjauhi kerusakan. Prinsip inilah yang seharusnya menjadi landasan pengelolaan teknologi modern.
Hari ini kita berada di era yang menuntut keberanian beradaptasi sekaligus kebijaksanaan menjaga nilai. AI tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman yang merampas martabat, melainkan peluang untuk memperkuat peradaban. Allah telah menegaskan bahwa manusia dimuliakan bukan karena teknologi, melainkan karena akal, hati, dan ruh yang menyatu dalam dirinya.
Karena itu, mari kita arahkan AI agar benar-benar menjadi alat bantu, bukan pengganti. Jadikan ia mitra yang mendukung peran kita, bukan pesaing yang menyingkirkan. Jangan pernah berhenti belajar, jangan menyerah pada kenyamanan instan, dan jangan kehilangan jati diri di tengah arus digital. Siapa yang berhenti berilmu akan tergantikan oleh mesin, tetapi siapa yang memanfaatkan ilmu dengan iman akan ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagaimana janji dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11.
Inilah panggilan zaman sekaligus tantangan bagi kita semua: tetaplah menjadi pemimpin, tetaplah menegakkan martabat, dan jadikan AI sebagai bagian dari perjalanan mulia membangun peradaban yang rahmatan lil ‘alamin.
Editor : Redaksi