Kebangkitan Nasional pada Gelombang Ketiga
Selasa, 27 Oktober 2020 11:20
Sosok pahlawan mulai terlupakan, tergantikan figur selebriti. Elite-elite di panggung negara pasca reformasi, hadir tanpa narasi besar.
BUKAMATA - Ketika ide nasionalisme masuk ke kepulauan nusantara pada awal abad ke-20, para tokoh kebangkitan nasional pada awalnya tidak punya imajinasi yang utuh tentang bangsa Indonesia yang akan menyatukan nusantara. Sebab, seperti kata Soeriokoesoemo, salah satu pimpinan Boemi Poetra, "Kebudayaan kita sama sekali berbeda. Kami juga punya sejarah kami sendiri, kami juga memiliki orang-orang besar sendiri". Ada terlalu banyak etnis dan ikatan politik masayarakat yang hidup di atas kepulauan-kepulauan ini yang mustahil untuk disatukan.
Itulah sebabnya di awal era kebangkitan nasional, organisasi-organisasi pergerakan yang lahir hampir semuanya mengusung nasionalisme suku, seperti Budi Utomo, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dan Jong Ambon. Sebab nasionalisme seperti ini lebih mudah menemukan akar sosio-historisnya. Atau bentuk lain yang berdasarkan ikatan keagamaan, seperti Sarekat Islam bagi kaum pribumi yang beragama Islam untuk membedakan identitas mereka dengan pedagang-pedagang China dan Eropa.
Namun di tengah fakta banyaknya perbedaan tersebut, para intelektual kebangkitan nasional juga menyadari, bahwa ada persoalan yang jauh lebih besar yang harus dihadapi bersama, yaitu kolonialisme. Apa pun identitasnya, mereka semua hidup menderita dan terjajah di bawah kekuasaan Belanda. Oleh karena itu mereka memerlukan satu ikatan kebangsaan baru yang jauh lebih besar dari sekadar suku atau agama. Sesuatu yang bisa menyatukan semua perbedaan agar dapat bangkit bersama-sama dan menentukan nasibnya sendiri.
Dalam kemuskilan seperti ini, tampillah Muhammad Yamin, tokoh kebangkitan nasional dari pulau Sumatera. Beliau menghadirkan defenisi baru tentang kebangsaan dengan mengutip ide sejarawan Ernest Renan (1882), bahwa bangsa adalah jiwa yang dibentuk oleh dua hal, Pertama adalah masa lalu, yaitu kepemilikan yang sama atas kenangan, dan yang kedua adalah masa kini, yaitu persetujuan dan keinginan untuk hidup bersama, keinginan untuk terus mengembangkan warisan yang sama di masa depan.
Muhammad Yamin menyadari, bahwa syarat yang kedua bagi terbentuknya jiwa kebangsaan baru telah terpenuhi, yaitu keinginan yang sama saat ini untuk keluar dari penderitaan akibat penjajahan. Ada kerinduan yang kuat dan menjadi "collective mind" bagi hampir seluruh masyarakat di nusantara untuk merdeka dan mengakhiri lingkaran penindasan yang telah mereka alami selama tiga ratus tahun. Tapi bagaimana menemukan akar sejarah yang sama untuk memenuhi syarat ikatan kebangsaan yang pertama?
Dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, Muhammad Yamin menghadirkan kembali narasi "nusantara" dari masa keemasan Majapahit, sebagai kenangan kolektif yang menyambungkan ingatan semua peserta kongres. Sebuah kenangan bahwa generasi sebelum mereka pernah hidup rukun dan makmur bersama di tengah banyaknya perbedaan dalam bingkai "nusantara". Dan semua itu diawali dari sumpah Mahapatih Gajahmada yang dikenal sebagai Sumpah Palapa. Maka dari Kongres Pemuda ini jugalah lahir Sumpah Pemuda, yang menjadi tonggak lahirnya sebuah bangsa baru, bangsa Indonesia.
Hampir seratus tahun sejak peristiwa ini, bangsa Indonesia telah mengalami transformasi yang sangat panjang dan berhasil membangun negara moderen. Generasi berganti dan masyarakat baru telah lahir. Namun ada sedikit kekhawatiran bahwa shifting generasi ini tidak mewariskan dengan baik kenangan tentang bagaimana bangsa Indonesia dilahirkan. Sejarah Indonesia tidak lagi menjadi cerita yang menyatukan, tetapi menjadi kisah-kisah yang terlupakan. Nama-nama pahlawan tak lagi dikenal, dikalahkan oleh gemerlap nama-nama bintang dan selebriti moderen.
Yang lebih memprihatinkan adalah bangsa ini sepertinya kehilangan agenda besar. Elite-elite yang tampil di panggung negara pasca reformasi 1998, hadir tanpa narasi besar yang bisa menjadi "collective mind" dan melampaui kepentingan kelompok atau golongan. Akibatnya, konflik elite yang merupakan residu dari persetuan mereka sebelum reformasi mewarnai perpolitikan nasional dan menciptakan pembelahan tajam di tengah rakyat. Dan dalam situasi pembelahan seperti ini, kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif akan sangat sulit.
Dalam situasi seperti ini, tampillah Anis Matta, yang menggagas sebuah gerakan politik baru. Langkah pertamanya adalah membangkitkan kembali ingatan kolektif bangsa Indonesia tentang sejarah bangsanya melalui narasi Gelombang Ketiga Indonesia (2014). Anis Matta menawarkan cara membaca sejarah Indonesia dalam perspektif yang lebih progresif, bahwa terlepas dari berbagai konflik, pergolakan dan penderitaan dalam dua gelombang sejarahnya, pada kenyataan semua itu telah membawa bangsa kita dalam pencapaian yang luar bisa, yaitu merdeka dari penjajahan dan berhasil membangun negara moderen yang demokratis.
Tapi Anis Matta juga menyadari bahwa narasi historis sebagai kenangan kolektif saja tidak cukup. Seperti kata Ernest Renan, "Apa yang membentuk satu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tetapi karena membuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar pada masa depan". Maka bangsa ini juga memerlukan cita-cita besar untuk dicapai di masa depan. Cita-cita yang mampu mempersatukan dan menjadi "collective mind" seluruh anak bangsa saat ini. Maka lahirlah narasi Arah Baru Indonesia, yang menawarkan cita-cita besar, menjadikan Indonesia sebagai kekuatan kelima dunia.
Narasi Arah baru Indonesia dengan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai kekuatan kelima dunia bukanlah narasi kosong yang hanya berisi slogan. Dalam berbagai kesempatan Anis Matta menjelaskan peta jalan (road-map) yang harus ditempuh menuju ke sana. Untuk tampil sebagai "global power" dan selevel dengan kekuatan-kekuatan global yang menentukan arah sejarah dunia, Indonesia harus mampu membangun tiga kekuatan utama, yaitu ekonomi, teknologi dan militer. Dan untuk meraih kekuatan tersebut, tidak cukup hanya dengan mengandalkan sumber daya alam sebagaimana yang ada selama ini, tapi memerlukan daya dukung masyarakat berpengetahuan (knowledge society) dan juga pemerintahan yang efektif.
Hadirnya narasi Gelombang Ketiga Indonesia yang membangkitkan kembali ingatan tentang pencapaian besar bangsa Indonesia di masa lalu, dan narasi Arah Baru Indonesia sebagai tawaran cita-cita bangsa untuk saat ini dan masa depan, merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan "kebangkitan nasional" bangsa Indonesia yang kedua kalinya setelah kebangkitan pertama pada momentum Sumpah Pemuda sembilan puluh dua tahun yang lalu.
Mungkin tidak harus diawali dengan sumpah sebagaimana sumpah palapa dan sumpah pemuda, tapi paling tidak setiap anak bangsa perlu membaca narasi ini sebagai alternatif kekosongan narasi dan "bersumpah" kepada dirinya untuk membangun Indonesia dengan semangat yang sama yang dimiliki oleh para pendiri bangsa. Dan kata kunci untuk memulainya adalah KOLABORASI.
Selamat Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020.