Oleh: Achmad Nur Hidayat
Pengamat Kebijakan Publik |
Sebuah analisis skenario corona di Indonesia
Perpindahan dari “Unknow Unknows” kepada “Known the Unknown”
There are “known knowns” adalah ungkapan Donald Rumsfeld yang terkenal saat memberikan jumpa pres 12 Februari 2002 tentang perang Irak. Rumsfled mengatakan, senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak sebagai “unknow knows”, sesuatu AS tahu bahwa mereka tidak tahu, gelap! Alasan ini yang membuat AS kemudian menyerang Irak.
Ungkapan “known knowns” artinya kita tahu bahwa kita tahu sebagai sesuatu yang kita yakin, ada “known unknowns” (kita tahu bahwa ada sesuatu kita tidak tahu) dimana kita tidak dapat memprediksinya, dan ada unknow uknowns (kita tidak tahu tentang sesuatu yang kita sendiri tidak tahu) dimana kita butuh observasi sehinggan menjadi lebih jelas.
Panik akan virus Corona di Indonesia menunjukan, bahwa kita sedang berpindah dari “unknown unknowns” ke “known the unknown”. Kita perpindah dari sesuatu yang sangat gelap menjadi sesuatu yang “mulai jelas”.
Perpindahan tersebut, karena kita sudah memiliki alat untuk melakukan test kits CV19 yang lebih baik dibandingkan minggu lalu.
Jumlah pasien postif CV19 di Indonesia menjadi 134 orang dengan kematian 5 orang (3.7%) dan 8 orang pulih (data per selasa 17/03). Bandingkan 1 minggu lalu (10/3), pasien positif CV19 (PDP) baru 27 orang dengan kematian 1 orang. PDP (pasen dalam pengawasan) tersebut naik 396?n kematian naik 400?lam periode 1 minggu.
Dengan asumsi “flatten the curve” maka minggu depan, PDP Indonesia diprediksi 530 orang dan kematian mencapai 20 orang.
The “Flaten the curve” adalah asumsi pemerintah berhasil melakukan 100% lockdown, di mana PDP terkendali aktivitasnya dalam perimeter tertentu dan social distance ditaati warga. Namun bila pemerintah abai dan warga tidak sadar, maka minggu depan PDP diprediksi mencapai 1000, 2000 bahkan 3000 orang dan kematian dalam satu hari bisa mencapai 300 orang seperti yang terjadi di Italia. Mengerikan sekali!
Yang paling rentan dari CV19 adalah, mereka yang berusia lanjut (55 ke atas) dan berusia balita (5 ke bawah). Kematian akibat CV19 akan didominasi oleh dua kelompok tersebut. Sementara yang lebih muda dapat bertahan, meski akan merepotkan petugas RS karena harus menyiapkan ruang isolasi yang cukup.

Bagaimana menuju Flatten the Curve
Para ahli matematik dan ahli virologi dunia melakukan riset bersama salah satunya adalah Professor Francois Balloux, Ahli Genetik dan komputasi dari University Colloge London kelahiran Lausanne, Swiss.
Balloux bekerja lima tahun dalam melalukan modelling penyakit pandemik di dunia, dia mengakui bahwa ia tidak berhasil melakukan identifikasi aksi yang tepat untuk CV19, ia bingung tidak ada model yang tepat atas CV19.
Prof Balloux menyakini, bahwa CV19 adalah ancaman kemanusian yang sangat serius di dunia saat ini sejak pandemik flu spanyol 1918/1919.
Berdasarkan data flu spanyol 1918/19, flu tersebut memiliki dua kali peak yang pertama di akhir spring (di awali belahan bumi utara) dan gelombang kedua di waktu winter dengan kondisi yang lebih buruk.
Dunia memiliki dua ”Unknown” kondisi yaitu (1) Dunia tidak tahu apakah CV19 dapat bertransmisi di berbagai musim; (2) Dunia tidak tahu kapan immunitas CV19 terbentuk sehingga akhirnya CV19 mereda secara natural.
Hasil obervasi dari pasien yang pulih di China menunjukkan ketahanan tubuhnya jauh berkurang, dan kinerja paru-parunya lebih menurun daripada sebelumnya. Imunitas normal ternyata menurunkan kinerja tubuh di tahap berikutnya.
Penyebaran CV19 dan perubahan musim sangat sulit diprediksi tanpa data time-series. Perbandingan data wilayah CV19 menunjukan bahwa musim CV19 serupa dengan musim flu biasa dan MERS tapi dibeberapa wilayah lain tidak mengenal musim seperti influenza. Orang dapat flu di musim apa saja.
Dalam twitternya @BallouxFrancois, Prof tersebut mengatakan “Dunia tidak memiliki pilihan untuk mengatasi pandemik CV19 atau melindungi ekonomi” alasannya adalah berdasarkan data PBD perkapita dan kesehatan (life expectancy), terjadi korelasi sempurna sehingga prediksinya adalah pandemik CV19 akan membawa keruntuhan ekonomi dunia.
Jelas sekali, Otoritas di dunia hanya memiliki satu pilihan yaitu lakukan flatten the curve CV19 secara efektif untuk menghindari kejatuhan ekonomi. Indonesia jangan ragu lagi untuk menyelamatkan tumpah darah Indonesia dengan mengambil tindakan tegas seperti lockdown beberapa kota seperti Jawa Barat, Jakarta dan Bali daripada penyebaran virus menjadi tidak terkendali.
Situasi saat ini, perlu penanganan at all cost terhadap penyediaan fasilitas kesehatan. Perlu dibuat rumah sakit darurat dengan 5,000-10,000 tempat tidur di beberapa kota, penyediaan 500 ribu-750 ribu alat test yang cepat secara nasional (tercepat 2 jam sudah ada hasil) dan perbantuan para mahasiswa dan relawan untuk mengatasi shortfall petugas media yang telah kelelahan bahkan juga terpapar CV19 tersebut.
Seorang mentor pribadi mengatakan perlu menghitung dua skenario yaitu skenario buruk dan skenario terburuk. Bila kita abai juga, bisa jadi korban kematian terbesar dari CV19 bukan di Wuhan atau di Italia tapi di Indonesia, alasannya dengan penduduk terbesar ke-4 dunia (265 juta penduduk) yang tidak memiliki fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga medis memadai serta tidak pernah mengalami pengalaman mengatasi pandemik dunia.
Jika kita lakukan komputasi skenario bahwa Indonesia tidak berhasil melakukan flatten the curve sampai Maret 2020 maka PDP (pasien positif CV19) akan menjadi 10,000-15,000 orang pada April 2020 dengan kematian 150-390 orang.
Skenario terburuknya adalah, bila gelombang kedua penyebaran CV19 datang terjadi pada musim hujan (setelah lebaran), di mana petugas dan fasilitas kesehatan telah kelelahan ditambah intensitas hujan tinggi di waktu itu, maka PDP dapat mencapai 100,000-550,000 orang dengan kematian 2500-16,500 orang sampai akhir tahun 2020. Kondisi negara menjadi Fallen Nation dan ekonomi mengalami penurunan drastis.
Pesan untuk Otoritas Indonesia: Lockdown dan Perbanyak Fasilitas Darurat
Tentu kita tidak berharap terjadi skenario buruk tersebut, kita membutuhkan skenario flatten the curve (kurva datar yang mereda), sehingga jumlah PDP tidak se drastis dalam komputasi model.
Dilema Lockdown antara melindungi ekonomi atau tumpah darah Indonesia seharusnya dicukupkan. Dalam skenario CV19 yang serupa dengan pola penyebaran Flu Spanyol 1918/1919 maka lockdown adalah satu-satunya opsi. Tinggal apakah memilih total lockdown atau mild lockdown sebagaimana tulisan saya sebelumnya yang berjudul Bersiap Lockdown Jakarta, Ekonomi Runtuh?
Indonesia rentan lebih banyak korban dibanding China, Italia karena minimnya anggaran dan kebijakan penanganan yg tidak tepat juga budaya masyarakat Indonesia yang tidak taat aturan apalagi sekedar anjuran pemerintah.
Kita doakan skenario buruk dan terburuk tidak terjadi dan kita harus mendukung gerakan social distance dan work from home secara konsisten dan otoritas pusat bisa segera mengambil opsi terbaik berdasarkan berbagai pertimbangan yang terbaik tanpa ragu. Semoga.
![]()
END
Editor : Redaksi