Kerusuhan Amerika Bukan Krisis Ideologi, Tapi Krisis Kepemimpinan
Amerika Serikat dilanda krisis dua arah. Selain akibat pandemi Covid-19, juga kasus rasis atas terbunuhnya George Floyd. Fadhil Hasan bilang, itu krisis kepemimpinan.
BUKAMATA - Ekonom senior, Fadhil Hasan yang juga co-host Zoominari Narasi Institute, mengapresiasi seminar yang digelar sebagai akibat dari pandemi Covid-19 ini. Ini kata dia sudah Zoominari ke-60. Kalau hitungan host sekaligus Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, berdasarkan video yang diupload sudah 90 video.

Menurut Fadhil, ini adalah acara produktif yang menarik banyak minat peserta.
Fadhil memberi catatan pada diskusi online bertema "Pancasila Dalam Menghadapi Krisis Masa Depan Imbas Covid-19".
Pada kesempatan itu, Fadhil memberi dua catatan pada diskusi itu. Pertama, tentang apa yang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Menurutnya, ini adalah tantangan kapitalisme dan liberalisme di Amerika Serikat sebagai ideologi yang mendominasi dunia pasca perang dunia k-II.
Pada tahun 30-an kata Fadhul, ada great defeation. Salah satu tantangan terhadap kapitalisme. Dan waktu itu lanjut dia, atas kreativitas dan kepemimpinan Presiden AS Roosevelt, berhasil memberikan solusi yang dikenal dengan New Deal.
Kemudian pada tahun 1960-an, tantangan terhadap kapitalisme AS juga ada. Saat itu Presiden Jhonson menawarkan Great Society. Kemudian berhasil mengatasi persoalan saat itu, dan kapitalisme tetap kukuh.
Tahun 80-an, Presiden Ronald Reagen berhasil mengatasi tantangan komunisme dari Uni Soviet. Kapitalisme dan liberalisme kembali menang dalam konflik pertarungan ideologi tersebut.
"Saat ini, saat yang sama, Liberalisme yang diusung Reagen di Amerika dan Margaret Thatcher di Inggris itu, memang sangat ekstrem kanan. Sehingga pada saat yang sama, menimbulkan growing unequality (peningkatan kesenjangan) di masyarakat. Bukan hanya di Amerika. Karena di dunia, market ekonomi itu menjadi acuan hampir semua negara, kemudian disponsori negara multilateral seperti IMF, Bank Dunia," ungkapnya.
Dulu kata Fadhil, ada dikenal Washington Concensus. Itu kata dia, adalah program yang dipelopori dan diajukan di berbagai negara, sehingga negara-negara tersebut maju berdasarkan ideologi market itu.
"Saat ini menjadi pertanyaan, apakah liberalisme dan kapitalisme bisa menghadapi tantangan dari China ini, yang mengembangkan sebuah model ekonomi yang baru, yang sering disebut sebagai State Capitalism. Kapitalisme atas nama negara. Ada peran negara yang mengarahkan kapitalisme itu sangat dominan," terangnya.
Menurut Fadhil, yang terjadi di Amerika bukan hanya krisis kapitalisme itu sendiri. Tapi lebih pada krisis kepemimpinan dari Presiden Donald Trump. Presiden Trump imbuh dia, diakui sangat rasis, sangat tidak kompeten, dan selama ini dalam kepemimpinannya, justru masyarakat menunjukkan rasa frustasi. Ditambah dengan adanya Covid-19 ini.
"Jadi memang ini yang akan sangat menentukan, apakah kapitalisme ini mampu bertahan atau tidak. Kalau misalnya kepemimpinannya itu bukan Donald Trump, itu mungkin kita akan melihat Amerika yang lain atau mungkin kapitalisme ini mampu bertahan. Jadi mungkin pertaruhannya nanti di Nopember 2020 ini. Apakah Trump masih akan memimpin Amerika atau mungkin Joe Biden ini yang akan menang," ungkapnya.
Kalau misalnya Partai Demokrat yang akan menguasai dengan terpilihnya Joe Biden ini, Fadhil sebagai orang yang cukup lama menetap di Amerika Serikat masih percaya, Kapitalisme dan Liberalisme masih akan bertahan.
Itu kata dia, karena kemampuannya beradaptasi dan sisi lainnya adanya kreativitas didasarkan pada kebebasan itu sendiri. Itu modal dasar sistem liberalisme.
Catatan kedua lanjut Fadhil, dalam konteks Indonesia. Fadhil setuju kita sudah mendeklarasikan kedaulatan kita secara budaya, hukum politik. Tapi yang belum itu kata dia, kedaulatan secara ekonomi. Kita sekarang ini kata dia, dihadapkan pada persoalan yang sama dengan di Amerika. Adanya growing unequality itu. Ketimpangan yang sangat jauh. Pancasila kata dia, belum bisa menjawabnya.
"Paling tidak, kebijakan ekonomi belum mampu diejawantahkan berdasarkan Pancasila. Kita pada dasarnya menganut perekonomian yang liberal seperti yang dianut negara di eropa. Ini tantangan kita ke depan," terangnya.
Fadhil melihat, ekonomi pasca Covid-19 ini, akan semakin meningkatkan unequality. Karena dalam proses ekonomi kata dia, produksi serta konsumsi, ke depan akan ada automotisasi, robotisasi, digitalisasi. Itu semua lanjutnya, akan memerlukan kapital atau modal yang besar. Investasi yang hanya bisa diperoleh para pemilik modal yang besar.
"Yang kita khawatirkan, dalam proses tersebut, tenaga kerja tidak dibutuhkan lagi. Bagaimana kita bisa menjadikan manusia tetap relevan, tetap bermanfaat dalam ekonomi itu. Itu menjadi tantangan. Keadilan sosial akan makin sulit diwujudkan apabila ketimpangan ini dalam kepemilikan perusahaan ownership masih meningkat," tegasnya.
Fadhil mengharapkan peran dari MPR, bagaimana mengarahkan merencanakan hal tersebut tidak terjadi. Dalam konteks ini kata dia, peranan pemerintah yang aktif menjadi kunci, tidak menyerahkan semua kepada mekanisme pasar, atau market oriented economy.
"Di sini dibutuhkan peranan negara dalam perencanaan perekonomian, juga dalam konteks perpajakan," pungkasnya.
News Feed
Kominfo Makassar Tingkatkan Kapasitas OPD Lewat Bimtek Arsitektur SPBE
23 Oktober 2025 19:40
Kurang dari 24 Jam, Polisi Berhasil Tangkap Pelaku Curanmor di Bontocani Bone
23 Oktober 2025 17:54
13.224 PPPK Kemenag Dilantik, Termuda Usia 20 Tahunan
23 Oktober 2025 17:47
