Redaksi : Minggu, 27 Juli 2025 16:16

BANGKOK, BUKAMATANEWS — Meski kedua belah pihak telah mengisyaratkan kesiapan untuk menyepakati gencatan senjata, pertempuran antara Thailand dan Kamboja masih terus berlangsung pada hari keempat konflik bersenjata yang menewaskan sedikitnya 34 orang dan memaksa lebih dari 168.000 orang mengungsi.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump, melalui unggahannya di Truth Social, mengklaim telah berhasil mendorong para pemimpin kedua negara untuk duduk bersama dan merundingkan gencatan senjata. Trump bahkan mengancam akan menghentikan perjanjian perdagangan dengan Thailand dan Kamboja jika kekerasan tak dihentikan.

Dalam pernyataannya, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menyambut baik ajakan mediasi tersebut. Ia menyatakan bahwa negaranya menyetujui “gencatan senjata segera dan tanpa syarat,” seraya menugaskan Menteri Luar Negeri Prak Sokhonn untuk mengoordinasikan langkah selanjutnya dengan Menlu AS Marco Rubio dan pihak Thailand.

“Ini adalah kabar baik bagi tentara dan rakyat kedua negara,” ujar Hun Manet dalam pernyataan resminya.

Namun, Thailand menanggapi seruan tersebut dengan hati-hati. Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, menyampaikan apresiasi atas inisiatif Trump, tetapi menekankan bahwa kesepakatan hanya akan berjalan jika Kamboja menunjukkan “niat tulus.” Ia menyerukan perundingan bilateral secepatnya untuk membahas langkah konkret menuju resolusi damai.

Konflik bermula pada Kamis lalu setelah ledakan ranjau di sepanjang perbatasan melukai lima tentara Thailand. Insiden ini memicu rentetan serangan artileri, serangan roket, dan baku tembak di sepanjang wilayah yang disengketakan. Kedua negara saling menuding sebagai pihak yang memulai bentrokan, dan masing-masing menarik duta besarnya. Thailand juga menutup perbatasan dengan Kamboja.

Pada Minggu pagi, juru bicara militer Thailand Kolonel Richa Suksowanont menyatakan pasukan Kamboja meluncurkan artileri ke wilayah Provinsi Surin, termasuk ke kawasan pemukiman sipil. Ia juga menuduh Kamboja menargetkan kuil kuno Ta Muen Thom, wilayah yang diklaim kedua negara.

“Operasi medan perang akan terus berjalan sampai ada langkah nyata dari Kamboja. Gencatan senjata tidak akan berarti jika tidak ada itikad baik dan penghormatan terhadap hukum humaniter,” tegasnya.

Sebaliknya, Kementerian Pertahanan Kamboja menuding militer Thailand meningkatkan eskalasi dengan melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Kamboja menggunakan tank dan artileri. Jubir Letjen Maly Socheata menyebut tindakan tersebut sebagai upaya sabotase terhadap proses damai.

“Tindakan Thailand memperjelas niat mereka untuk meningkatkan konflik, bukan meredakannya,” ujarnya.

Korban jiwa terus bertambah. Thailand melaporkan satu korban jiwa tambahan pada Minggu, menjadikan total korban tewas dari pihak mereka menjadi 21 orang, mayoritas warga sipil. Kamboja menyebut 13 orang warganya tewas.

Lebih dari 131.000 warga Thailand telah dievakuasi ke tempat aman, sementara lebih dari 37.000 warga Kamboja terpaksa meninggalkan rumah mereka. Sekolah dan rumah sakit di wilayah perbatasan sebagian besar tutup. Desa-desa sepi, sebagian menjadi zona bahaya.

Di antara para pengungsi, Pichayut Surasit, seorang teknisi AC di Bangkok, memilih pulang ke kampung halaman di Kap Choeng, salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak.

“Saya tidak tega tinggal di Bangkok ketika keluarga saya dalam bahaya. Saya hanya ingin mereka aman,” ujarnya di tempat pengungsian Surin yang kini menampung 6.000 orang.

Bualee Chanduang, seorang pedagang yang mengungsi bersama keluarga dan kelinci peliharaannya, mengandalkan doa.

“Saya berdoa agar kedua pihak mau berunding. Rakyat kecil seperti kami hanya ingin damai,” katanya lirih.

Dewan Keamanan PBB telah meminta ASEAN untuk mengambil peran sebagai mediator perdamaian. Human Rights Watch mengecam laporan penggunaan munisi tandan—senjata yang dilarang oleh hukum internasional—dan mendesak kedua negara menghentikan penggunaan senjata mematikan di wilayah berpenduduk padat.

Dengan sejarah perbatasan sepanjang 800 kilometer yang kerap menjadi sumber ketegangan selama puluhan tahun, krisis terbaru ini menjadi ujian besar tidak hanya bagi Thailand dan Kamboja, tapi juga bagi efektivitas diplomasi regional dan internasional dalam mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar.