BUKAMATA - Pada 30-31 Oktober 2021 Presiden Jokowi dijadwalkan berkunjung ke Ibukota Italia, Roma untuk mengikuti penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Pada momen tersebut, Indonesia akan menerima mandat menjadi ketua dan tuan rumah presidensi G20 untuk 2022.
Ini adalah momen istimewa bagi Indonesia untuk aktif menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan global.
Masalahnya adalah bagaimana caranya agar Indonesia memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan reputasinya sebagai bangsa besar yang disegani dalam persoalan global saat ini.
Disinilah tantangannya, siapkah kita, Indonesia memanfaatkan windows of opportunity (jendela kesempatan) untuk menjadi pemain global tersebut?
Konsekuensi dari Indonesia menjadi Presidensi KTT G20 tahun depan nanti adalah KTT-G20 2022 nanti akan dihadiri seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan anggota G20 dengan diselangi dengan berbagai pertemuan yang direncanakan terdapat 150 pertemuan sepanjang tahun sejak 1 Desember 2021 sampai 31 November 2022.
Jumlah delegasi berbagai pertemuan itu sekitar 1000 sampai 5.800 orang dari seluruh dunia dalam event sepanjang satu tahun penuh dengan melibatkan tenaga kerja sekitar lebih dari 40.000 tenaga kerja dari berbagai sektor.
Bagi Indonesia, event Presidensi G-20 tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan peran Indonesia sebagai pemimpin dari negara berkembang yang menawarkan solusi bagi negara-negara maju. Namun apa yang harus dijadikan agenda kerja Indonesia untuk mencapai dua tujuan tersebut.
Agenda Kerja Indonesia Mulai Mereda Ketegangan Dunia sampai Isu Perubahan Iklim dan Inklusi Keuangan
Setidaknya ada empat agenda kerja untuk Indonesia untuk memanfaatkan Presidensi KTT G20 di tahun 2022 diantaranya adalah Mereda Ketegangan Demi Ketegangan Dunia, Mengembalikan Relevansi G-20 Dalam Penanganan COVID19, Melakukan koherensi terhadap Prinsip Perpajakan Global dan Melakukan Rekomitmen Terhadap Isu Perubahan Iklim dan Inklusi Keuangan.
Pertama, Mereda Ketegangan Demi Ketegangan Dunia
Saat ini, ketegangan demi ketegangan dunia tidak kunjung reda. Penandatanganan aliansi AUKUS menyebabkan Perancis protes terhadap aliansi militer AS, Inggris dan Australia baru tersebut.
Bahkan untuk menunjukan keseriusan protesnya, Perancis menarik dubesnya dari Australia dan AS.
Pasalnya perjanjian AUKUS atau Aliansi AS-AU-Australia tersebut telah membatalkan kerjasama Australia-Perancis dalam membangun 12 kekuatan kapal selam nuklir senilai 37 miliar USD.
Perancis menuduh AS, dan Australia menusuk dari belakang terkait perjualan kapal selam nuklir tersebut.
Munculnya AUKUS juga menyebabkan China protes karena dinilai AUKUS akan menganggu stabilitas keamanan di wilayah perdagangan Asia-Pasifik. China layak khawatir karena dengan kecanggihan armada laut dan 12 kapal selam nuklir baru Australia, China tidak lagi dapat mengamankan jalur perdagangannya dengan tenang terutama laut cina selatan yang terus memanas.
Kedua, Mengembalikan Relevansi G-20 Dalam Penanganan COVID19
Masalah COVID19 juga terdapat kesenjangan penanganan diantara negara G20. Negara G20 dinilai tidak cukup kompak dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Akibatnya kebijakan G20 terkait COVID19 terkesan menjadi lambat, kurang efektif dan kurang koheren.
Langkah aksi yang diusulkan G20 kurang pas untuk mengatasi dampak pandemi, bahkan kebijakan G20 tampaknya tidak terkoneksi dengan insentif-insentif masing-masing pemerintah. Persoalan ketidakkompakan penanganan COVID19 disebabkan berbagai tuduhan salah satunya adalah dari masa asal virus COVID19. Media AS menyebutkan virus COVID19 berasal dari Lab biologi milik China sementara China melihat tuduhan tersebut ingin merusak reputasi dan ekonomi China.
Dampaknya, setiap anggota G20 tampak lebih mendahulukan melindungi warga negaranya masing-masing daripada bekerja dalam framework G20 secara keseluruhan.
Organisasi G20 dinilai tidak memiliki relevansi dalam penanganan COVID19. Ini adalah agenda kerja Indonesia untuk memastikan bahwa organisasi G20 memiliki relevansi tinggi dalam penanagana COVID19.
Ketiga, Melakukan koherensi terhadap Prinsip Perpajakan Global
Dengan semakin integrasinya perusahaan global khususnya perusahan digital, banyak negara menerapkan pajak yang berbeda-beda yang akhirnya dinilai menerapkan pajak diskriminasi terhadap perusahaan digital yang umumnya berpusat di AS.
Menteri keuangan AS, Janet Yellen dalam pertemuan di Brussel Juli 2021 lalu menekan para menteri keuangan di Uni Eropa agar mempertimbangkan kembali rencana mengusulkan pungutan digital terhadap perusahaan AS.
Tentunya, AS dan negara maju lainnya sebagai bagian dari anggota G20 ingin pajak untuk perusahaan teknologi yang berbasis di negaranya tidak dikenakan pajak berganda di negara berkembang anggota G20, namun negara berkembang melihat pajak digital diperlukan untuk memperkuat pendapatan negaranya. Disinilah terjadi perbedaan prinsip perpajakan global diantara negara anggota.
Indonesia diharapkan bisa melakukan koherensi terhadap prinsip-prinsip perpajakan global sehingga memiliki kesetaraan perpajakan yang lebih fair dan adil.
Keempat, Melakukan Rekomitmen Terhadap Isu Perubahan Iklim dan Inklusi Keuangan
Perubahan iklim semakin terasa dampaknya bagi kehidupan manusia, kebakaran hebat di California, Turki, Australia dan negara lain pada tahun 2021 ini seharusnya menjadi refeksi pentingnya negara G20 untuk berkerjasama lebih serius lagi bagi mencari solusi perubahan iklim global.
Bila satu negara tidak bersepakat mengurangi karbonnya maka perubahan iklim yang lebih buruk tidak dapat dihindari juga. Kerjasama terkait perubahan iklim tidak bisa dilakukan parsial dan tidak kolektif harus kompak dan komitmen harus disampaikan dalam satu voice yang sama. Ini tantangannya.
Inklusi keuangan juga menjadi isu yang harus dicarikan solusinya, dengan semakin tingginya digitalisasi, masyarakat dunia yang literasi digitalnya rendah tentu tidak dapat menikmati kemajuan digitalisasi saat ini.
Apabila literasi tersebut tidak ditingkatkan secara serius maka akan terjadi kesenjangan dan ketimpangan yang sangat serius ditingkat global. Indonesia harus juga mampu menawarkan agenda kerja inklusi keuangan yang dapat diterapkan oleh sebesar-besarnya masyarakat marginal.
Kesimpulan
Indonesia seharusnya menjadi katalis yang konstruktif dalam memecahkan ketegangan dunia saat ini. Polarisasi AS-China seharusnya tidak merusak tatanan ekonomi dunia.
Bila ada kompetisi diantara kekuatan ekonomi AS dan China seharusnya tidak memiliki efek destruktif bagi tatanan ekonomi negara lain.
Indonesia seharusnya menjadi pelopor dalam membuat aturan main kompetisi ekonomi AS dan China yang lebih sehat sehingga negara-negara lain yang mayoritas tidak terkena dampak ekor (tail effects) dari kompetisi tersebut.
Indonesia seharusnya bisa membangkitkan semangat kebersamaan dan kerjasama multilateral yang selama ini semakin tergerus.
Dalam melaksanakan Presidensi KTT G20 tahun 2022. Indonesia juga perlu belajar dari event pertemuan IMF-World Bank 2018 lalu dimana Indonesia tuan rumahnya. Harus diakui, Indonesia sukses dalam melaksanakan KTT IMF-World Bank tersebut namun Indonesia belum optimal menawarkan solusi-solusi keuangan internasional yang ada.
Indonesia harus naik kelas lagi dari sukses menjadi event organizer penyelenggara KTT menjadi sukses menjadi aktor aktif yang menguraikan dan menyelesaikan persoalan-persoalan dunia. Semoga dan Selamat Bekerja Indonesia!
Editor : Redaksi