Krisis Politik Korsel: PPP Usulkan Presiden Mundur Februari 2025
10 Desember 2024 22:52
Kekacauan dunia digambarkan dengan sangat spesifik oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
BUKAMATA - Semakin ke sini, situasi dunia makin kacau balau. Masalah datang terus menerus sampai sulit sekali rasanya mencari secercah harapan.
Kekacauan dunia digambarkan dengan sangat spesifik oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hal ini disampaikan ketika Rapat Paripurna DPR, Selasa (6/9/2022) saat Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2021.
"Kita sadari bersama bahwa kerja keras belum selesai. Kini kita menyaksikan bahwa risiko yang kita hadapi telah bergeser dari pandemi ke gejolak ekonomi global," ujar Sri Mulyani.
Inflasi global, kata Sri Mulyani melonjak akibat krisis rantai pasok karena pandemi covid yang berlangsung selama dua tahun lebih. Kemudian hal tersebut juga diperburuk oleh perang Rusia - Ukraina yang belum diketahui ujungnya. Sampai muncul krisis energi dan pangan di beberapa negara.
Lonjakan inflasi direspons oleh pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga negara maju. Situasi tersebut menyebabkan volatilitas pasar keuangan global, capital outflow, pelemahan nilai tukar dan lonjakan biaya utang (cost of fund).
"Kondisi ini diikuti oleh koreksi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Ini mengakibatkan potensi terjadinya stagflasi yaitu pelemahan ekonomi global disertai inflasi tinggi. Hal ini merupakan kombinasi yang rumit dalam proses pengambilan kebijakan untuk pemulihan ekonomi," papar Sri Mulyani.
Indonesia tidak akan bisa lepas dari sederet ancaman tersebut. Sri Mulyani menyebut situasi ini harus disikapi dengan tetap optimisme namun waspada.
"Kondisi perekonomian yang terus pulih diwarnai adanya risiko baru dari inflasi global yang meningkat, diikuti peningkatan suku bunga dan pengetatan likuiditas dan krisis utang di dunia, dan juga akan menimbulkan dampak ke pemulihan ekonomi," tambah Sri Mulyani.
Pemerintah dan Komisi XI DPR RI memandang ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,3% pada 2023. Inflasi sebesar 3,6% dan nilai tukar rupiah akan bergerak lebih lemah dari sekarang, yaitu Rp 14.800 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Karena guncangan ini bukan hal yang sepele. Ini adalah guncangan yang luar biasa tinggi," tegasnya.
Kacau balaunya dunia juga memberikan pengaruh terhadap penerimaan negara. Sri Mulyani mencantumkan target pertumbuhan penerimaan perpajakan sebesar 4,8% menjadi Rp 2.016,9 triliun dibandingkan outlook tahun ini Rp 1.924,9 triliun.
Meskipun tumbuh moderat, ini adalah kali pertama penerimaan pajak menyentuh kisaran Rp 2.000 triliun. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa ini penerimaan pajak ini telah kembali ke level pra-pandemi.
Dengan target ini, dia melihat penerimaan pajak harus bisa dinetralisir dengan pembiayaan. "Baseline penerimaan pajak relatif makin luas dan kuat, sehingga tak tergantung dengan shock yang sifatnya bisa mempengaruhi keseluruhan," ungkapnya.
Adapun tahun ini, Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan perpajakan bisa mencapai 24,4 persen menjadi Rp 1.924,9 triliun. Sementara itu, pemerintah mengantongi penerimaan pajak Rp 1.547,9 triliun pada 2021. Angkanya tumbuh 20,4% dari tahun 2020.
Rendahnya penerimaan tentu akan memberikan keterbatasan dalam belanja. Artinya pemerintah akan lebih selektif dalam realisasi belanja selain yang sudah diwajibkan, seperti anggaran pendidikan dan kesehatan serta pembayaran cicilan utang.
Apalagi penarikan utang secara agresif tentu bukan opsi yang tepat dalam kondisi sekarang dan tahun depan karena masih tingginya volatilitas. Di sisi lain defisit APBN tidak bisa lagi melewati level 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengarisbawahi risiko perlambatan di China, terutama bagi negara berkembang dan Indonesia. "US dampaknya ke berbagai negara, tetapi untuk negara-negara di Asean linkage ke Tiongkok juga signifikan sebagai trading partner dan source of FDI," tegasnya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David E. Sumual mengungkapkan risiko yang membayangi ekonomi global masih berasal dari perang Rusia dan Ukraina.
David masih melihat harga komoditas tetap tinggi, meskipun beberapa harga barang mulai melandai, kecuali batu bara dan gas.
"Batu bara dan gas ini menjadi tantangan, dimana kelihatannya terkait dengan konflik yang masih terjadi, dimana Eropa masih meningkat ekspornya untuk gas dan batu bara," paparnya.
10 Desember 2024 22:52
10 Desember 2024 21:58
10 Desember 2024 21:52
10 Desember 2024 21:46
10 Desember 2024 19:08
10 Desember 2024 08:58
10 Desember 2024 08:43
10 Desember 2024 08:38
10 Desember 2024 10:39