BUKAMATANEWS - Gunung Rinjani, salah satu destinasi pendakian paling ikonik di Indonesia, resmi ditutup sementara mulai 1 Agustus 2025. Penutupan ini dilakukan menyusul sejumlah insiden kecelakaan yang melibatkan pendaki, termasuk wisatawan asing. Namun, di balik penutupan ini, pemerintah tengah melakukan evaluasi menyeluruh untuk menghadirkan sistem pendakian yang lebih aman dan berkelanjutan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) tengah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pendakian yang baru. Draf SOP ini digodok sejak 1 hingga 10 Agustus dan rencananya mulai diberlakukan pada 11 Agustus 2025.
“Insyaallah SOP baru akan diberlakukan segera setelah masa pemeliharaan jalur selesai,” kata Kepala Dinas Pariwisata NTB, Ahmad Nur Aulia, dalam keterangan resmi, Sabtu (2/8). Ia menegaskan bahwa SOP baru ini bertujuan untuk mengantisipasi berbagai risiko pendakian, khususnya pada jalur-jalur rawan kecelakaan.
Sertifikasi Pemandu Dipercepat, Fokus pada Rescue Dasar
Selama masa penutupan, Pemprov NTB memanfaatkan waktu untuk meningkatkan kapasitas para porter dan pemandu yang menjadi tulang punggung pariwisata Rinjani. Dari total 661 porter dan pemandu, sebanyak 371 orang belum memiliki sertifikasi resmi.
“Baru 50 yang telah kami latih. Sisanya akan kami kejar selama masa pemeliharaan hingga 10 Agustus,” ujar Aulia. Pelatihan difokuskan pada keterampilan dasar penanganan kesehatan dan penyelamatan (rescue) di medan pendakian.
Untuk memperkuat materi pelatihan, Dinas Pariwisata juga menggandeng tim SAR agar para pemandu memiliki kemampuan awal menghadapi insiden di lapangan.
Pembenahan Jalur: Undakan, Bukan Eskalator
Tak hanya peningkatan SDM, tim gabungan yang terdiri dari BTNGR, Kodim 1615 Lotim, Yon Zipur 18/YKR, Rinjani Squad, dan relawan lokal kini tengah memperbaiki jalur pendakian. Salah satu metode yang diterapkan adalah pembuatan undakan alami di titik-titik rawan, khususnya jalur Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak.
Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, Hariyanto, menegaskan bahwa pendekatan perbaikan jalur dilakukan dengan prinsip konservasi. “Kami tidak akan membangun tangga buatan atau eskalator seperti di negara lain. Rinjani harus tetap lestari,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Gunung Rinjani merupakan kawasan rawan longsor dan pergerakan tanah, sehingga infrastruktur berat seperti eskalator justru bisa membahayakan keselamatan pendaki serta merusak bentang alam dan keanekaragaman hayati.
Menjaga Esensi dan Karakter Rinjani
Hariyanto juga mengingatkan bahwa tantangan fisik dalam mendaki Rinjani merupakan bagian dari daya tariknya. "Memasang fasilitas modern seperti eskalator akan merusak esensi petualangan mendaki gunung. Kami ingin menjaga autentisitas Rinjani sebagai destinasi alam," tegasnya.
Kementerian Pariwisata juga akan mengintensifkan pengawasan terhadap izin usaha jasa wisata alam melalui Perizinan PB-PSWA dan PB-PJWA, guna memastikan semua pengelolaan destinasi berjalan sesuai prinsip keberlanjutan.
Belajar dari Insiden, Melangkah ke Masa Depan
Penutupan sementara ini menjadi momentum evaluasi menyeluruh tata kelola Gunung Rinjani, terutama setelah kasus kecelakaan pendaki asing Juliana yang sempat menyita perhatian publik. Kepala Balai TNGR, Yarman, menyebutkan bahwa seluruh unsur pariwisata dan masyarakat lokal dilibatkan dalam perumusan SOP baru.
"Ini bukan hanya soal regulasi, tapi tanggung jawab kolektif dalam menjaga keselamatan pengunjung dan kelestarian gunung," ujarnya.
Dengan langkah-langkah ini, Rinjani bukan hanya akan kembali dibuka, tapi juga hadir dengan wajah baru: lebih aman, lebih tertata, dan tetap memesona dalam keaslian alaminya.