Ririn
Ririn

Kamis, 24 Desember 2020 17:15

Siti Aslinda Binte Junaidi
Siti Aslinda Binte Junaidi

Wanita Singapura Menghadapi Hukuman Mati di China

Aslinda dinyatakan bersalah atas perdagangan narkoba dan dijatuhi hukuman mati pada Juli 2020

BUKAMATA - Suaru hari di Bulan Oktober 2015, sepulang dari sekolah, Ismiraldha Abdullah menemukan bibinya menangis sambil memegang surat dalam bahasa Mandarin.

Surat itu mengatakan bahwa ibu Ismiraldha, Siti Aslinda Binte Junaidi, telah ditangkap di kota Shenzhen, China Selatan karena dicurigai melakukan perdagangan narkoba, dan dapat menghadapi hukuman mati.

Ismiraldha kaget. Dia berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang yang dilakukan ibunya di Tiongkok, kecuali bahwa dia pergi ke sana untuk mencari pekerjaan.

Ketika dia menangis bersama bibinya, anak berusia 12 tahun itu masih tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.

Hampir lima tahun kemudian, Aslinda dinyatakan bersalah atas perdagangan narkoba dan dijatuhi hukuman mati pada Juli 2020. Wanita berusia 35 tahun itu didakwa bersama seorang warga Singapura lainnya, Mohd Yusri Bin Mohd Yussof, 44 tahun.

Hukuman Yusri ditangguhkan selama dua tahun, artinya bisa diturunkan menjadi penjara seumur hidup. Sementara Aslinda, yang dianggap berperan lebih aktif dalam kejahatan tersebut, akan menghadapi eksekusi jika banding terakhirnya, yang dapat disidangkan kapan saja, tidak berhasil.

Sementara itu, di Singapura, keluarganya berusaha mati-matian untuk menyelamatkannya dari hukuman mati, melalui saluran diplomatik dan sistem hukum China, di mana pembebasan sangat jarang terjadi.

"Sangat sulit untuk mendapatkan pengacara pro bono di China dan keluarga tidak mampu membayarnya," kata M. Ravi, seorang pengacara Singapura yang menjadi penasihat dalam kasus tersebut, dikutip CNN.

"Saya telah mencoba untuk bekerja sama dengan beberapa jaringan internasional. Saya harus mendapatkan pengacara pro bono, tetapi kasusnya (bergerak maju) dan kami tidak tahu kapan akan mencapai pengadilan berikutnya."

"Bagaimana jika China tiba-tiba memutuskan untuk menembaknya dalam beberapa minggu?"

Penyelundupan melalui Shenzhen
Menurut dokumen pengadilan yang dilihat oleh CNN, Aslinda dan Yusri dihentikan oleh petugas bea cukai di Shenzhen pada 24 Oktober 2015.

Pemeriksaan pada koper mereka menemukan 28 tas wanita berisi lebih dari 11 kilogram (24 pon) sabu yang dijahit ke lapisan koper. Jika dijual per gram, jumlah sabu itu bisa bernilai lebih dari $220.000 di AS.

Keduanya membantah mengetahui tentang obat tersebut.
Aslinda mengatakan kepada pengadilan bahwa saat mencari pekerjaan secara online pada akhir 2014, dia bertemu dengan seorang pria bernama Chibuzor Onwuka, yang menawarkan komisi untuk mengangkut barang dari Tiongkok ke Kamboja.
Sekitar sekali atau dua kali sebulan, Aslinda mengatakan dia akan mengambil barang di Guangzhou dan terbang bersama mereka ke Phnom Penh.

Barang-barang yang diangkutnya biasanya pakaian dalam wanita, tas tangan, dan kartrid toner. Aslinda mengatakan kepada pengadilan bahwa Onwuka mengatakan padanya jika tas tangan itu sangat menguntungkan karena dijual ke orang-orang Kamboja yang terkemuka.

Tidak jelas apakah Onwuka telah ditangkap, karena dokumen pengadilan hanya mengatakan bahwa kasusnya "ditangani secara terpisah".

Pada Juli 2015, Aslinda memperkenalkan Yusri pada Onwuka dan mereka mulai membawa barang bersama. Onwuka membayar mereka $2.000 hingga $3.000 per perjalanan, kata mereka. Biaya tiket pesawat dan hotel mereka juga ditanggung.
Pada saat mereka ditangkap, mereka telah melakukan dua perjalanan bersama.

Di persidangan, hakim menolak pembelaan dua orang itu bahwa mereka tidak tahu apa yang ada di dalam tas. Sebaliknya, hakin berpendapat bahwa mereka pasti sadar atau seharusnya mengetahui isinya karena "upah yang luar biasa tinggi" untuk mengangkut barang ke luar negeri.

Selain itu, rute perjalanan mereka, dari Guangzhou ke Hong Kong melalui Shenzhen lalu Phnom Penh, seharusnya juga menimbulkan kecurigaan, kata hakim, karena penerbangan langsung tersedia ke ibu kota Kamboja.

Ismiraldha mengatakan kasus itu adalah "kesalahan yang mengerikan." Dia menekankan bahwa ibunya memiliki catatan bersih di Singapura dan tidak akan pernah secara sengaja melakukan kejahatan.

"Satu hal yang harus saya akui adalah itu bodoh," katanya. "Jika saya berada di posisi ibu saya, saya tidak akan pernah mengambil pekerjaan itu, (dan) jika saya tahu apa yang dia lakukan, saya akan menyuruhnya pergi. Tapi saya baru berusia 12 tahun saat itu."

Meskipun dia dapat menulis kepada ibunya, dia mengatakan surat-surat mereka tampaknya dipantau, jadi dia dibatasi terkait pertanyaan yang dapat dia tanyakan.

Dalam surat terbarunya, Ismiraldha mengatakan bahwa ibunya mengeluh bahwa pejabat konsuler tidak dapat mengunjunginya selama hampir setahun, kemungkinan akibat pandemi virus corona.

Kementerian Luar Negeri Singapura tidak menanggapi permintaan komentar tentang kasus Aslinda.

Pejabat konsuler Amerika Serikat sebelumnya telah mengkonfirmasi kepada CNN bahwa mereka telah dicegah mengunjungi orang Amerika yang dipenjara di China karena masalah virus corona.

Kasus Aslinda sedang naik banding ke Pengadilan Tinggi Guangdong, kata tim hukumnya. Jika pengadilan tidak membatalkan putusan, hukuman mati bisa dilakukan dalam beberapa minggu.

#China #Singapura

Berita Populer