Wapres Gibran Buka Gebyar ABG, Dorong Kolaborasi Nasional untuk Kemandirian Obat
15 November 2025 21:15
Dokumen yang dipermasalahkan kini menjadi dasar keputusan pengosongan lahan oleh Pengadilan Tinggi Makassar, yang berpotensi menggusur ribuan kepala keluarga dari hunian mereka.
MAKASSAR, BUKAMATANEWS — Ratusan warga Perumahan Pemprov dan Perumahan Pemda Manggala, Kecamatan Manggala, Makassar, turun ke jalan menyuarakan keresahan mereka terhadap sengketa lahan yang dinilai mengancam ribuan jiwa. Aksi dimulai di depan Mapolrestabes Makassar dan berlanjut ke Pengadilan Tinggi Makassar.

Dengan konvoi kendaraan roda dua dan empat, massa tiba di Mapolrestabes sekitar pukul 09.30 WITA. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Lawan Mafia Tanah” serta membawa berbagai poster yang menyuarakan perlawanan terhadap dugaan mafia tanah dan ketidakadilan hukum.
Koordinator aksi, Gunawan, menjelaskan bahwa kedatangan mereka untuk mendesak kejelasan atas laporan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengenai dugaan pemalsuan dokumen oleh seorang warga bernama Magdallena De Munnik. Dokumen yang dipermasalahkan kini menjadi dasar keputusan pengosongan lahan oleh Pengadilan Tinggi Makassar, yang berpotensi menggusur ribuan kepala keluarga dari hunian mereka.

“Kami datang mempertanyakan sejauh mana proses hukum terhadap dugaan pemalsuan dokumen yang sudah dilaporkan. Jangan sampai kasus ini berlarut seperti laporan penyerobotan lahan yang dilaporkan sejak Januari 2025 namun tak kunjung diproses,” ujar Ketua Forum Warga Bersatu, Sadaruddin.
Dokumen Lama, Nasib Warga Terancam
Tiga dokumen utama yang dipersoalkan dalam laporan tersebut adalah surat keterangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), salinan dari Balai Harta Peninggalan, dan dokumen Eigendom Verponding—yang oleh warga dinilai sudah tidak berlaku sejak dekade 1980-an.
Menurut Sadaruddin, instansi terkait telah memberikan klarifikasi dan bantahan tertulis atas keabsahan dokumen tersebut. Namun, dokumen itu tetap digunakan sebagai dasar oleh hakim dalam memutus perkara.
“Jika benar dokumen tersebut palsu dan tetap digunakan sebagai bukti di pengadilan, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas nasib kami semua?” ujar Sadaruddin lantang dalam orasi.
Sejumlah warga lainnya, termasuk pensiunan pegawai Pemprov Sulsel, turut bersuara. Mereka mempertanyakan logika hukum yang mengakui dokumen kolonial Belanda sebagai bukti kepemilikan yang sah di era modern.
"Apakah nanti kalau ada orang Belanda datang bawa dokumen Eigendom Verponding, mereka bisa menuntut lahan di Indonesia? Ini sungguh mengkhawatirkan," keluh salah satu peserta aksi.
Usai menyampaikan aspirasi di Mapolrestabes, warga melanjutkan aksi ke depan Kantor Pengadilan Tinggi Makassar. Di lokasi tersebut, massa membakar ban bekas dan menutup sebagian ruas Jalan Urip Sumoharjo sebagai bentuk kekecewaan terhadap putusan hakim yang dinilai tidak adil.
Puncak aksi ditandai dengan pembakaran keranda hitam—simbol kematian keadilan—setelah perwakilan warga bertemu dengan pejabat Pengadilan Tinggi.
“Ini bukan hanya tentang lahan, ini tentang rasa keadilan yang sudah terkubur. Hari ini kami menjadi korban, tapi jika dibiarkan, anak cucu kami akan menyusul,” tegas Sadaruddin.
Warga berjanji akan terus mengawal proses hukum dan menuntut kejelasan terhadap laporan yang sudah diajukan ke Polrestabes Makassar. Mereka juga mendesak agar aparat penegak hukum tidak berpihak dan benar-benar menelusuri dugaan mafia tanah dan mafia peradilan yang mereka anggap mulai meresahkan.
Aksi unjuk rasa hari ini menjadi peringatan keras dari masyarakat sipil terhadap praktik-praktik hukum yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil. Warga berharap suara mereka didengar, dan negara hadir memberikan perlindungan yang adil dan berkeadilan.
15 November 2025 21:15
15 November 2025 17:18
15 November 2025 17:11
15 November 2025 14:46
15 November 2025 14:14