GOWA, BUKAMATA - Selasa, 14 September 2021. Di Kafe New Tosis, Jl Tun Abdul Razak, Gowa, sebuah karya tulis yang mengulas seorang wanita inspiratif Gowa dan Takalar digelar. Dipandu Dr Rahmansyah, kisah Sitti Siada Daeng Siang menyeruak di antara atap-atap rumbia dan gazebo-gazebo, dituturkan penanggap dari pelantang.
Penanggap ada dua. Dr Quraisy Mathar dan Ahmad Pidris Zain. Mereka mengapit penulis buku "Daeng Siang Sang Penerang", Zulfikar Yunus.
Mendapat kesempatan memberikan kata sambutan, putri almarhumah Sitti Siada Daeng Siang, Hj Sitti Husniah Daeng Talenrang, mengucapkan terima kasih atas lahirnya karya tersebut.
Baca Juga :
Anggota DPRD Kabupaten Gowa dari Fraksi PAN ini mengatakan, buku tersebut merupakan sejarah. Memang mengulas keluarganya, namun menurutnya, buku itu bukan untuk pamer. Pasalnya, banyak kisah-kisah inspiratif dari kakek, nenek dan terutama ibunya, yang bisa dilestarikan.
Apalagi, buku tersebut juga mengulas kisah perkembangan salah satu organisasi masyarakat terbesar negeri ini, yakni Muhammadiyah, juga mengulas sedikit kisah pengembaraan pangeran Addatuang Sawitto, Pinrang bernama La Sunre yang kemudian bermukim di sebuah daerah yang menjadi cikal bakal lahirnya sebuah daerah bernama Takalar.
Daeng Talenrang sendiri, mengaku sangat termotivasi untuk terjun ke dunia politik karena peran ibu. Sang ibulah yang menepis adagium bahwa politik itu kotor. Sang ibulah yang menyebutkan bahwa menjadi anggota DPRD adalah jalan menuju syurga. Dia pun takkan lupa dengan pesan ibunya, untuk menebar kebaikan sebagai wakil rakyat, dan jangan sekali-kali menjadi wakil rakyat untuk memperkaya diri.
Semua itu tak lekang di ingatan Daeng Talenrang. Sehingga, Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Gowa ini pun bismillah untuk ikut kontestasi pileg hingga akhirnya terpilih untuk duduk di kursi wakil rakyat itu.
Sementara itu, melihat buku setebal 200-an halaman ini, Quraisy Mathar awalnya beranggapan pasti bahasanya berat. Namun, setelah melihat gaya bahasanya, Quraisy merasa sangat ringan, dengan narasi yang mengalir berbumbu sastra. Juga desain yang sangat milenial. Sayang, Quraisy agak terganggu pada lembaran pink yang memuat testimoni. Yang gaya bahasanya mulai sedikit berat. Tapi secara keseluruhan, buku ini kata Quraisy, berhasil memadukan sejarah dan sastra, yang kadang sangat susah disandingkan.
Sementara itu, Ahmad Pidris Zain mengatakan, sebuah buku yang baik, adalah yang berhasil menyihir kita sehingga menghafal tokoh-tokohnya. Menurutnya, sebuah karya adalah hak prerogatif penciptanya, meski penilaian selanjutnya ada di tangan penikmat karya itu.
Zulfikar Yunus yang mengambil kesempatan berbicara pada bagian terakhir mengatakan, buku ini ibarat puzzle. Masih banyak puzzle-puzzle yang terserak. Dan dia memberikan kesempatan kepada para penulis-penulis lainnya untuk mengulas puzzle-puzzle lain yang terserak itu.
"Kalau saya menuliskan semua, mungkin buku ini akan lebih 400 halaman. Dan itu mungkin akan sangat membosankan. Biarlah nanti puzzle-puzzle yang terserak itu, diulas penulis lainnya," ujarnya.
Dia memberi contoh tentang sejarah lahirnya Takalar, yang berasal dari pengembaraan Pangerang Sawitto, Pinrang, bernama La Sunre dan pengikutnya, yang memilih pergi setelah mahkota diserahkan kepada saudaranya dari lain ibu.
Pangeran ini dan pengikutnya, lalu diberi tempat di Gowa oleh Raja Gowa, Sultan Alauddin. Diberi daerah yang mirip dengan Sawitto, banyak pohon lontar atau "taka" dalam bahasa setempat, juga rumput berduri yang bahasa setempat disebut "alara". Konon dari perpaduan "taka" dan "alara" itulah lahir daerah bernama Takalar.
Beberapa peserta melihat bahwa buku itu mengulas tentang kekuatan doa seorang ibu, juga bagaimana konsep tangan di atas membuat pintu-pintu rejeki terbuka.