Estafet

Di narasi gaul qadimnya, keduanya lebih banyak kesamaan ketimbang pertentangan. Jika Nurcholish Madjid alias Cak Nur berfokus pada tauhid, pluralisme, dan Indonesia sebagai negara-bangsa modern (demokratis), Anis Matta (AM) muncul dengan pembacaan Qurani, kolaborasi, dan 5 besar kekuatan dunia. Dari Guru Bangsa bersambung tugas sejarah ke sosok yang bisa membawa Indonesia keluar dari lorong gelap krisis: Pelita Bangsa. Melanjutkan estafet yang vakum 15 tahun?

Keduanya bersama memimpikan Indonesia yang lebih berdaya saing. Keduanya berpijak pada haidrnya demokrasi yang melibatkan keislaman dan keindonesiaan. Kekuatan turats dan pembacaan sejarah menjadi basis analisisnya. Jika Cak Nur melangkah ke visi muslimin sebagai aktor utama hadirnya negara madani, AM ingin mengangkasa membawa Indonesia lewat telaah geopolitik. Jika Cak Nur piawai merangkai gagasan dalam tulisan akademis, AM melemparkan narasi melalui esai-esai populer. Seperti tertib orkestra ala Vienna Philharmonic versus Queen.

Keduanya jelas tidak perlu dicari kesamaan, dan memang bukan secara langsung berada di regenerasi yang sejalur. Hanya saja, peran kesejarahan mempertemukan, atau tepatnya: "memanggil", hadirnya kreator zaman bagi kepentingan bangsa. Apa dan bagaimanapun corak minat pembacaannya.

Yang perlu dijadikan amatan kita adalah bagaimana dua nama ini menghargai, mensyukuri nikmat waktu atau umur. Saat didapuk sebagai Ketua Umum PB HMI periode 1966-1968, Cak Nur berumur 27 tahun. Tiga tahun kemudian, ia rumuskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) dan pada 2 Januari 1970, ia ruahkan gagasannya seputar keislaman dan keindonesiaan melalui makalah yang kelak melambungkan namanya di pentas polemik pemikiran: "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat."

Selepas menamatkan pendidikan di LIPIA pada 24 tahun, AM menjadi orang penting di partai islamis di usia 30 tahun. Rentang masa ini adalah interaksinya bersama para tokoh pergerakan Islam. Ia sudah bergaul akrab dengan tokoh-tokoh dunia Islam kendatipun lebih intensif tanpa sorot media atau publikasi kelembagaan donor seperti dialami Cak Nur.

Umur 40-an, tepatnya 41, AM berandil membawa partainya meraih suara terbanyak di antara partai-partai berlatar belakang keislaman, entah asas dan/atau basis akar rumputnya. Dua tahun kemudian, 2011, ia merasakan gagasannya sudah mentok. Ada awan gelap yang sukar dienyahkan buat melangkah. Di titik ini ia merasa capaian yang ada, belum memadai untuk tugas kesejarahan sebagai pemimpin negeri dan bangsa. Hingga akhirnya, melalui serangkaian dinamika konflik di partainya, ia melakukan langkah yang merupakan hasil perenungan, perbincangan, dan pengamatan aktif (salah satunya momentum Arab Spring 2011). Sabatikal intelektualnya dilembagakan pada umur 50 tahun melalui Gerakan Arah Baru Indonesia dan setahun berikutnya menjadi Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Gelora.

Saat tempo yang sama, Cak Nur mematangkan pemikiran keislamannya di University of Chicago. Fazlur Rahman dan Leonard Binder kelak jadi sosok penting saban menyebut gurunya, selain juga nama Harvey Cox. Di usia ini, Cak Nur matang dengan putusan pandangan pemikirannya yang dianggap relevan bagi Indonesia. Pada 31 Oktober 1986, 47 tahun umurnya, ia lembagakan pemikirannya melalui Yayasan Wakaf Paramadina. Klub Kajian Agama (KKA) menjadi satu wadah penyemaian dan penahbisan ide-ide Cak Nur. Bersama para cendekiawan lintas kelompok, dibahas pelbagai topik berkenaan keislaman dan keindonesiaan.

Mungkin karena sejak umur 20-an, saat berkeliling membawakan "Dasar-dasar Keislaman", kedudukan Cak Nur tampak seperti pemikir. Ekstensi berikutnya berpuncak pada atribut karismatik: guru. Tapi itu tak berarti ia gagap dalam aktivisme. Demokrasi Indonesia yang ideal dikawalnya dalam langkah-langkah praksis semisal terlibat dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di posisi anggota dewan pertimbangan. Masa itu, terutama pada September 1995, Cak Nur (56 tahun) serukan istilah "partai oposisi" dan apa urgensinya. Pada umur dua tahun lebih muda, AM cetuskan bersama partainya penghapusan ambang batas Presidential Threshold demi demokrasi yang sehat memihak rakyat, bukan oligarki.

Umur 65 tahun, Cak Nur mencoba peruntungan di tengah kali pertama pemilihan presiden secara langsung. Ia menjajaki kans ke partai-partai. Asanya ugahari saja: memimpikan Indonesia madani dengan terlibat langsung di proses prosedur demokrasi. Sayangnya, ia pelanduk di tengah pusara partai raksasa Jalut dan partai menengah Thalut. Cak Nur tak dilirik sebagai potensi oleh partai Thalut sebagai model melawan Jalut. Nama besarnya belum dianggap memadai sebagai Daud.

Di tengah keriuhan lembaga survei dan media serta pengguna media sosial, kekuatan Jalut hari ini begitu dominan. Nyaris benar-benar serupa lakon aslinya. Thalut si kuda hitam begitu lemah, tiada jenderal memadai yang siap meringkus jejaring Jalut dan oligarki di sekelilingnya. Sampai kemudian lamat-lamat AM menarasikan personal Daud. Thalut yang ada malah bisa saja bukan di antara kekuatan yang ada. Benar-benar dari awal. Apakah ikhtiar sadar diri sebagai anasir kecil minoritas yang "cuma" berbekal cita-cita dan hujah narasi, AM dan kawan-kawannya bergeming melakoni sebagai Daud yang akan menerangi kegelapan? Mempelajari bagaimana kegagalan Daud lainnya dalam manuver politik, sebagaimana diperbuat Cak Nur saat 65 tahunnya. Sebagai manusia politik yang dibina dari awal, sepatutnya AM tak jadi keledai yang terperosok di lubang serupa tatkala menjalani ikhtiar serupa Daud.