MAKASSAR, BUKAMATA -- Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, turut menyoroti beberapa putusan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Makassar. Pasalnya, hasil investigasi mereka menunjukkan, rata-rata putusan yang dihasilkan dari persidangan di Pengadilan Tipikor Makassar, belum memberi efek jera pada para pelaku korupsi.
Dari 80 perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Makassar tahun 2020, rata-rata putusan pengadilan Tipikor Makassar hanya berkisar 1 tahun sampai 2 tahun pidana penjara, di mana putusan paling tinggi hanya 6 tahun dengan denda Rp500 juta.
Tidak hanya itu Peneliti ACC Sulawesi, Hamka Anwar mengatakan, selain banyaknya putusan ringan, tahun ini lagi-lagi ada 5 orang terdakwa kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Makassar yang justru dibebaskan.
Hasil investigasi ACC Sulawesi menemukan, vonis bebas itu terjadi dalam tiga kasus, masing-masing adalah kasus dana BOP PAUD Dinas Pendidikan Enrekang. Di mana dua terdakwa divonis bebas.
Selanjutnya kasus penjualan lahan Taman Hutan Raya (Tahura) di Kelurahan Tanah Lemo, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
"Dua terdakwa kasus Tahura Bulukumba itu juga dibebaskan, mereka divonis tidak bersalah padahal kedua terdakwa sebelumnya ditersangkakan dengan dua alat bukti," ungkap Hamka.
Yang terakhir kata Hamka, kasus korupsi uang parkir dari PD Parkir Makassar. Di mana terdakwa yakni mantan Kepala PD Makassar Raya juga dibebaskan.
"Ini tentu mengecewakan. Vonis ringan tidak akan memberi efek jera pada koruptor, karenanya ini menjadi sesuatu yang sangat disesalkan jika kemudian hal ini terus berlanjut ditahun tahun selanjutnya," ujar salah satu peneliti ACC Sulawesi, Hamka Anwar saat dikonfirmasi, Selasa (29/12/2020).
Sementara itu Kepala Badan Pekerja ACC Sulawesi, Abdul Kadir Wokanubun menilai, apa yang diperlihatkan hari ini adalah sebuah gambaran yang menunjukkan masih rapuhnya sistem peradilan Tipikor kita, terutama dalam pengawasan.
Bagaimana tidak hasil investigasi menunjukkan banyaknya putusan ringan dan adanya 5 terdakwa perkara korupsi yang justru dibebaskan melalui persidangan.
"Ini perkara korupsi, bukan perkara pidana biasa, kenapa kok bisa, putusannya rata-rata ringan bahkan ada yang bebas. Ada apa peradilan Tipikor kita?," ujarnya.
Hakim kata Kadir memang tidak lantas dapat dipersalahkan sepenuhnya, putusan ringan hingga bebas dapat terjadi menurutnya, dikarenakan lemahnya pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum.
Karenanya, sangat penting peranan lembaga pengawasan, terutama Komisi Kejaksaan. "Kami khawatir ada upaya mengkonstruksi perkara, sehingga mempengaruhi tuntutan dan putusan hakim," imbuhnya.
Dia mengaku tidak menyalahkan Komisi Yudisial sepenuhnya. Kata Dia, ini juga karena lemahnya Komisi Kejaksaan. Karena putusan perkara korupsi itu dipengaruhi oleh pembuktian Jaksa Penuntut Umum.
"Makanya kita benar-benar berharap lembaga pengawasan utamanya Komisi Kejaksaan bisa menjalankan tugasnya. Sangat miris jika perkara korupsi disamakan dengan perkara pidana biasa, kami khawatir Jangan-jangan ada yang memanfaatkan untuk mengkonstruksi perkara utamanya pada pembuktian," pungkasnya.
TAG
BERITA TERKAIT
-
GMTD Ngaku Telah Eksekusi Lahan yang Diklaim Jusuf Kalla, Dibantah PN Makassar
-
Sidang Perdana, Mira Hayati Datang Naik Kursi Roda
-
Protes Eksekusi Lahan, Ahli Waris Gedung Hamrawati Ngadu ke Presiden Prabowo
-
PN Makassar Bongkar 9 Ruko di Pettarani Makassar
-
Ajukan Praperadilan ke PN Makassar, David Limbunan: Banyak Kejanggalan dalam Penetapan Saya Sebagai Tersangka