Redaksi : Selasa, 22 Juli 2025 17:12

MAKASSAR, BUKAMATANEWS – Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Masukan Akademisi untuk Revisi Regulasi Pemilu di Indonesia” pada Selasa (22/7/2025), bertempat di Kampus FISIP Unhas, Tamalanrea, Makassar.

FGD ini menjadi forum penting untuk menghimpun pandangan kritis dan masukan konstruktif dari kalangan akademisi, peneliti, mahasiswa, serta mitra kebijakan dalam merespons rencana revisi Undang-Undang Pemilu. Kegiatan ini dimoderatori oleh Dosen Ilmu Politik Unhas, Haryanto, S.IP., M.Si., dan menghadirkan tiga pemantik utama: Prof. Dr. Gustiana A. Kambo, M.Si., Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si., dan Dr. Andi Ali Armunanto, M.Si.

Turut hadir dalam diskusi ini dosen-dosen FISIP Unhas, perwakilan The Asia Foundation, serta mahasiswa dari program studi Ilmu Politik tingkat S1, S2, dan S3.

Salah satu wacana yang mengemuka adalah usulan peningkatan kualitas calon legislatif dan eksekutif. Prof. Armin Arsyad mengusulkan standar pendidikan minimal bagi calon pemimpin: S3 untuk presiden dan DPR RI, S2 untuk gubernur dan DPRD provinsi, serta S1 untuk bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota.

"Calon pemimpin seharusnya bebas dari rekam jejak korupsi, memiliki landasan kuat dalam ilmu sosial-politik, serta wajib menjalani pelatihan pemerintahan, terutama jika berasal dari latar belakang non-sosial," jelas Prof. Armin. Ia juga mendorong partai politik untuk lebih terbuka dengan menggelar konvensi dan mendengarkan aspirasi publik sebelum menentukan calon.

Sementara itu, Prof. Gustiana A. Kambo menekankan perlunya reformasi rekrutmen penyelenggara pemilu, agar anggota KPU dan Bawaslu benar-benar independen dan profesional. “Anggota KPU sebaiknya berasal dari latar belakang ilmu politik agar memahami kompleksitas teknis dan substansi pemilu,” ujarnya.

Dr. Andi Ali Armunanto menyoroti regulasi terkait kampanye digital, terutama penggunaan media sosial dan kecerdasan buatan (AI) dalam proses kampanye. “Tanpa pengawasan ketat, teknologi bisa menjadi alat manipulasi opini yang merusak kualitas demokrasi,” ungkapnya.

Masukan tajam juga disampaikan oleh akademisi Endang Sari, yang menyoroti potensi ketimpangan akibat pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal. Ia menilai perlu adanya regulasi yang mengantisipasi kemungkinan perpanjangan masa jabatan legislator dalam skema pemilu terpisah. Selain itu, ia menyoroti definisi kampanye dalam UU Pemilu yang dinilai masih kabur dan rawan dimanipulasi.

Hasil dari FGD ini akan dipresentasikan dalam Workshop Nasional bertajuk “Mewujudkan Pemilu yang Adil dan Representatif: Masukan Publik untuk Regulasi Pemilu di Indonesia” yang dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 29 Juli 2025. Workshop tersebut rencananya akan dihadiri oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.

Kegiatan ini mempertegas komitmen Program Studi Ilmu Politik Unhas untuk terus membangun ruang dialog akademik yang berkontribusi nyata terhadap perumusan kebijakan publik yang lebih demokratis, inklusif, dan sesuai dengan perkembangan zaman.

TAG