MAKASSAR, BUKAMATANEWS - Perubahan status kawasan hutan seluas 16.250,68 hektare di Kabupaten Gowa, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 362 Tahun 2019, menuai kekhawatiran serius di kalangan pemerhati lingkungan.
Kebijakan yang dianggap sebagai penyesuaian administrasi tata ruang ini dinilai telah membuka ruang eksploitasi masif di kawasan hulu yang vital, terutama di sekitar Pegunungan Bawakaraeng.
Investigasi LSM Forum Komunitas Hijau di lapangan menunjukkan, pelepasan kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.852,379 hektare di Kecamatan Tinggimoncong, termasuk kawasan wisata Malino telah memicu pembukaan lahan secara signifikan.
Kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga ekologi dan daerah tangkapan air ini justru menjadi yang pertama terdampak perubahan status.
"Di atas kertas, kebijakan ini menjanjikan kepastian hukum dan investasi. Namun di lapangan, ia berpotensi menjadi pintu masuk legal bagi eksploitasi di kawasan penyangga kehidupan," kata Yusran dari Forum Komunitas Hijau, Minggu, 14 Desember 2025.
Salah satu celah yang dimanfaatkan adalah skema Izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang berlaku di HP dan HPT. Meski bertujuan pemberdayaan, salah satu item kegiatan HKm memungkinkan penebangan pada areal tertentu, yang dalam praktiknya seringkali meluas dan sulit dikendalikan.
"Status HP dan HPT ini memberikan ruang untuk HKm. Ketika statusnya berubah atau batasnya melonggar, kontrol terhadap aktivitas di dalamnya menjadi sangat lemah," tambah Yusran.
Yang lebih mengkhawatirkan, masih ada sisa 14.397,937 hektare di sembilan kecamatan lain yang rencananya akan menyusul berubah status menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), setelah melalui proses penataan batas yang diklaim selesai pada 2022. Proses yang melibatkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar ini dinilai minim transparansi dan partisipasi publik.
"Di tengah meningkatnya frekuensi banjir, longsor, dan krisis air di Gowa dan Makassar, perubahan kawasan hutan ini adalah preseden buruk. Ini bisa menjadi kebijakan yang sah secara prosedural tetapi cacat secara ekologis," tegas Yusran.
Proses perubahan fungsi ini berawal dari revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi atas usulan RTRW Kabupaten. Setelah disetujui Gubernur, Kementerian LHK membentuk Tim Terpadu (Timdu) untuk verifikasi lapangan. Hasil verifikasi Timdu inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan perubahan oleh Menteri LHK.
Namun, oleh LSM FKH mekanisme ini dipertanyakan. "Sejauh mana pertimbangan daya dukung lingkungan dan kajian hidrologis komprehensif dilakukan sebelum perubahan besar-besaran ini? Atau ini sekadar memuluskan kepentingan tata ruang yang berorientasi pada pembangunan ekonomi semata?," tandas Yusran.
Dampak ekologis sudah mulai terasa. Masyarakat di sejumlah daerah menyebut debit mata air menurun dan kerentanan tanah longsor meningkat. Jika sisa rencana perubahan status hutan itu diteruskan, dikhawatirkan krisis lingkungan di wilayah hilir akan semakin parah.
Keputusan Menteri LHK No. 362/2019, yang semula dianggap solusi administrasi, kini berada di persimpangan. Di satu sisi memberi kepastian bagi daerah, di sisi lain mengancam keberlanjutan ekosistem. Nasib 16 ribu hektare lebih hutan di Gowa menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah menyeimbangkan pembangunan dan konservasi di tengah krisis iklim. (*)
BERITA TERKAIT
-
Dibabat Habis di Hulu, Puluhan Hektare Hutan Lindung di Gowa Gundul Akibat Ilegal Logging
-
Filosofi di Balik Logo Baru HJG Ke-705: Ujung Badik, Embun, dan Tangan Pakarena
-
Pemprov Sulsel Perkuat Ketahanan Pangan Lewat Program Mandiri Benih Kentang di Gowa
-
Pemkab Gowa Gelar Edukasi Keuangan untuk Organisasi Wanita, Pemuda, dan Siswa: Dorong Literasi Finansial Sejak Dini
-
Pemkab Gowa dan Bulog Makassar Salurkan 943,6 Ton Beras untuk Warga Kurang Mampu