Fatmawati Rusdi Ajak Generasi Muda Menjadi Pahlawan Masa Kini
10 November 2025 21:16
Kritik merupakan bagian dari demokrasi, namun tanpa etika dan data, kritik bisa berubah menjadi serangan personal yang merusak martabat. Syahrullah Sanusi menegaskan pentingnya kesadaran etis dalam menjaga ruang publik yang sehat dan demokratis.
MAKASSAR, BUKAMATANEWS – Demokrasi sejatinya memberi ruang seluas-luasnya bagi kritik dan perbedaan pendapat. Namun, di tengah kebebasan tersebut, muncul fenomena baru: kritik tanpa data dan fakta yang justru merusak nilai demokrasi itu sendiri. Hal ini menjadi sorotan Syahrullah Sanusi, yang menegaskan pentingnya membedakan antara kritik yang membangun dan serangan personal yang merusak karakter.

Mengacu pada pernyataan Antonius Benny Susetyo, “Di dalam ruang demokrasi tumbuh subur kritik yang tidak berdasarkan fakta dan data, yang akhirnya hanya menghancurkan karakter manusia,” Syahrullah menilai fenomena ini telah menjadi ancaman nyata terhadap demokrasi yang sehat.
“Saya memahami bahwa kritik adalah bagian vital dari demokrasi. Kita semua membutuhkannya untuk membangun kesadaran etis. Tapi hari ini, terlalu sering kritik berubah menjadi instrumen penghancur, bukan pengingat atau korektor,” ungkap Syahrullah.

Secara khusus, Syahrullah menyoroti adanya kritik terhadap pemerintahan Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman yang dinilainya tidak berdasar fakta maupun data, dan lebih bernuansa provokasi serta pencitraan negatif yang bersifat personal.
“Kritik yang tidak menyajikan solusi, tidak adil dalam narasi, dan hanya membidik reputasi seseorang bukanlah bagian dari dialektika demokrasi yang sehat,” ujarnya. “Yang seperti ini justru merusak semangat demokrasi itu sendiri.”
Menurutnya, kritik seharusnya menjadi alat koreksi dan sumbangan pemikiran. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sangat terbuka terhadap masukan kritis, asalkan didasarkan pada data yang valid, argumentasi yang berimbang, dan niat yang konstruktif.
“Kita butuh orang-orang kritis, bukan hanya pengkritik. Yang mampu membaca realitas dan menawarkan jalan keluar, bukan memperkeruh suasana,” tegas Syahrullah.
Dalam refleksinya, Syahrullah mengungkapkan keprihatinan terhadap maraknya praktik penghancuran karakter (character assassination) yang dikemas sebagai kritik. Ia menekankan bahwa perbedaan pendapat adalah hal wajar, tetapi serangan terhadap martabat pribadi adalah bentuk penyimpangan.
“Saya paham bahwa dalam demokrasi selalu ada dialektika. Namun yang tak bisa diterima adalah ketika kritik itu berujung pada perundungan, penghinaan, dan kebencian yang disamarkan dalam balutan kebebasan berpendapat.”
Ia kembali mengutip pernyataan Antonius Benny Susetyo, bahwa “Kesadaran etis dapat membangun ruang demokrasi. Demokrasi sejati butuh ruang publik yang sehat, bebas dari kebencian dan rekayasa kebohongan.”
Lebih lanjut, Syahrullah menambahkan bahwa masyarakat perlu cerdas memilah kritik. Keseimbangan antara fakta, data, dan konteks harus menjadi landasan setiap ekspresi demokratis. “Kritik tanpa martabat hanya akan menjadi kekacauan opini yang menyesatkan publik,” katanya.
Menutup pernyataannya, Syahrullah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendoakan para pemimpin, seraya mengutip hikmah dari Fudhail bin ‘Iyadh:
“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku. Sebab jika pemimpin itu baik, maka seluruh rakyat akan ikut merasakan kebaikan.”
Dalam semangat itu, ia mengajak semua pihak untuk menjaga demokrasi dengan integritas dan etika. Kritik dibutuhkan, tapi harus tumbuh di atas kesadaran moral, bukan dilandasi amarah atau kebencian yang membabi buta.
10 November 2025 21:16
10 November 2025 17:45
10 November 2025 08:16
10 November 2025 08:28
10 November 2025 11:26
10 November 2025 08:37
10 November 2025 13:06