MAROS, BUKAMATA - Usman terus mengayunkan cangkulnya. Membersihkan pematang sawah dari rerumputan liar. Juga melembekkan tanah yang tak terjangkau mata bajak traktor tangan.
Peluh tampak mengucur deras, bercampur percikan lumpur dari air sawah di wajahnya. Sesekali dia tampak hati-hati mengayunkan pacul. Pasalnya, ada batu besar di pinggir sawahnya.
Usman dulunya adalah tukang pembuat kunci duplikat di Toko Agung, Makassar. Usahanya lancar. Tiba-tiba pandemi Covid-19 datang melanda. Pelanggan pun sepi. Apalagi saat WFH diberlakukan.
Usman lalu pulang kampung ke Dusun Jambua, Desa Cendrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Sulsel, untuk bertani. Bukan sawahnya. Dia hanya menggarap sawah milik orang lain, lalu hasilnya dibagi.
Bagi Usman, hidup harus terus berjalan. Dengan turun ke sawah, dia bisa menjaga imun. Berjemur matahari pagi. Lalu menggerakkan otot-otot lewat ayunan pacul. Jarak tentu terjaga. Karena jarak antara sawah dengan sawah lainnya berjauhan.
Apalagi kata Usman, permintaan akan bahan pangan terus meningkat. Tak terpengaruh oleh pandemi. Karena masyarakat terus membutuhkan makan.
"Saya pernah baca di berita, pertanian ini jadi tulang punggung ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini. Karena salah satu sektor yang tidak terpukul pandemi," ungkapnya.