Redaksi
Redaksi

Selasa, 06 Oktober 2020 17:46

Resesi Sudah Terjadi, Aviliani: Jujur Saja pada Publik

Pengamat ekonomi, Aviliani mengungkap, seharusnya pemerintah jujur kepada publik, mengenai apa yang terjadi. Agar kita bisa bersama-sama mencari solusi dan melaluinya.

BUKAMATA - Narasi Institute kembali menggelar zoominari yang menyorot bagaimana pertumbuhan ekonomi di negeri ini, akibat imbas Covid-19. Dipandu Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, Zoominari ini menghadirkan pembicara yang berkompeten di bidang ekonomi. Salah satunya, pakar ekonomi Aviliani.

Menurut Aviliani, soal resesi ini, sebaiknya pemerintah jujur saja mengabarkan kondisi apa adanya. Dengan demikian kata Aviliani, kita bisa mencari solusinya sama-sama.

"Jangan kalau dikritik jelek tidak terima. Kritik itu adalah bagian dari membangun untuk memperbaiki. Apa yang disampaikan masyarakat bagian dari masukan masyarakat. Menurut saya, banyak sekali miskomunikasi yang terjadi," terangnya.

Pasalnya lanjut Aviliani, banyak sekali informasi-informasi yang datang dari setiap kementerian. Yang berbeda-beda. Harusnya kata dia, ada satu unit yang memberi informasi yang sama.

Aviliani mengungkapkan, ada habit dalam kehidupan masyarakat, di mana WFH bisa jadi akan menjadi policy perusahaan di masa yang akan datang. Itu akan membuat struktur organisasi perusahaan berubah.

"Jadi di dalam UU Cipta Karya, di dalamnya ada bahwa jam kerja tidak wajib 8 jam, tapi ada fleksibilitas," terang Aviliani.

Sebaiknya kata Aviliani, kita harus lebih progresif. Kalau buru-buru juga kata dia, tidak bagus. Karena, tidak mungkin juga investor masuk dalam kondisi pandemi ini. "Jadi bagaimana domestik ini kita beresin dulu," ungkapnya.

Saat ini yang ada kata Aviliani, hanya investor hot money. Masuk sebentar, keluar sebentar. Jadi masuk untuk ambil untung saja. Ini kata dia, yang mesti dijaga oleh Bank Indonesia.

"Karena BI itu jaganya gak gampang. Kalau mereka (investor) keluar rupiahnya melemah. Kalau mereka masuk, rupiahnya menguat. Ini perlu diantisipasi untuk menjaga nilai tukarnya," terangnya.

Karena sampai pandemi selesai kata Aviliani, pasti hot money yang paling banyak.

Dari sisi investasi, yang paling banyak masuk asing itu sekarang beber Aviliani adalah sektor jasa. Terutama perbankan. "Jadi nunggu perbankan jatuh, investor asing masuk. Jadi uang itu lebih banyak di sektor keuangan," paparnya.

Padahal yang kita butuhkan lanjut dia, ada di tiga sektor, yaitu pertanian, industri dan pertambangan. Ini yang kata dia, kelihatannya belum tampak. "Makanya, pemerintah saya dengar mau membuat wellfarm yang nantinya akan berpartner dengan asing," ungkapnya.

PMA atau penanam modal asing di Indonesia kata Aviliani banyak. Yang mengherankan kata Aviliani, mereka mengaku sudah rugi 30 tahun kok masih usaha terus. Aviliani mencurigai, jangan-jangan ada trans surprising.

"Perlu ditinjau kembali PMA yang ada, bukan cuma ijinnya, tapi bagaimana operasinya. Masa 30 tahun terus merugi bisa tetap beroperasi. Itu harus kita curigai," ungkapnya.

Mengenai penyelamatan bank, pemerintah mengatakan tidak ingin ada bank gagal. LPS yang kata Aviliani harus kita sentuh. Karena LPS itu yang menangani hanya bank gagal. "Perpu-nya adalah memperbaiki LPS, jadi kalau bank dalam pengawasan intensif itu sudah bisa masuk. LPS lebih pada bank sudah dalam pengawasan insentif. Jadi konsen saja ke LPS," ungkapnya.

Kondisi Covid ini kata Aviliani, bertahannya juga tak mudah. Apalagi bank-bank yang daya tahannya rendah. Kalau 6 bulan sampai setahun, menurut Aviliani mungkin masih bisa. Tapi kalau di atas setahun, sudah berat sekali.

Di dalam Forum Sistem Stabilitas Keuangan (FSSK), koordinasinya juga susah. Pengambil keputusan bukan lagi Menteri Keuangan dan tidak ada lagi pemgambil keputusan. Semua harus presiden.

"Kalau apa-apa ke presiden itu sudah keburu lambat. Penguatannya di FSSK ini, kalau tidak setuju hanya satu ketua, mungkin presidium. Ini penting juga. Selama ini semua diberi kewenangan tapi tidak ada yang berhak ambil keputusan. Ini berat juga," terangnya.

Kita lanjut Aviliani, harusnya mulai memikirkan kondisi di lapangan. Bagaimana asosiasi perlu diajak bicara.

"Karena mereka lebih banyak di lapangan dibanding policy-policy yang tidak cocok. Misalnya, Rp695 triliun dari dana PEN, yang untuk demand side-nya hanya Rp200 triliun, tapi untuk supply side-nya Rp400 triliun. Masalahnya, hari gini belum butuh supply side. Misalnya dana untuk penjaminan. Hari ini belum ada yang minjem kredit, tapi dana penjaminannya sudah dikasih ke beberapa perusahaan penjamin," ungkapnya.

Kedua kata Aviliani, pemerintah naruhin uang di bank-bank pemerintah. Pasalnya belum ada juga yang minta. "Bank juga bingung mau dikemanain ini Rp30 triliun. Apalagi harus giring rati-nya tiga kali lipat. Ini menunjukkan antara kebutuhan yang disediakan tidak sesuai," bebernya.

Aviliani bilang, mungkin harus ada fleksibilitas yang bisa dialihkan anggaran PEN itu untuk kebutuhan. Sampai akhir tahun yang harus ditingkatkan itu demand side. Bukan hanya yang Rp5 juta ke bawah, tapi juga Rp7,5 juta ke bawah perlu disubsidi, terutama adalah di sektor UMKM.

"Sekarang yang disubsidi yang baru ada datanya adalah BPJS ketenagakerjaan. Sama yang orang miskin baru. Tapi UMKM, karena tidak masuk di miskin dan BPJS ketenagakerjaan, itu jumlahnya banyak dan itu tidak tersentuh," ungkap Aviliani.

Ke depan lanjut Aviliani, berbagai isu harus ditahan. "Menurut saya, isu itu dimunculkan dari berbagai pihak. Harusnya sekarang ini pemerintah harus punya satu suara kepada publik kepada pasar. Agar tidak banyak dimainkan oleh pasar. Sekarang ini pasar banyak memainkan antara kementerian satu dengan yang lain. Kalau terjadi perbedaan pendapat, mulailah mengatur komiunikasi yang baik. Agar tidak menimbulkan kegelisahan pasar," sarannya.

Ketiga tambah Aviliani, bagaimana demand side dana PEN ini bisa dipikirkan. Jadi nanti insentif yang diberikan kepada perusahaan itu nantinya berdasarkan demand site-nya. Karena kalau tidak berdasar demand side hanya supplay side, pertama tidak akan terserap dengan baik, kedua akan mengganggu yang lain.

"Misalnya, sekarang dipaksa kredit itu tumbuh. Karena tidak bisa tumbuh akhirnya, sudah di-topup terus. Nanti macetnya dua tahun lagi. Kedua terjadi kanibalisme. Misalnya Bank BUMN karena mendapat duit banyak, dia mengambil duit dari bank-bank lain. Jadi pertumbuhan tidak muncul. Yang ada perpindahan dari satu bank ke bank yang lain. Jadi menurut saya satu masalah jangan malah menimbulkan masalah baru," pungkasnya.

#Zoominari #Kopi Tumpah