Redaksi : Jumat, 28 Mei 2021 12:40
Kepala BPK Sulsel bersama PLT Gubernur Sulsel.

MAKASSAR, BUKAMATA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel pernah meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 10 tahun berturut-turut. Namun, untuk tahun ini, turun peringkat menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Kepala BPK RI Perwakilan Sulsel, Wahyu Priono, mengungkapkan, ada tiga permasalahan utama yang menyebabkan BPK tidak dapat memberikan opini WTP. Pertama, ada anggaran perubahan yang tidak diketahui oleh DPRD, yaitu bantuan keuangan dari provinsi ke kabupaten kota.

"Ada perubahan peraturan, gubernur yang menambah. Sebelumnya sudah ada bantuan ke daerah-daerah, sudah disetujui DPRD, tapi kemudian ada penambahan lagi, tanpa melalui persetujuan DPRD," ungkap Wahyu, usai penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun Anggaran 2020, di Gedung DPRD Sulsel, Jumat, 28 Mei 2021.

Ia membeberkan, bantuan keuangan daerah yang diberikan mencapai Rp 300 miliar lebih. Apabila disajikan di laporan keuangan, melampaui anggaran yang ada.

"Pelampauan anggaran itu kan sesuatu yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi ini ada pelampauan anggaran Rp 300 miliar lebih. Jadi cukup besar jumlahnya," terangnya.

Penyebab kedua, lanjut Wahyu, ada kekurangan kas atau kas tekor. Artinya posisi per 31 Desember, saldo di kas bendahara pengeluaran tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya.

"Seharusnya, masih ada saldo kas. Tapi uangnya sudah enggak ada, sudah nggak tahu di mana, sudah digunakan di mana. Itu ada di satuan, kemudian ada di Badan Penghubung, dan ada di Dinas PU. Totalnya ketiga OPD itu ada kekurangan kas atau kas tekor Rp 1,9 miliar," urainya.

Ketiga, kata Wahyu, ada di kas lainnya yaitu ada penerimaan pajak yang sudah dipungut oleh bendahara yang semestinya disetor ke kas negara, tapi tidak disetor. Malah digunakan untuk kegiatan lain yang tidak ada anggarannya atau tidak sedang ketentuan. Besarnya Rp 519 juta.

"Opini ini merupakan pendapat profesional dari pemeriksa terhadap penyajian laporan keuangan," ujarnya.

Menurut Wahyu, saat selesai pemeriksaan, sebelum LHP diserahkan, pihaknya sudah menginformasikan ke Pemprov Sulsel agar kas yang tekor dan pajak yang dimaksud dikembalikan ke kas daerah dan kas negara. BPK sudah memberikan kesempatan kurang lebih satu bulan agar mereka menindaklanjuti.

"Artinya, kalau mereka sudah menindaklanjuti sebelum LHP diserahkan atau ditandatangani, itu sudah tidak WDP lagi," ungkapnya.

Wahyu berharap, tahun ini hal yang sama tidak terjadi lagi. Harus ada transparansi keterbukaan antara Pemprov dengan DPRD Sulsel. Artinya, setiap perubahan anggaran, pergeseran anggaran, penanganan anggaran, penambahan anggaran atau pengurangan anggaran yang sifatnya material, harus ada izin DPRD. Selain itu, penganggaran juga harus melihat kondisi riil keuangan Pemprov Sulsel.

"Saya kira ini, juga karena ada penganggaran yang kurang melihat kemampuan. Istilahnya, pengen banyak pengeluaran tapi pendapatannya kurang," pungkasnya.

Menanggapi hal tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, mengatakan, tugasnya ke depan adalah melakukan perbaikan-perbaikan sesuai rekomendasi BPK. Membentuk team work untuk melakukan akselerasi, juga perbaikan kinerja.

"Kami akan lakukan evaluasi di OPD. Lebih fair menempatkan pejabat, berdasarkan hasil evaluasinya," tegas Andi Sudirman. (*)