Redaksi : Kamis, 18 Februari 2021 21:47
Yuni Gerhani (kiri), bersama putri dan rekannya, bersiap ke Dusun Bahonglangi. Gambar lainnya, suasana di Dusun Bahonglangi.

BONE, BUKAMATA - Siang itu, Kamis, 11 Februari 2021. Yuyun sapaan akrab Andi Yuni Gerhani dan rombongan berangkat dari Kota Watampone, Bone menuju Kecamatan Bonto Cani. Dia menyertakan anggota Ikatan Sarjana (IKSA) dan SAPMA PALA, kelompok pecinta alam Satuan Siswa Pelajar dan Mahasiswa (SAPMA) Pemuda Pancasila. Pasalnya, medan yang dilewati cukup berat. Selain Yuyun, dalam rombongan juga ada Agus, Apu, Taufik, Allu, Ippang, Wandi, Pyton, Jaya Hammer, A. Wiwi, Suardi, dan si kecil, Athfah yang baru berusia 9 tahun.

Tiba di Bonto Cani sekira pukul 16.30 Wita. Perjalanan agak lama, karena di daerah Patimpeng ada mobil mogok. Belum lagi ban meletus saat akan memasuki Kecamatan Bonto Cani.

Di Desa Bontojai, Kecamatan Bonto Cani, mereka singgah di kediaman Kepala Dusun Bahonglangi. Hanya sampai di sini kendaraan roda empat. Selebihnya harus berjalan kaki. Mereka disambut kepala dusun. Selang beberapa menit kemudian, imam Dusun Bahonglangi juga tiba di rumah kadus. Istri Pak Kadus, sudah lebih dahulu berangkat, menunggu rombongan Yuyun di dusun Bahonglangi.

Usai salat asar, mereka bersiap-siap ke dusun Baholangi. Mobil diparkir di depan rumah kadus. Ada dua motor yang sudah ke sana untuk mengangkut donasi berupa Al-Quran, mukenah, obat-obat herbal, dan lain-lain. Donasi itu, semua dari dermawan yang menitipkan amanahnya kepada Yuyun.

"Sebagai penyambung amanah, selama ini saya cuma jalan sendiri. Cuma karena kebetulan saya di Pemuda Pancasila, jadi kalau ke pelosok saya hubungi teman-teman Pemuda Pancasila yang ada di sana," ujar Yuyun kepada Bukamatanews.id.

Perjalanan ke Dusun Bahonglangi, ditempuh dengan berjalan kaki. Jaraknya 11 kilometer. Mereka berangkat sekitar pukul 17.30 Wita. Usai berjalan kaki 3 kilometer, mereka sampai di tempat penampungan air bersih.

Tempat ini kerap dijadikan tempat peristirahatan bagi para pendaki. Setelah itu, lanjut berjalan lagi selama 8 kilometer. Perjalanan ditempuh selama 4,5 jam. Agak lambat, karena malam juga sudah meremang. Perjalanan 8 kilometer ini paling menantang. Banyak jalan setapak yang sisinya tebing yang curam.

"Belum lagi saya mengikutsertakan anak usia 9 tahun. Jadi kami tiba pukul 11 malam," ungkapnya.

Malam itu, Yuyun harus jalan miring. Karena di depannya ada putrinya, Athfah. Kalau dia tak miring, penglihatan Athfah akan terhalangi oleh bayangannya.

Sepanjang perjalanan, suara angin di tengah hutan, bagai bunyi hujan deras dari kejauhan yang menghampiri. Sepanjang perjalanan, mereka melewati beberapa mata air. Sekira 5 mata air.

"Intinya jalan menuju ke sana itu 80% mendaki, 10% landai, 10% menurun. Pulangnya beda lagi. Sekira 80% menurun, 10% landai dan 10% mendaki.

Saya lebih memilih mendaki dibanding menurun," ungkap Yuyun.

Beberapa teman-teman Yuyun kehabisan air. Sehingga, mereka singgah di mata air kedua untuk minum.

Awalnya, Yuyun hendak membawa 82 Al-Qur'an. Namun realitanya, cuma beberapa saja. Pasalnya, donatur yang awalnya menjanjikan, tak berkabar lagi.

"Saya pun juga tidak ingin mengingatkan, karena sifatnya tidak mengikat. Semua lillahi ta'ala. Dan ada tanggung jawab moral kepada donatur agar bergerak ke sana. Bahkan ada yang bertanya, apakah dana Al-Qur'an dari donatur itu sudah termasuk untuk biaya perjalanan kami? Jawabannya tidak," ujar Yuyun.

Yuyun menambahkan, mereka ke sana bukannya tanpa kendala. Tapi mereka juga sudah tak bisa menunda lagi. Pasalnya, karena takutnya musim hujan. "Kami sudah terbiasa bergerak dengan ketidakpunyaan. Saya kagum dengan cara Allah membuat kami bergerak. Dan untungnya, setelah kami dari sana baru turun hujan deras," jelas Yuyun.

Sayangnya lanjut Yuyun, karena terburu-buru, mereka tidak sempat ke puncak Gunung Bahonglangi. Menuju puncak gunung lanjut dia, perjalanan sekitar 8 kilometer lagi, dengan kemiringan tanjakan 60 derajat.

"Nah tempat bagi para pendaki registrasi untuk menuju ke puncak itu di Dusun Bontojai, tepatnya rumah imam yang akrab dipanggil Puang Sai. Rumah pak imam ini berada di ketinggian 1.200 kaki," beber Yuyun.

Usai menyalurkan Al-Quran, mereka pulang. Barulah terpampang seluruh keindahan alam yang dilewatinya di depan mata. Dusun Bahonglangi, bagai sepotong surga yang membelah Bone dan Gowa. Meski masuk di wilayah Bone, bahasa sehari-hari penduduknya bukan Bugis, melainkan Konjo. Yuyun yang merupakan penutur Bugis hanya paham beberapa kata.

"Ternyata benar kami berjalan kaki di tengah hutan. Baru tampak seluruh mata air. Keindahan Dusun Bahonglangi yang merupakan titik nol atau dusun terjauh Kabupaten Bone, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gowa, begitu memesona," paparnya.

Hamparan pohon pinus, menjadi salah satu daya tarik dari hutan. Kesegaran udaranya membuat rombongan menikmati perjalanan. Seperti liburan anti mainstream. "Hal yang wajib rasanya untuk singgah berfoto. Kekayaan alam negeri ini salah satunya ada di Bonto Cani, Desa Bontojai, Dusun Bahonglangi," ungkap Yuyun.

Salah satu penghasilan sebagian penduduk setempat lanjut Yuyun, dari getah pinus. Getah pinus yang disadap menghasilkan gondorukem. Selain itu, juga ada yang berkebun kopi dan mengambil madu. Sementara perempuannya, rata-rata beraktivitas dengan berkebun. (*)