Redaksi
Redaksi

Senin, 30 Agustus 2021 12:34

Pakar: Efek Taper Tantrum FED 2021-2022 Tidak Separah 2013, Tapi Tetap Waspada

Pakar: Efek Taper Tantrum FED 2021-2022 Tidak Separah 2013, Tapi Tetap Waspada

Efek Taper Tantrum FED 2021-2022 memang tidak separah 2013. Tapi, pakar meminta tetap waspada.

JAKARTA, BUKAMATA - Pakar kebijakan ekonomi, Achmad Nur Hidayat mengatakan, efek Taper Tantrum FED 2021-2022 tidak separah 2013. Namun dia meminta untuk tetap waspada.

Menurutnya, normalisasi kebijakan moneter AS atau yang dikenal taper tantrum FED, merupakan konsekuensi bank sentral AS untuk mengimbangi pemulihan ekonominya.

“Ekonomi AS tumbuh menakjubkan di level 12.20 persen (yoy) pada semester pertama 2021. Ditambah terjadi penurunan terendah pada data pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,4 persen dan adanya tekanan inflantory AS menembus 5,3 persen di Juli 2021. Melihat indikator makro tersebut, pengambil keputusan FED merasa perlu melalukan normalisasi,” ujar Achmad Nur Hidayat yang disapa ANH

Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) ini mengatakan, tapering FED tahun 2021-2022 menjadi konsen ahli ekonomi dan pengambil kebijakan. Karena tapering FED sebelumnya, tahun 2013, berdampak pada menciutnya pasar keuangan Indonesia secara signifikan.

“Pada 2013, pembalikan modal (capital outflow) besar-besaran terjadi, rupiah yang sempat berada di bawah Rp10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level Rp12.000 per dolar AS pada 2013.

Rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp14.690 per dolar AS pada puncak tapering off FED yaitu September 2015.

"Rupiah menguat kembali, karena ada sentimen perang dagang pada 2019. Namun sayang penguatan terjadi tidak lama karena pandemi 2020 melanda dunia,” ujar Direktur Eksekutif Narasi Insitute ini.

Takdir pasar saham pun lanjut dia, tak jauh lebih baik dari rupiah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus.  

Kementerian Keuangan mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp36 triliun.

Prediksi kebijakan normalisasi tapering of FED tahun 2021 akan terjadi entah di bulan September, Oktober, November atau Desember 2021 jauh dari prediksi Bank Indonesia sebelumnya di paruh pertama 2022.

Bulan apapun nanti yang dipilih FOMC FED, faktanya, pada pertemuan simposium di Jackson Hole mengutarakan pendapat para petinggi FED bahwa tahun 2021 akan terjadi 1 kali tapering off.

“Meski demikian, kondisi Indonesia tahun 2021 berbeda dari tahun 2013. Kondisi ekonomi Indonesia dalam indikator moneter, dan indikator risiko masih lebih baik tahun 2021 daripada 2013,” ungkap ANH.

Dalam indikator moneter, cadangan devisa Indonesia jauh lebih kuat bandingkan USD137,30 miliar (Juli 2021) dengan USD99,38 miliar (Juli 2013).

Begitu juga suku bunga acuan BI lebih rendah di level 3,5 persen di 2021 dibandingkan 7,5 persen di 2013.

Indikator risiko juga lebih baik 2021 daripada 2013, misalnya porsi asing di SBN jauh berkurang di level 22,82 persen Juni 2021 di bandingkan 32,54 persen di Juni 2013.

Porsi asing di IHSG juga jauh turun di level 43,14 persen dibandingkan 60,52 persen pada 2013.

Porsi utang swasta terhadap total utang Indonesia juga berkurang di level 49,92 persen Juni 2021 dibandingkan 53,57 persen Juni 2013.

ANH juga mengingatkan bahwa Kondisi ekonomi indonesia 2021 diketahui terdapat kelemahan dari 2013 terjadi pada indikator pertumbuhan ekonomi, indikator fiskal dan indikator keuangan.

“Namun harus diwaspadai pertumbuhan 2021 diprediksi di level 4,50 persen jauh lebih kecil daripada pertumbuhan 2013 di level 5,78 persen. Pertumbuhan kredit Juni 2021 yang kecil 0,59 persen dibandingkan 21,60 persen 2013 dinilai tidak banyak membantu pertumbuhan ekonomi di saat momen tapering off. Meski efek taper tantrum FED 2021 tidak separah 2013, Ekonomi Indonesia tetap memiliki kerentanan ekonomi,” ujar ANH.

ANH menyatakan, kerentanan ekonomi tersebut cukup fundamental karena terdapat pada besarnya defisit fiskal, rasio utang pemerintah terhadap PDB tinggi dan utang swasta dan total utang dalam triliun rupiah yang melonjak 2021 dibandingkan 2013.

“Utang swasta lebih besar di level USD207,2 miliar di Juni 2021 dibandingkan USD142,5 miliar di Juni 2013. Defisit fiskal yang tinggi 5,7 persen dibandingkan 2,3 persen di 2013 akibat digenjot untuk stimulus fiskal menangani dampak kesehatan dan ekonomi dari pandemi COVID-19. Rasio utang pemerintah terhadap PDB yang besar mencapai 41,63 persen dibandingkan 24,94 persen di 2013. Total utang nasional baik swasta dan pemerintah lebih besar di level Rp6,554 triliun di Juni 2021 dibandingkan Rp2,375 triliun di Juni 2013,” papar ANH.

ANH berharap, kerentanan tersebut harus dapat diantisipasi dengan melakukan debt management terhadap SBN,utang Swasta dan utang BUMN dengan lebih baik.

“Di saat yang bersamaan, defisit pada neraca transaksi berjalan saat ini dapat dikatakan berada pada level manageable. Defisit neraca transaksi berjalan 2020 sebesar -0,4 persen PDB atau USD4,7 miliar bandingkan sebesar -3,19 persen PDB atau USD29,1 miliar. Dengan demikian, depresiasi rupiah yang diprediksi sebagai dampak ikutan tapering off 2021 tidak terlalu dalam. Rupiah terdepresiasi diprediksi paling dalam di level Rp15.000 pada saat tapering diumumkan. Adapun dampak lain seperti meningkatnya imbal hasil surat utang (Yield SUN) akibat tapering off dapat dinormalisasi melalui pembelian SUN oleh Bank Indonesia,” tambah ANH.

ANH menjelaskan, Bank Indonesia melalui SKB III dari Skema Burden Sharing 2021-2022 telah menjadi standby buyer baik di pasar primer maupun di pasar sekunder sehingga risiko peningkatan Yield SBN dapat diminimalisir.

“Dengan intervensi BI tersebut, semoga dampak tapering off 2021/22 terhadap depresiasi rupiah masih dalam batas fundamentalnya yang wajar. Semoga,” harap ANH.

#Narasi Institute