BUKAMATA - Rupiah terpantau melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena dana asing terus meninggalkan Tanah Air dan adanya kekhawatiran di pasar global, terutama yang berasal dari AS.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah melewati level psikologis Rp15.695/USD atau mengalami pelemahan sebesar 0,58%. Posisi ini merupakan yang terlemah dalam kurun waktu sekitar 10 bulan terakhir, sejak 28 Desember 2022.
Indeks dolar AS (DXY) juga mengalami apresiasi, yang membuat mata uang Garuda semakin tertekan. Pada pukul 14.10 WIB, DXY tercatat berada di posisi 106,47 atau mengalami kenaikan sebesar 0,4% dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya pada 8 Oktober 2023 yang berada di angka 106,04.
Kondisi ekonomi AS saat ini juga masih mengalami ketegangan karena tingkat inflasi yang diperkirakan masih cukup tinggi, terutama yang akan diumumkan pekan ini.
Dilansir dariCNBC Research pada Agustus 2023, AS mencatatkan inflasi naik menjadi 3,7% (year on year/yoy) dibandingkan dengan bulan Juli yang mencapai 3,2% secara tahunan (yoy). Kenaikan harga di AS juga melampaui perkiraan konsensus sebesar 3,6%, seperti yang dikutip dari Trading Economics.
Jika inflasi AS tetap tinggi atau bahkan meningkat, hal ini menunjukkan bahwa ekonomi AS masih berada dalam keadaan panas, dan inflasi sulit untuk turun ke target kisaran bank sentral AS (The Fed) sekitar 2%.
Banyak analis memperkirakan bahwa inflasi AS akan tetap tinggi karena daya beli warga AS yang kuat. Selain itu, lonjakan harga minyak pada bulan September juga membuat sulit bagi AS untuk mengendalikan inflasi.
Sebagai hasilnya, suku bunga AS diperkirakan akan tetap tinggi, dan perangkat CME FedWatch mencatat kemungkinan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) antara November atau Desember 2023.
Kondisi ini juga menyebabkan terjadinya aliran modal keluar dari pasar keuangan domestik. Data transaksi pada tanggal 2-5 Oktober 2023 menunjukkan bahwa non-residen di pasar keuangan domestik melakukan penjualan bersih sebesar Rp2,50 triliun, dengan penjualan bersih sebesar Rp2,92 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), pembelian bersih sebesar Rp0,02 triliun di pasar saham, dan pembelian bersih sebesar Rp0,40 triliun di Surat Berharga Republik Indonesia (SRBI).
Hal ini disebabkan oleh daya tarik imbal hasil di AS sebagai negara maju, terutama jika AS kembali menaikkan suku bunganya. Oleh karena itu, imbal hasil deposito dan obligasi menjadi lebih diminati oleh para investor.