MAKASSAR, BUKAMATANEWS –Tepat pukul 11.00 WITA, Senin, 29 September 2025, ketenangan akademik di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar seketika pecah. Dengan suara lantang, Sumpah Mahasiswa diucapkan, menggema dan menusuk: "Kami bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan!… Berbangsa satu, bangsa yang gandung akan keadilan!"
Itulah adegan pembuka dari Festival Gerakan September Hitam, sebuah peringatan yang melampaui seremoni belaka. Dihelat bertepatan dengan momen historis yang lekat dengan tragedi pelanggaran HAM, perhelatan ini adalah perlawanan simbolik yang menuntut keadilan atas nyawa yang direnggut dalam tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, sekaligus menyentil negara yang dianggap terlalu sering absen dalam melindungi rakyatnya.
Fokus utama gerakan ini jelas membongkar narasi sejarah tunggal yang selama ini mendominasi dan menegaskan mahasiswa memiliki kebutuhan mendesak untuk memahami sejarah dari perspektif yang berbeda. Puncaknya adalah Diskusi dan Bedah Buku "Sejarah Kiri Dunia Islam" karya Muhammad Ridha.
Buku ini membawa perdebatan ke titik paling panas, terutama dengan bahasan kontroversial "Kebangkitan Islam bersama Komunisme," yang diklaim Ridha sebagai salah satu jalan menuju kejayaan Islam.
Muh Reski selaku Ketua Jelajah Jarak/Suara Mahasiswa menjelaskan bahwa buku ini sangat penting untuk melawan doktrinasi anti-Komunisme. Menurutnya, generasi muda telah didoktrin bahwa komunisme adalah semacam monster, padahal ia membawa cita-cita luhur kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh, penulisnya, Muhammad Ridha, berani menampilkan Soekarno sebagai seorang Muslim yang harus dilihat dari gagasan kritisnya, serta menyoroti peran tokoh Kiri-Islam seperti Tan Malaka dan Mirzaid Sultan Galiev.
Diskusi ideologis ini diperkaya oleh kehadiran panelis kritis: Muhammad Ridha, Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti Demografi Politik Indonesia), Rizki Afiani Afiat (Redaktur Islam Bergerak, PhD NUS), dan Muh Reski.
Riwanto Tirtosudarmo memberikan tamparan keras terhadap kondisi sosial-politik hari ini. Menurutnya, kegagalan Indonesia mencapai kesejahteraan disebabkan minimnya analisis struktur sosial-ekonomi-politik yang seharusnya memicu partisipasi warga yang emansipatoris. Akibatnya, bangsa ini terperangkap dalam cengkeraman oligarki.
Rizki Afiani Afiat mendesak pentingnya analisis kelas sebagai landasan, dan menyerukan agar mahasiswa membangun solidaritas lintas batas—lintas agama, etnisitas, dan hukum—untuk menghadapi krisis kapitalisme.
Menutup sesi ini, Muhammad Ridha menitipkan pesan utama.
"Saya berharap kawan-kawan tidak lelah untuk belajar. Karena ‘setan itu dalam detail’ (the devil is in the detail). Detail itu bisa kita temukan dengan belajar," pesannya.
Gerakan Berlanjut Melalui Seni dan Aksi Simbolik
Bedah buku kontroversial ini hanyalah permulaan. Festival Gerakan September Hitam memastikan tuntutan keadilan akan terus bergulir melalui medium lain, yakni: Panggung Akustik (musik, puisi, teater mini), Aksi Simbolik dan Doa Bersama, dan Nonton Bareng film “AUM!”: tak dapat dibungkam.
Gerakan ini menegaskan bahwa suara yang dibungkam akan selalu mencari cara untuk bersuara, dan tuntutan atas keadilan akan terus disuarakan melalui berbagai medium, baik intelektual maupun artistik. (*)
BERITA TERKAIT
-
Menag Minta UIN Alauddin dan Kanwil Kemenag Sulsel Jadi Lokomotif Peradaban Ilmu Pengetahuan Islam Modern
-
Mahasiswa Baru UIN Alauddin Kena Tikam
-
Didakwa Menyuruh Cetak Uang Palsu, Annar Sampetoding Dituntut 8 Tahun Penjara
-
Jalani KKN di Jakarta, 45 Mahasiswa FDK UIN Bisa Beri Kontrobusi Nyata
-
FDK UIN Alauddin Lepas 112 Orang Mahasiswa KKN Nasional, Sasar Jakarta Hingga Lombok