Anis Matta: Mampukah Negara Dunia Atasi Fail State?
Krisis akibat pandemi ini multidimensi. Dipicu non-ekonomi, sehingga solusinya juga non-ekonomi. Juga melibatkan negara-negara global.
JAKARTA, BUKAMATA - Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Anis Matta mengatakan, ketika kita berbicara terkait negara gagal, itu sebenarnya jauh sekali. Namun kita kata Anis, perlu mengantisipasi.

Ada lima alasan menurut dia, kenapa kita perlu dari sekarang bicara tentang negara gagal. Karena sekarang ini lanjut dia, adalah krisis multidimensi. Pandemi ini menurut Anis, akan berkembang pada fase krisis ekonomi yang sekarang sedang terjadi.
"Nanti berkembang lagi menjadi krisis sosial yang sekarang sudah terjadi juga di mana-mana. Di Indonesia ini cikal bakalnya sudah muncul," jelasnya.
Kalau di Amerika Serikat kata Anis, dipicu oleh pembunuhan George Floyd, di Indonesia dipicu RUU HIP. Ini lanjut dia, akan berkembang menjadi krisis politik lalu krisis geopolitik.
Yang kedua kata Anis, adalah krisis sistemik. Pilar-pilar utama baik politik maupun ekonomi sekarang ini kata dia, relatif tidak bekerja.
"Kita ambil contoh misalnya. Ada dua pilar utama dalam global. Yakni, perdagangan utama internasional dan pergerakan manusia (People movement). Dua pilar ini seakan terhenti sama sekali," paparnya.
"Perdagangan internasionalnya terhenti. People movementnya juga terhenti. Kalau kita mencari tiket ke berbagai belahan dunia, itu susah sekali karena tidak ada penerbangan," tambahnya.
Dan semakin diterapkan protokol kesehatan dalam industri itu, pasti mati. Secara bisnis tidak akan berlanjut.
Secara global, krisis ini kata Anis masuk ke dalam siklus perubahan jangka panjang yang biasanya terjadi 80-100 tahun. "Kalau kita pakai teorinya Ibnu Khaldun maupun teori modern yang disebut George Modelsky bahwa perubahan dalam sistem global itu terjadi antara 80-100 tahun, dan biasanya diselingi perang di antaranya dan bisa berlangsung 200 tahun," paparnya.
Menurut Anis, berdasarkan sejarah yang kita baca, paling tidak krisis yang kita alami ini akan berlangsung 10-12 tahun ke depan. Anis bahkan membaca satu prediksi lagi, bahwa kemungkinan di tahun 2023 dan 2026 akan muncul lagi virus-virus yang lain.
"Ini akan menjadi faktor disrupsi dalam sistem global," ungkapnya.
Yang keempat kata Anis, Faktor pemicu krisis ekonomi sekarang ini adalah faktor non ekonomi. Yakni pandemi. Walaupun gejala krisisnya sudah ada sebelumnya, tetapi pandemi ini mempercepat krisis ekonomi itu. Dan solusinya juga nanti solusi non-ekonomi.
"Kalau kita bicara dan belajar dari pemikir strategis di Barat, terutama di Amerika, bahwa krisis yang terjadi sekarang ini antara 2020-2030, itu mirip krisis global yang terjadi di Amerika dari 1929-1939," ungkap Anis.
Pada saat itu kata Anis, Amerika dipimpin Rooselvelt sebagai presiden. Dia lalu mengenalkan konsep New Deal. Bekerja dengan tiga tahapan. Yang pertama adalah relieve. Bantu yang susah. Baik itu bantuan dalam bentuk stimulus. Yang kedua adalah recovery. Yang ketiga baru reform.
"Roselvelt memerintah dari 1933. Lalu terpilih lagi pada 1937. Tetapi dua tahun kemudian sudah masuk perang dunia kedua. Jadi tidak pernah ada bukti yang benar-benar valid bahwa konsep New Deal itu betul-betul menyelesaikan permasalahan Amerika pada saat itu," tambahnya.
Kesejahteraan eksesif Amerika itu terjadi setelah perang dunia kedua. Karena faktanya kata Anis, mereka adalah pemenang perang. Jadi solusi krisis ekonomi pada saat itu adalah Perang Dunia II. Karena PD II ini menjadi total disrupsion. Itu menjadi semacam reset dari seluruh sistem.
"Kenapa ini tidak terjadi pada perang dunia pertama? Karena perang dunia pertama tidak melahirkan kekuatan baru yang bisa mengontrol dunia secara maksimun," tambahnya.
Makanya lanjut dia, setelah Jerman kalah pada Perang Dunia I dan bangkit lagi pada saat munculnya Hitler, dan menciptakan Perang Dunia II. Setelah perang dunia II, kemenangan Barat terlalu telak, kemudian menciptakan sistemnya yang sekarang kita kenal dengan sistem global.
"Sebab yang kelima kenapa kita perlu berbicara tentang ancaman negara gagal. Karena sejarah menunjukkan, di tengah krisis, sistem itu tidak bekerja," tambahnya.
Jadi yang diperlukan kata dia adalah leadership. Leadership yang ditopang tiga fitur. Pertama adalah dia bisa membuat rencananya terlaksana, inovatif karena harus menemukan solusi di luar perkiraan, yaitu solusi non ekonomi. Sebab semua solusi-solusi ekonomi tidak efektif. Sehingga membutuhkan solusi non ekonomi, dan kreativitas yang luar biasa.
"Fitur ketiga adalah kolaboratif. Karena banyak sekali melibatkan kekuatan dan institusi yang diperlukan untuk itu. Sehingga tantangan besar di sini pada leadership. Bukan pada sistemnya. Tetapi pada leadershipnya, karena sistem tidak bekerja. Sehingga substitusi utama dari sistem itu adalah leadership," jelasnya.
Anis melanjutkan, ada tiga klaster yang bekerja pada pandemi ini. Pertama klaster saintis, kedua klaster publik servis dan geopolitik.
Klaster ketiga ini yakni geopolitik kata Anis, bekerja tapi tidak kelihatan. Intelijen Indonesia yang berhubungan dengan intelijen dunia kata Anis, porsi kerjanya terlalu kecil. Sehingga, sumber informasi kita secara global, misalnya BIN, BAIS dan sebagainya, lembaga intelijen kita tidak memiliki akses internasional yang mengumpulkan semua informasi internasional yang bagus. Yang bersifat langsung.
"Karena kita tidak memiliki sumber daya itu, maka kita tidak memiliki informasi tentang pergerakan global yang berlangsung," sambungnya.
Konflik geopolitik ini kata Anis, sudah terjadi sebelum pandemi ini terjadi. Seandainya kita punya informasi tentang konflik geopolitik, maka itu lanjut Anis, bisa jadi instrumen, senjata dalam konflik geopolitik itu.
Misalnya konflik AS-China berlanjut, akan ada limpahan industri. Kalau cuma menunggu, Anis bilang, kita tidak akan diperhitungkan.
"Posisi kita kira-kira sama dengan Vietnam. Artinya kita masih ada dalam kategori negara dengan gaji rendah artinya gross tingginya berasal dari fakta bahwa label marketnya itu murah. Kita memang dapat untung dari situ, tapi sebenarnya tidak membuat posisi kita secara geopolitik itu kuat," ungkapnya.
Anis melanjutkan analisisnya. Pada saat konflik AS-China menguat, pada akhirnya Amerika akan memperkuat sekutu-sekutu utamanya. Jepang, Australia, Taiwan, Korea Selatan. Amerika akan memperkuat sekutu-sekutu utamanya ini sebagai bagian dari memperkuat instrumen politiknya dalam menghadapi China. Dan itu kata dia, berarti bahwa arus investmen atau arus sumber daya mereka akan mengalir ke sini.
"Sementara kita di sini, di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, mungkin tidak akan mendapatkan limpahan yang signifikan. Tetapi semua konflik ini secara langsung menimbulkan dampak ke kita," bebernya.
Anis menyitir penulis di Atlantik. George Packer namanya. Dia menulis "We Are Living in a Fail State".
"Dia bicara tentang Amerika. Bahwa dalam dua dekade ini, Amerika mengalami tiga benturan keras. Pertama peristiwa 911 (2001), lalu krisis ekonomi 2008, dan sekarang pandemi (2019-2020). Dari ketiga krisis ini ternyata pertahanan Amerika sebagai sebuah negara, ternyata tidak sebesar yang mereka bayangkan selama ini. Sehingga menurut George Parker ini, pada awal-awal Pandemi melanda, begitu bangun pagi, dia harus sadar bahwa dia adalah warga negara dari sebuah negara yang gagal. Jadi sense of crisis itu pada dasarnya merasakan bahwa krisis itu sudah terjadi jauh lebih dalam dari pada apa yang kita bayangkan," jelasnya.
Ini kata dia, berhubungan dengan poin kedua. Kita akan menemukan kontradiksi dari fakta yang ada, bahwa kebanyakan dari tindakan-tindakan jangka pendek yang kita ambil secara diametral bertentangan dengan situasi jangka panjang.
"Contohnya, berapa lama kita bisa memberikan stimulus. Berapa lama kita bisa memberikan BLT. Kalau krisis ini bisa berlangsung lama. Sementara sumber dana kita dari utang ke utang. Ini masalah yang sangat fundamental," cetusnya.
Kontradiksi antara jangka pendek dan jangka panjang ini sambung Anis, di luar kendali kita. Sementara pengetahuan kita tentang krisis ini jauh lebih sedikit.
"Sehingga respons-respons kita jangka pendek ini sangat membahayakan jangka panjang. Apalagi kalau ini dipakai untuk kampanye pilpres 2024," paparnya.
Hal senada disampaikan Andri BS Sudibyo. Ketua Pokja Industri Strategis & Teknologi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) periode 2014-2019 ini menilai, ini bukan masalah ekonomi, tapi masalah geopolitik. Ada masalah di dunia ini yang dipicu oleh Covid-19. Persoalan itu selama ini belum pernah terjadi di dunia ini. Tidak ada contoh-contoh yang sama. Krisis ini kata dia, sangat kompleks.
Untuk menghadapi ini lanjut Andri, memang diperlukan suatu tim khusus untuk mempelajari ini benar-benar. "Kita harus punya skenario ke depan. Apa yang akan kita lakukan untuk Indonesia," ungkapnya.
Menurut Andri, kalau kita lihat ada namanya New World Order. Ada perkembangan dunia baru akibat covid. Yang mengakibatkan perubahan geopolitik dan globalisasi.
Menurut dia, terjadinya konflik antara Amerika dan China akan mengakibatkan quantity value di bank sentral.
"Ini krisis multinasional pertama setelah perang dunia II. Kita menanganinya tidak hanya masalah ekonomi. Tapi justru masalah geopolitiknya," tambahnya.
Menurut Andri, ada perubahan global ekonomi antara Amerika dan China. Juga memacu krisis politik di Laut China Selatan. Ada masalah Rusia dan Nato. Kegagalan Rusia menangani virus memicu ketegangan di Rusia. Membuat Rusia melakukan pergerakan militer yang memicu ketegangan dengan Nato. Kemudian ada trans atlantic relationship antara Amerika dengan Eropa. Artinya negara-negara Eropa tidak setuju 100 persen atas konflik Amerika dengan China. Mereka juga mencari positioning karena terkait hubungan ekonomi dengan China. Kemudian masalah Indopacifik. Ini juga bagaimana India, hubungan India dengan Amerika, hubungan India dengan China.
Belum lagi masalah multilateral institusi, antara posisi WHO terhadap negara-negara. Kepercayaan negara terhadap WHO turun.
"Ini krisis yang sangat panjang. Kita harus menangani dengan serius. Bukan hanya masalah ekonomi ansich. Tidak cukup hanya stimulus ekonomi. Tapi harus penanganan menyeluruh," sambungnya.
Karena sekarang juga kata Andri, ada pergerakan militer di Laut China Selatan. Tarik menarik China dan Amerika kata dia, memang sangat kuat. Antara Amerika dan kawan-kawannya. Eropa juga tidak menurut sekali ke Amerika, karena mereka melihat China juga sebagai resources.
News Feed
Kominfo Makassar Tingkatkan Kapasitas OPD Lewat Bimtek Arsitektur SPBE
23 Oktober 2025 19:40
Kurang dari 24 Jam, Polisi Berhasil Tangkap Pelaku Curanmor di Bontocani Bone
23 Oktober 2025 17:54
13.224 PPPK Kemenag Dilantik, Termuda Usia 20 Tahunan
23 Oktober 2025 17:47