Pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilakukan langsung oleh rakyat merupakan momen krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Suara rakyat menjadi penentu arah masa depan negara dan pertumbuhan kesejahteraan daerah. Oleh karena itu rakyat sebagai pemilih memiliki kedudukan penting sebagai pembuat keputusan.
Sebagai pembuat keputusan penting dan strategis, rakyat membutuhkan informasi yang benar, akurat dan berimbang tentang para calon pemimpin yang akan dipilih. Sayangnya, di era digital saat ini, arus informasi yang dikonsumsi oleh rakyat bukan hanya informasi yang benar dan akurat, tetapi juga informasi palsu, manipulatif dan menyesatkan.
Ketika informasi yang beredar dipenuhi dengan berita palsu, fitnah, atau propaganda yang menyesatkan, maka proses pemilihan menjadi cacat. Akibatnya, pemilih dapat tertipu oleh narasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga keputusan yang diambil pun tidak mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya.
Salah satu sarana penyebaran informasi yang paling efektif adalah media sosial (medsos). Sifatnya yang personal dan massif memungkinkan informasi dapat menyebar dengan cepat dan real time. Tetapi sifat lainnya yang memberi ruang anonim kepada penggunanya menjadikan platform-platform media sosial juga dapat menjadi sarana yang berbahaya dalam penyebaran berita bohong atau hoaks.
Di sinilah peran penting pers dan media mainstream sebagai sumber rujukan informasi yang tidak dapat tergantikan. Entitasnya yang jelas sebagai sebuah lembaga penyiaran/pemberitaan dan cara kerjanya yang diikat oleh kode etik jurnalistik membuat produk mereka dapat dipercaya: terverifikasi; menyaring fakta dari kebohongan.
Itulah sebabnya pers dan media massa disebut juga sebagai pilar demokrasi keempat. Institusi yang tidak hanya berperan sebagai saluran komunikasi publik, tetapi juga sebagai pengawas (watchdog) terhadap kekuasaan dan institusi lainnya. Menjadi mercusuar kebenaran yang memandu masyarakat untuk melihat peristiwa lebih jernih.
Namun, apa jadinya jika insan pers dan media mainstream jadi bagian dari institusi yang memproduksi informasi palsu dan berita menyesatkan? Apa jadinya jika insan pers dan media mainstream menyingkirkan kode etik jurnalistik dalam budaya kerjanya dan menyederhanakannya dalam bentuk hak jawab? Masihkan pers menjadi benteng masyarakat dalam melawan hoaks?
Hak jawab, meskipun penting, hanyalah satu elemen dalam mekanisme perbaikan atas berita palsu. Jika berita palsu atau informasi yang menyesatkan telah terlanjur menyebar, hak jawab sering kali tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Berita bohong bisa menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi, dan efeknya dapat menghancurkan kepercayaan publik, menimbulkan kebingungan, dan memecah belah masyarakat.
Jika publik tidak lagi bisa berharap pada integritas insan pers dan media mainstream, maka jalan satu-satunya adalah meningkatkan literasi media dan informasi kita. Jadilah konsumen informasi yang kritis, bijaksana, dan tidak mudah terprovokasi. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa demokrasi kita tidak tercemar oleh racun hoaks dan bahwa suara rakyat tetap murni, jernih, dan berdasarkan kebenaran.
Mari bersama kita berjuang melawan hoaks!.
Editor : Redaksi
