Anis Matta Gedor Semangat Kader: “Bersiaplah Hadapi Krisis Besar dan Menangkan 2029!"
16 November 2025 18:23
Seorang korban lakalantas, akhirnya mengembuskan napas terakhir, setelah ditolak 4 rumah sakit.
BENGKULU, BUKAMATA - Feriansyah kecewa. Pria asal Bengkulu Selatan itu, tak bisa menyelamatkan nyawa adiknya yang berusia 24 tahun, usai kecelakaan lalu lintas. Ihtiar sudah dia lakukan dengan membawa adiknya di 4 rumah sakit. Sayang, mereka menolak dengan alasan fokus tangani Covid-19.

“Adik saya laki-laki umur 24 tahun kecelakaan tunggal, setengah jam dari kecelakaan dibawa ke rumah sakit swasta RS Asyifa,” kata Feriansyah, dikutip dari Kompas.com.
Di rumah sakit itu, korban kata Feriansyah sempat mendapatkan tindakan pemasangan oksigen dan perawatan sementara.
Karena rumah sakit itu kekurangan alat dan tenaga medis khusus bedah saraf, maka pihak keluarga berinisiatif membawa korban ke Kota Bengkulu yang jarak tempuh sekitar 3 jam.
Feriansyah mengaku memiliki keluarga dokter. Dia berkomunikasi agar adiknya bisa dirawat di Kota Bengkulu.
"Keluarga saya yang dokter itu menghubungi sejumlah rumah sakit dan kesimpulannya rumah sakit di Kota Bengkulu belum bisa menerima dengan alasan fokus pada penanganan COVID-19,” ujar Feriansyah.
Meski begitu, Feriansyah tetap membawa korban ke Kota Bengkulu dengan pertimbangan korban butuh penanganan lebih lanjut.
Pukul 02.00 WIB korban dalam kondisi kritis dibawa ke Kota Bengkulu menempuh perjalanan selama 3 jam dibantu dua tabung oksigen.
Rumah sakit pertama yang ia datangi adalah RS Bhayangkara sekitar pukul 06.00 WIB tiba.
Dilansir Nesiatimes, sampai di RS Bhayangkara, pihak keluarga dan petugas ambulans dari RS Asyifa ditegur keras, kenapa korban dibawa ke RS Bhayangkara.
Selain itu pihak RS Bhayangkara mempertanyakan surat rujukan yang tidak disertakan dengan pasien.
“Surat rujukan kami ada, namun dibawa pada mobil yang lain, saya datang dengan pasien dan ambulans. Surat rujukan di mobil satunya bisa menyusul, tapi mereka mempertanyakan rujukan, sementara adik saya dalam kondisi kritis,” ungkap Feriansyah.
Terjadi perdebatan sengit hingga akhirnya pasien ditolak.
Lalu korban seperti dikutip dari Nesiatimes, dibawa ke Rumah Sakit Harapan dan Doa (RSHD). Perlakuan yang sama juga diterima pihak keluarga pasien perdebatan kembali terjadi intinya pasien ditolak.
Belum turun dari ambulans, tim medis menolak pasien dengan alasan RS sedang lagi sterilisasi perawatan COVID-19 dan sejumlah tenaga medis menjalani isolasi mandiri.
“Pihak rumah sakit memberikan alternatif pasien bisa dirawat namun ditempatkan di ruang bekas pasien Covid-19. Lalu kami pindah ke rumah sakit lainnya,” sambung Feriansyah.
Korban dibawa ke Rumah sakit Tiara Sella, terjadi perdebatan lagi dengan sekuriti rumah sakit. Selanjutnya perawat melakukan pengecekan di dalam mobil ambulans. Rumah Sakit Tiara Sella intinya menolak korban karena minimnya alat dan tenaga medis.
Dalam keadaan panik, keluarga membawa pasien ke Rumah Sakit Rafflesia namun ruang UGD tertutup. Hanya satu rumah sakit yang belum didatangi yakni RSUD M Yunus.
Pihak keluarga tahu di RSUD M Yunus akan sulit memberikan penanganan karena rumah sakit milik Pemprov Bengkulu itu hanya fokus melayani pasien COVID-19.
Namun tetap dibawa ke RSUD M Yunus. Tiba di RSUD M Yunus terjadi perdebatan seperti rumah sakit sebelumnya pihak pengantar ambulans dari rumah RS Asyifa ditegur keras mengapa membawa korban ke RSUD M Yunus.
Meski sempat terjadi keributan, akhirnya pasien ditangani dengan cara dipasang oksigen. Pihak keluarga diminta menjaga perkembangan pasien oleh tim medis.
Kecewa tim medis hanya fokus ambil sampel darah untuk uji COVID-19, pukul 08.00 WIB pihak rumah sakit diminta menandatangani surat pemasangan selang ke paru-paru.
Pihak keluarga sempat menolak karena medis menyebut metode ini kemungkinan hidup pasien hanya tiga persen. Setelah bersepakat akhirnya pihak keluarga menyetujui menandatangani surat tersebut.
“Surat telah ditandatangani namun selama 2 jam selang baru dipasang ke paru-paru. Selama itu kami diminta menunggu, saya sempat marah dan heran mengapa tim medis sibuk mengambil sampel darah adik saya untuk uji COVID-19,” ujar Feri.
Pukul 09.00 WIB kondisi pasien drop, medis mengambil tindakan dengan pompa oksigen dan detak jantung hingga pukul 09.10 WIB korban dinyatakan meninggal dunia.
“Saya merasa kecewa penanganan medis terlalu fokus pada COVID-19 sementara pasien lain diluar COVID-19 kurang mendapatkan perhatian, akhirnya adik saya sebagai contoh meninggal dunia karena lambannya penanganan,” kisah Feriansyah.
Direktur RSUD M Yunus, Zulkimaulub Ritonga saat dimintai konfirmasi menyebutkan pihaknya tidak menolak pasien kecelakaan tersebut.
“Pertama kami ikut berbelasungkawa atas kejadian ini. Kedua pasien tidak ditolak tetap kami layani hanya saja di Bengkulu ini pelayanan bedah saraf satu-satunya ada di RSUD M Yunus, dokter bedah saraf hanya ada satu di Bengkulu,” katanya, Selasa (02/06/2020).
“Sementara riwayat pasien sebelum ke RSUD M Yunus telah mendatangi beberapa rumah sakit lain yang tidak ada ahli bedah saraf,” jelas Zulkimaulub.
Bedah saraf tidak ada berhenti beroperasi bahkan dikatakan dia, pada malam Idul Fitri saja pihaknya masih melakukan operasi bedah saraf. Dikatakannya meski RSUD M Yunus fokus melayani COVID-19 namun bagian bedah saraf dan sejumlah layanan lain tetap dibuka.
“Di media sudah diumumkan bahwa meski fokus COVID-19 layanan bedah saraf tetap melayani pasien,” ungkapnya.
16 November 2025 18:23
16 November 2025 17:53
16 November 2025 17:41
16 November 2025 15:19
16 November 2025 14:02
16 November 2025 14:19
16 November 2025 15:19
16 November 2025 14:26
16 November 2025 15:13