Bayangkan sebuah kota metropolitan yang tidak hanya identik dengan gedung pencakar langit dan kemacetan, tetapi juga dipenuhi ruang-ruang hijau produktif yang menyediakan pangan sekaligus menjadi tempat rekreasi. Inilah visi besar Makassar melalui program urban farming yang digarap serius oleh pemerintah kota bersama masyarakat. Urban farming, atau pertanian perkotaan, bukan sekadar tren sesaat, melainkan solusi cerdas untuk mengatasi masalah klasik perkotaan seperti lahan tidur yang menganggur dan ketergantungan pangan dari daerah lain.
Konsep urban farming menggabungkan pertanian, perikanan, dan peternakan skala kecil dalam satu pendekatan terintegrasi yang mampu menulis babak baru dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan. Artikel ini bertujuan mengulas implementasi, manfaat, dan tantangan urban farming di Makassar, sekaligus menggali potensi program ini sebagai solusi ketahanan pangan dan atraksi wisata alternatif yang inovatif dan berkelanjutan.
Kota Makassar, sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan serius terkait keterbatasan ruang hijau dan ketergantungan pangan dari luar daerah. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang pesat, kebutuhan akan ruang hijau produktif semakin mendesak. Program Lorong Garden yang pernah digagas sebelumnya menjadi tonggak awal dalam upaya penghijauan kota. Meski hanya terasa semakin marak saat menjelang peringatan Hari Lahir Kota Makassar atau Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia; Program ini setidaknya berhasil mengubah lorong-lorong kampung yang semula kumuh menjadi ruang publik yang asri dan hijau, membuktikan semangat tinggi masyarakat Makassar dalam menciptakan lingkungan yang lebih sehat.
Sekarang marak kita baca pada media massa termasuk media sosial, ide Wali Kota Makassar mengembangkan konsep urban farming yang mengintegrasikan penghijauan dengan produktivitas pangan. Transformasi Lorong Garden ini tidak hanya meningkatkan nilai estetika kota, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan memperkuat ketahanan pangan komunitas. Setiap jengkal lahan tidur di Makassar kini memiliki potensi untuk menjadi sumber kehidupan yang produktif dan berkelanjutan.
Urban farming telah menjadi paradigma penting dalam menjawab tantangan ketahanan pangan, keberlanjutan kota, dan penguatan komunitas. Dengan meningkatnya populasi perkotaan, kebutuhan akan sumber pangan lokal yang mudah diakses menjadi semakin krusial. Urban farming tidak hanya menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mengurangi jejak karbon dari rantai distribusi pangan konvensional yang panjang. Budidaya tanaman di kawasan perkotaan dan peri-perkotaan berperan penting dalam menyediakan akses pangan sekaligus meminimalkan dampak lingkungan yang merugikan (Ramsay, 2007; Kanosvamhira, 2025).
Pelaksanaan urban farming di Makassar haruslah mengadopsi pendekatan terintegrasi yang menggabungkan pertanian, perikanan, dan peternakan skala kecil. Pemerintah kota bersama masyarakat berkolaborasi dalam merancang dan menjalankan program ini dengan dukungan teknologi modern seperti hidroponik, akuaponik, dan vertikultur. Teknologi ini memungkinkan produksi pangan yang efisien di ruang terbatas, mengoptimalkan penggunaan sumber daya seperti air dan energi.
Selain teknologi, sistem pendukung berupa kebijakan yang mendukung, pelatihan, dan edukasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan program. Pemerintah wajib menyediakan pelatihan intensif bagi masyarakat untuk menguasai teknik pertanian modern dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Edukasi ini juga bertujuan mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini menganggap pertanian sebagai aktivitas pedesaan yang tidak relevan di kota metropolitan.
Urban farming di Makassar juga seharusnya dirancang sebagai bagian dari perencanaan tata guna lahan yang strategis, memungkinkan pengembangan kebun komunitas, rooftop gardens, dan edible landscapes. Inisiatif ini tidak hanya memperindah kota tetapi juga mendorong pelestarian lingkungan dan pengurangan jejak ekologis produksi pangan melalui teknik ramah lingkungan seperti kompos, rotasi tanaman, dan konservasi air (Springer, 2025).
Menurut pemberitaan beberapa media, ada 2 (dua) lokasi percontohan urban farming di Makassar, yaitu BPP Sudiang dan BPP Barombong, dikembangkan sebagai urban farming hub yang berfungsi sebagai pusat pendidikan, pelatihan, dan agrowisata. Di sini, masyarakat dapat mempelajari berbagai teknik pertanian modern seperti aquaponik, hidroponik, dan vertikultur yang sangat cocok untuk lingkungan perkotaan.
Sistem aquaponik menjadi unggulan karena mampu menyatukan budidaya ikan dengan sayuran dalam satu siklus tertutup yang efisien, mengoptimalkan penggunaan air dan nutrisi. Selain sebagai pusat pelatihan, lokasi ini juga dirancang sebagai destinasi wisata edukatif di mana pengunjung dapat langsung mengalami proses bertani di kota. Pendekatan holistik ini memastikan urban farming tidak hanya memecahkan masalah pangan, tetapi juga menciptakan pengalaman baru yang menarik bagi warga dan wisatawan.
Pengalaman pengunjung di urban farming hub ini memberikan wawasan tentang pentingnya pertanian berkelanjutan dan peran teknologi dalam mendukung ketahanan pangan kota. Selain itu, kegiatan agrowisata yang melibatkan interaksi langsung dengan proses produksi pangan memperkuat kesadaran masyarakat akan nilai lingkungan dan sosial dari urban farming (Makassar City Government, 2025).
Urban farming di Makassar tidak hanya berkontribusi pada ketahanan pangan, tetapi juga membuka peluang ekonomi kreatif yang signifikan. Hasil panen sayuran dan ikan yang dihasilkan tidak hanya untuk konsumsi pribadi, tetapi juga dapat dikembangkan menjadi usaha mikro dengan nilai tambah tinggi. Kelompok masyarakat dapat memulai mengolah hasil kebun menjadi produk olahan seperti keripik bayam, dodol lele, dan hasil olahan lainnya yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
Pemerintah kota harus aktif mendorong perkembangan kewirausahaan ini melalui pelatihan bisnis dan akses ke pasar modern, termasuk pasar digital. Bahkan di beberapa lorong didorong untuk menerapkan konsep urban farming. Pada perjalanannya muncul aktivitas agrowisata di mana pengunjung dapat memetik sayur sendiri atau memberi makan ikan, menambah daya tarik wisata sekaligus meningkatkan pendapatan warga.
Model bisnis urban farming ini memperkuat identitas lokal Makassar sebagai kota yang kreatif dan mandiri, sekaligus memberikan kontribusi nyata terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan dukungan pelatihan dan akses pasar yang memadai, urban farming menjadi sumber penghasilan alternatif yang berkelanjutan bagi banyak keluarga
Meskipun memiliki potensi besar, pelaksanaan urban farming di Makassar menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah. Salah satu kendala utama adalah perubahan pola pikir masyarakat yang masih menganggap bertani sebagai aktivitas pedesaan yang kurang cocok untuk lingkungan metropolitan. Stigma ini menjadi hambatan dalam meningkatkan partisipasi aktif warga dalam program urban farming.
Selain itu, masalah pendanaan dan pemeliharaan infrastruktur juga menjadi kendala signifikan. Keterbatasan dana untuk pengadaan alat, bahan, dan perawatan fasilitas pertanian modern memerlukan solusi kreatif dan dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak. Kesinambungan program juga menjadi perhatian, mengingat urban farming membutuhkan komitmen jangka panjang agar dapat memberikan dampak yang signifikan.
Keberhasilan urban farming di Makassar sangat bergantung pada kolaborasi erat antara berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah Kota Makassar melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pertanian, Perikanan, Koperasi, dan Lingkungan Hidup dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Keterlibatan tokoh masyarakat dan ahli urban farming, seperti Fadly 'Padi' Arifuddin yang juga seorang musisi dan ahli bersertifikasi internasional, memberikan kontribusi pemikiran yang inovatif.
Kelompok masyarakat seperti PKK dan Kelompok Wanita Tani menjadi ujung tombak pelaksanaan di lapangan, memastikan program berjalan dengan partisipasi aktif warga. Selain itu, kerjasama dengan sektor swasta melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR) dan lembaga internasional seperti PBB memperkuat pendanaan dan dukungan teknis.
Model kemitraan ini memastikan urban farming bukan sekadar proyek pemerintah, tetapi gerakan masyarakat yang berkelanjutan dan inklusif. Kolaborasi lintas sektor ini menjadi fondasi penting dalam membangun sistem pangan perkotaan yang tangguh dan berkelanjutan
Ke depan, urban farming di Makassar memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi model nasional pembangunan perkotaan berkelanjutan. Konsep ini tidak hanya menjawab masalah ketahanan pangan, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon melalui peningkatan ruang hijau kota. Urban farming juga menciptakan ruang interaksi sosial baru di tengah masyarakat urban yang semakin individualis.
Ketika lorong-lorong kampung berubah menjadi kebun produktif, secara tidak langsung tercipta ruang publik yang mempersatukan warga. Makassar bisa diciptakan menjadi kota di mana modernitas dan tradisi pertanian berjalan beriringan, menghasilkan lingkungan hidup yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih sejahtera.
Teori "Ladder of Citizen Participation" Arnstein menjelaskan bahwa partisipasi efektif memberikan masyarakat kemampuan untuk memengaruhi keputusan yang relevan bagi kehidupan mereka. Urban farming di Makassar harus mengadopsi prinsip ini dengan melibatkan warga secara aktif dalam setiap tahap program, dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi (Arnstein, 1969).
Akhirnya, Urban farming di Makassar merupakan solusi inovatif dan berkelanjutan yang menjawab tantangan ketahanan pangan, pengelolaan ruang hijau, dan pengembangan ekonomi lokal. Melalui pendekatan terintegrasi, kolaborasi lintas sektor, dan teknologi modern, program ini tidak hanya menyediakan pangan lokal yang sehat dan bernutrisi, tetapi juga menciptakan peluang bisnis kreatif dan atraksi wisata edukatif.
Tantangan yang ada dapat diatasi dengan edukasi, insentif, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak. Dengan visi yang jelas dan partisipasi aktif masyarakat, urban farming di Makassar berpotensi menjadi model pembangunan perkotaan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat identitas kota sebagai pusat inovasi pertanian perkotaan dan agrowisata.
Editor : Redaksi