Anton Apriyantono: Transformasi Pertanian dari Produsen Menjadi Pengolah Bahan Baku
Mentan RI 2004-2009, Anton Apriyantono bilang, ada dua hal yang harus dilakukan untuk ketahanan pangan. Mengubah mindset, juga melakukan diversifikasi.
BUKAMATA - Menteri Pertanian 2004-2009, Anton Apriyantono menegaskan, negara kita harus berevolusi dari penghasil bahan baku menjadi pengolah bahan baku. Itu kata Anton, agar kita mendapatkan hasil yang lebih besar.
Demikian diungkapkan Anton pada Zoominari yang digelar Narasi Institute yang dipandu host, Achmad Nur Hidayat, Founder Narasi Institute.
Lebih lanjut, dosen pada Universitas Bakrie itu membeberkan, ketika kita berbicara pertanian, maka itu sangat luas. Bukan hanya tanaman pangan, tapi juga perkebunan, peternakan, holtikultura, juga kehutanan.
Anton bilang, luas wilayah non laut kita, 191.358.000 hektare. Kalau luas laut lanjut dia, dua kali dari luas wilayah non laut. Dengan demikian, luas daratan kita hanya sepertiga dari luas wilayah Indonesia secara keseluruhan.
Lahan pertanian kita lanjut Anton, hanya 31 persen. Atau sekitar 65 juta hektare. Selebihnya adalah hutan, juga perkotaan dan lain-lain. Jika dibagi dengan jumlah penduduk, luas pertanian kita kata Anton, hanya sepertiga dari rata-rata luas dunia.
Anton menambahkan, ada peningkatan penggunaan lahan. Khususnya perkebunan. Sedangkan yang lain, relatif tetap.
Luas lahan pertanian itu kata dia, lebih banyak karena adanya lahan yang dibuka untuk ditanami dengan tanaman permanen. Khususnya untuk perkebunan.
Sementara itu, jumlah petani juga berkurang. Anton lantas menjabarkan grafik perbandingan populasi antara rural dan urban.
"Bisa dikatakan sejalan peningkatannya. Namun dalam perkembangannya, urban population lebih banyak dibanding dengan yang rural. Itu artinya, ada penurunan pekerja di sektor pertanian," terangnya.
Pekerja di sektor pertanian kata Anton memang menurun. Tahun 2000 dengan jumlah pekerja 40 jutaan, populasi Indonesia saat itu hanya 206 juta. Tetapi pada 2018, pekerja di sektor pertanian 35,7 juta, dengan jumlah penduduk 265 juta.
Di sisi lain, GDP untuk pertanian relatif stabil. Sempat tinggi sampai 2003, tapi kemudian stabil pada 13,9 persen.
GDP Annual atau perubahan GDP-nya juga relatif stabil di angka 3,9 persen. Artinya, pertanian itu menyumbangkan pertumbuhan atau GDP secara relatif konstan. Sehingga bisa dikatakan penting. Meski tidak setinggi sektor-sektor lain, tapi bisa dikatakan relatif pertumbuhannya.
"GDP perkapita naik terus. Asumsi saya, GDP petani juga akan meningkat," terangnya.
Kemudian Anton menjabarkan food ekspor kita. Ekspor andalan Indonesia adalah vegetables oil, karet, kopi, teh. Tapi, impor pangan juga banyak. Menurutnya, tidak apa-apa impor pangan asalkan seimbang dengan ekspor.
"Kalau kita lihat agrofood kita, periode 1990-2010. Tapi trennya naik. Mungkin ada kecenderungan menurun, tapi ekspor kita masih lebih besar dibanding impor," terangnya.
Produksi pangan perkapita lanjut Anton, cenderung flat. Meskipun ada kenaikan di tahun-tahun terakhir.
Suplai protein kita juga meningkat terus, disumbang oleh protein hewani, diseimbangkan dengan protein nabati.
Bagaimana pengaruh pandemi di sektor pertanian? Menurut Anton, pandemi ini membuat pertumbuhan ekonomi menurun, masyarakat miskin meningkat, daya beli menurun, dan ekonomi melemah. Tetapi kata dia, masyarakat tetap butuh pangan. Artinya, pertanian pasti akan selalu dibutuhkan. Pasti akan terus menyumbang pertumbuhan. Bukan hanya pangan, tapi sandang dan papan juga.
Indonesia lanjut Anton, punya potensi yang besar. Karena kaya akan SDA juga SDM. Populasinya keempat terbesar di dunia, juga kondisi politik relatif stabil dengan ekonomi yang sedang tumbuh.
"Kalau kita potret, pertanian kita dikerjakan oleh BUMN, petani-petani kecil dan perusahaan swasta. Ironinya, ternyata kebanyakan pangan dikerjakan petani kecil. Perusahaan swasta sebagian, seperti unggas, ikan dan sebagian sapi. Tapi dari sumbangsih, ternyata petani-petani kecillah yang banyak menyumbang pangan kita. Inilah yang jadi tantangan. Di sana banyak permasalahan," terangnya.
Anton mengingatkan, kita juga jangan lupa kalau kita punya potensi perikanan yang besar. Sekitar 2/3 wilayah Indonesia lautan, kita punya perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi, industri pengolahan produk perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, perhubungan laut, industri dan jasa maritim, investasi dan pembangunan pulau kecil. Ini yang belum banyak digali potensi ini.
"Ikan kita banyak, tapi banyak dicuri negara lain. Makanya menteri yang lalu (Susi Pudjiastuti) banyak menenggelamkan kapal penangkap ikan milik asing," ungkapnya.
Kalau kita berbicara pangan kata Anton, maka yang utama yang harus diperbaiki mindset kita. Pangan kita lanjut dia, sebenarnya cukup. Masalahnya, kalau kita terlalu menggantungkan kepada beras. Ini yang akan bermasalah suatu saat. Karena penduduk meningkat terus, tetapi sawahnya berkurang.
"Intinya adalah, diversifikasi itu suatu keharusan. Bagaimana kita bertumpu pada pangan-pangan lokal. Kalau di industri pangan itu, ada namanya komposit. Campuran tepung-tepungan," jelasnya.
"Kemudian berbicara masalah prediksi beras. Kalau sejauh ini, prediksinya masih cukup. Kita tak perlu khawatir Vietnam, Thailand tak bisa mengekspor berasnya kepada kita. Kalau sampai Agustus ini, prediksi saya masih cukup untuk awal tahun depan," terangnya.
Tapi yang harus kita lakukan kata Anton, bagaimana meningkatkan produksi beras ini. Kita punya 43 persen sawah tadah hujan. Produksinya hanya setahun sekali. Kalau kita fokus memfokuskan sawah tadah hujan ini, setengah saja itu kita sudah bisa ekspor beras.
"Padi gogo juga harus kita kembangkan. Tapi jangan lupa, lahan kering kita berebut. Berebut dengan jagung, ubi, singkong. Singkong saja kita sudah impor. Itu karena persoalan lahan juga," ungkapnya.
Anton menambakan, banyak upaya-upaya yang kita lakukan. Pertama, masalah mindset dan masalah diversifikasi. Menurut dia, akan cukup kalau kita mengandalkan pada sumber karbohidrat yang ada.
"Kita juga harus membudayakan menanam. Indonesia ini sangat tak bisa untuk kelaparan. Karena ditanam di pot saja bisa, di polibag juga bisa. Ini masalah kemauan saja. Jangan hanya mengandalkan petani kecil. Kita semua punya kewajiban untuk menanam," pungkasnya.