BUKAMATA - Di masa pagebluk (baca: wabah penyakit) Covid-19 ini, sebagian warga Indonesia kesulitan membayar cicilan kreditnya. Baik itu kredit di perbankan maupun di lembaga pembiayaan seperti leasing. Alasannya beragam. Ada yang usahanya mandek karena mengikuti imbauan pemerintah cegah penularan Covid-19, seperti stay at home atau akrab dengan sebutan “di rumah saja”.
Ada pula karena perusahaan tempatnya bekerja selama ini mengeluarkan kebijakan "pahit". Yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) ataukah dirumahkan.
Di pemberitaan media massa seperti koran, televisi, radio dan media siber, ramai diinformasikan, sejumlah perusahaan menutup sementara usahanya dan terancam gulung tikar. Bahkan ada perusahaan retail besar yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) puluhan karyawannya.
Dilansir detik.com (17/4/2020), pandemi virus Covid-19 ini menyebabkan jutaan pekerja perusahaan di PHK. Jika ditotal telah mencapai 1.943.916 atau mendekati angka dua juta orang. Itu dihitung dari 114.340 perusahaan.
Rinciannya, seperti diungkap data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), adalah pekerja sektor formal. Kini yang telah dirumahkan dan di PHK sebanyak 1.500.156 orang dari 83.546 perusahaan.
Selain sektor formal, sektor informal juga ikut terdampak virus Corona. Jumlahnya mencapai 443.760 orang dari 30.794 perusahaan.
Kondisi lebih parah juga dialami warga yang berprofesi sebagai pemulung, buruh harian, buruh bangunan, tukang ojek, tukang becak, pedagang kecil, dan beragam profesi lainnya.
Semua itu terjadi lantaran ada pembatasan sosial seperti penerapan Social Distancing, Phisycal Distancing, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi tersebut telah menurunkan aktivitas warga, utama di bidang ekonomi. Imbasnya, penghasilan harian pekerja dan pelaku wirausaha anjlok.
Ibu Yati, salah seorang perempuan paruh baya berprofesi sebagai pemulung plastik dan kardus bercerita mengenai dampak masa Pagebluk Covid-19. Saat itu, penulis sempat berbincang di Jalan Bau Massepe, Parepare, Sulsel. Ia mengaku selama wabah Corona, penjualan plastiknya hanya Rp15 ribu per hari. Padahal di hari-hari biasa sebelum covid-19, diperoleh di atas itu.
"Kardus untuk sementara tidak laku. Jadi disimpan saja dulu. Saya sangat bersyukur karena dikasi nasi bungkus oleh Bapak Brimob. Ini nasi saya simpan buat cucu di rumah," kata Yati sambil menarik gerobaknya. Saat itu, Yati dan sejumlah tukang becak mendapat nasi bungkus dari personel Brimob Parepare.
Bukan profesi yang telah disebutkan di atas saja yang kewalahan mencari penghasilan untuk membayar kredit. Tetapi, penulis juga memperoleh informasi kesulitan serupa juga dialami profesi pegawai. Seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Non-ASN. Padahal selama ini mendapatkan gaji dan honor tetap. Mereka juga merasakan dampak Covid-19. Sebab bisa jadi, selama ini ada ASN atau Non ASN yang mengambil kredit rumah atau kendaraan melampaui dari penghasilan tetapnya sebagai ASN dan Non-ASN.
Jika mereka nyambi berbisnis atau punya usaha lain. Kemungkinan juga akan terganggu perputaran ekonomi dan bisnisnya akibat pandemi corona ini.
Di sejumlah media siber diberitakan, sejumlah artis papan atas juga mengalami kesulitan membayar kredit di masa wabah Covid-19 ini. Sebab orderan atau job manggungnya berkurang. Praktis penghasilannya ikut merosot.
Sebut saja artis dangdut, Iis Dahlia. Ia secara terang-terangan mengaku pusing, karena kehilangan penghasilan akibat orderan manggung berkurang. Padahal ia mengaku baru saja membeli rumah miliaran rupiah dengan cicilan kredit mencapai Rp120 jutaan per bulan. (makassar.terkini.id)
Di Kabupaten Sidrap, beberapa waktu lalu beredar di media sosial video sejumlah warga yang baru pulang dari umrah, sedang dikarantina di rumah susun Sidrap. Penyebabnya, terkait dengan penanganan dan pemeriksaan Covid-19. Saat itu, seorang ibu-ibu memelas dan hendak menangis di depan Bupati Sidrap, Dollah Mando. Dalam rekaman tersebut, sang ibu mengaku tak tahan diisolasi. Bukan karena penanganan covid-19, tetapi sang ibu tersebut menyebut pusing memikirkan cicilan kreditnya. Ia malah menyebut, rombongan umrah tersebut sebagian besar punya utang kredit. Karena itu, ia berharap diizinkan pulang untuk kembali berjualan di pasar.
Jika sebagian warga dari segala profesi di atas mengambil kredit di perbankan, finance (lembaga pembiayaan, red), koperasi, pegadaian, atau apa saja sebutannya, maka dalam satu hingga dua bulan ke depan kemungkinan masih bisa membayar cicilan kreditnya. Namun jika dalam tiga atau empat bulan ke depan, masa pagebluk Corona ini terus terjadi, maka dikhawatirkan mereka akan kesulitan membayar cicilan.
Presiden RI, Joko Widodo sudah mengumumkan adanya keringanan kredit bagi warga yang perekonomiannya terdampak Pandemi Covid-19. Hal tersebut diungkapkan di Istana Kepresidenan, Selasa (24/3/2020) lalu. Saat itu presiden menegaskan, kebijakan keringanan kredit tersebut juga menyasar para pekerja informal. (Dikutip dari tirto.id, 2/4/2020).
Kabar dari presiden tersebut, tentu membawa angin segar bagi warga yang memiliki utang kredit. Salah satunya, yang menggantungkan nasibnya di jalanan seperti pengemudi ojek online (Ojol). Soalnya, sejak pemerintah mengimbau warga bekerja dari rumah atau work from home (WFH) dan menjauhi keramaian, maka pendapatan harian mereka jeblok.
Nah, bagaimana realisasi kebijakan soal keringanan kredit itu di lapangan?
Seorang pengemudi Ojol di Kawasan Jakarta, Adi Sumanta mengaku kesulitan mengakses keringanan kredit seperti yang dijanjikan pemerintah. Kendala ini, kata Adi, juga dialami rekannya yang tergabung dalam kelompok grab melipir3 (GM3).
Dia berkisah tentang prosedur pengajuan keringanan kredit yang tidak jelas dan berbeda-beda di tiap bank atau perusahaan pembiayaan. Padahal, Adi berharap prosesnya bisa dilakukan dengan gampang.
Kepada tirto.id, Adi bersama teman-temannya mengaku sudah menyiapkan surat pengajuan dan ditembuskan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Surat tersebut akan dikirim melalui e-mail. Namun, mereka tak kunjung mendapatkan kepastian, padahal mereka sudah menghubungi petugas OJK melalui telepon selular.
Adi mengatakan, petugas di perusahaan leasing atau pembiayaan menyuruhnya kirim surat lagi ke OJK. Namun setelah dikirim ke OJK, justru seolah “dipingpong” lagi oleh OJK. Mereka menyebutkan, hal tersebut adalah kewenangan leasing. Kisah Adi juga senada dengan warga lainnya. (Baca tirto.id dengan judul; Repotnya Meminta Keringanan Kredit yang Dijanjikan Jokowi)
Selama kurun waktu sebulan lebih di rumah saja, penulis setidaknya mendapat telepon dari sejumlah kerabat dan keluarga. Mereka umumnya meminta pendapat dan solusi mendapatkan keringanan dari perbankan dan lembaga pembiayaan. Bahkan keluarga dan kerabat tersebut meminta agar penulis menelepon dan mengkomunikasikan dengan pihak leasing, agar diberi keringanan. Seluruh permintaan tersebut penulis tolak secara halus. (Umumnya, kerabat dan keluarga tersebut mengenal penulis berprofesi sebagai wartawan yang dianggapnya bisa melobi pihak leasing hehe...)
Soalnya, beragam kredit yang mereka mesti lunasi. Sedangkan usaha mereka macet akibat dampak Covid-19. Cicilan kredit yang hendak mereka bayar bervariasi antara Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan. Seperti cicilan mobil angkutan umum, cicilan mobil usaha rental, dan cicilan mobil untuk usaha dagangan.
Bahkan ada di antara mereka yang meminta pinjaman dana ke penulis, untuk bayar cicilan mobil barunya. Kerabat yang sudah punya dua mobil tersebut kesulitan membayar cicilan pada mobil kedua yang baru saja dioperasikan. (Bisa jadi, mereka menganggap penulis kelebihan dana di masa pandemi Covid-19 ini hehe...)
Padahal kerabat tersebut mengetahui jika sehari-hari penulis hanya ‘menunggangi’ motor Vespa klasik tipe Exclusive Tahun 1989. Kini usianya sudah 31 tahun. Itu pun motor hibah dari orang tua hehe... Sesekali penulis juga mengemudikan mobil Kijang LGX 2002 milik mertua yang kini hendak dijual. Kerabat tersebut akhirnya paham dan mencari pinjaman ke tempat lain.
Dari sejumlah kerabat dan keluarga yang berkonsultasi soal cara bayar kredit di masa pandemi Covid-19, penulis hanya menyarankan untuk memberitahu petugas pembiayaan mengenai pesan Presiden RI, Joko Widodo.
Hanya saja, kerabat dan keluarga tersebut umumnya mengaku sudah menyampaikan hal tersebut, namun tetap saja mendapat ancaman dari tim penagih untuk menyita kendaraannya. Utamanya jika tak membayar cicilan selama beberapa bulan ke depan.
Penulis tak bisa memberi solusi jika kondisinya demikian. Sebab, perbankan dan finance punya aturan masing-masing. Penulis hanya meminta keluarga dan kerabat tersebut mengingat kembali perjanjian yang pernah ditandatanganinya.
Dalam buku Hukum Perikatan karya Wawan Muhwan Hariri (Pustaka Setia Bandung; Hal. 183-184) menyebutkan, unsur dari kredit adalah adanya dua pihak, kesepakatan pinjam-meminjam. Lihat pasal 1754 KUHPerdata tentang perjanjian pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu tertentu dengan objek benda.
Dasar dari perjanjian kredit adalah Undang-Undang Perbankan No.10 tahun 1998 tentang Perjanjian Kredit diatur dalam Pasal 1 ayat (11), yang menyebutkan: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang bisa dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan dan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank (kreditur) dengan pihak lain (debitur) yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Nah, dari uraian di atas, dapat dibedakan dua kelompok perjanjian kredit, yaitu:
1. Perjanjian kredit uang (contoh: perjanjian kartu kredit); dan
2. Perjanjian kredit barang (contoh: perjanjian sewa beli, perjanjan sewa guna usaha).
Menurut Mariam D.Badrulzaman, perjanjian kredit juga dapat dibedakan dalam jenis lain, misalnya kredit komersial dan kredit konsumtif. Akan tetapi, kedua jenis kredit ini tidak bisa dibedakan secara tajam.
Pengacara senior asal Makassar, Anwar Ilyas saat jadi pemateri seminar di IAIN Parepare beberapa waktu lalu mengatakan, umumnya perjanjian kredit tersebut bervariasi antara dua hingga empat lembar. Tulisannya pun kecil-kecil. Sebagian besar, kata Anwar, para pengambil kredit juga tak membaca baik-baik perjanjian tersebut. Mereka langsung saja menandatanganinya. Sebab mereka riang gembira mendapatkan kucuran utang kredit. Padahal bisa jadi, perjanjian itu ada klausal yang nantinya bisa merugikan konsumen.
Karena itu, ke depan, penulis sarankan untuk membaca baik-baik setiap perjanjian sebelum diteken. Perjanjian apa pun itu.
Di berbagai kesempatan, penulis juga membagikan doa yang pernah dia dengar dari ceramah rekaman suara almarhum KH Buya Hamka. Ceramah tersebut terkait doa agar mudah melunasi utang.
Buya Hamka membacakan doa Rasulullah Muhammad saw. Setidaknya ada 8 permintaan dalam doa tersebut.
Allahumma Inni a’udzu bika minal hammi wal hazan, wa a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasal, wa a’udzu bika minal jubni wal bukhl, wa a’udzu bika minal ghalabatid dain wa gahrir rijal.
Bunyi terjemahan bebasnya seperti ini; Ya Allah, lindungilah aku dari kesusahan dan duka cita, lindungilah aku dari sifat lemah dan malas, lindungilah aku dari sifat bakhil dan pengecut dan lindungilah aku dari pengaruh berutang dan kekuasaan orang lain terhadap diriku.
Dikisahkan Buya Hamka, doa tersebut diajarkan Rasulullah kepada seorang pemuda yang murung di sudut masjid akibat terlilit utang. Usai mendapatkan doa tersebut, pemuda tadi kembali beraktivitas dan akhirnya dari penghasilannya bisa melunasi utangnya.
Kepada kerabat dan keluarga yang tadi meminta pendapat soal solusi bayar utang kredit di masa pandemi corona, sebagian penulis sampaikan.
Selain mereka curhat, penulis justru menceritakan pengalaman "pelik" penulis berurusan dengan petugas salah satu a-bank (sebutan penulis terhadap lembaga keuangan tersebut dengan menambahkan huruf a di awal kata, red) BUMN.
Saat itu, penulis berjuang melunasi kredit rumah non subsidi sekira setahun lalu pada a-bank pelat merah tersebut. Saat membeli rumah tersebut, harga kontan-nya berkisar Rp130 juta per unit. Jangka waktu kredit rumah tersebut masih berjalan sekira enam tahun dari total masa kredit 15 tahun. Awal membayar kredit hanya Rp1,4 juta per bulan, namun semakin tahun semakin meningkat menjadi Rp1,7 juta per bulan. Jika rata-rata pembayaran penulis Rp1,5 juta saja, maka dalam setahun Rp1,5 juta x 12 bulan = Rp18 juta. Nah, Rp18 juta x 15 tahun = Rp270 juta. Artinya jika dikredit hingga lunas, maka harga satu unit rumah tersebut Rp270 Juta. Padahal harga kontannya hanya berkisar Rp130 Juta. Berarti selisihnya Rp140 juta jika dikredit hingga lunas.
Selain itu, bunganya tidak fix karena mengikuti suku bunga a-bank. Penulis juga senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar terhindar dari utang, utamanya jeratan utang bersifat ribawi. Syukur Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian, doa tersebut diijabah oleh Allah SWT dengan mengirimkan ‘malaikat’ berwujud manusia.
Yakni seorang sahabat yang tergugah hatinya meminjamkan uangnya sekira Rp80 juta tanpa agunan, bunga, denda dan jangka waktu pembayaran. Awalnya hanya Rp50 juta, tapi karena belum cukup untuk melunasinya, maka penulis diminta bersabar hingga sebulan kemudian. Barulah dana Rp80 juta tersebut terkumpul dan langsung ditransfer ke rekening penulis. Tentu pinjaman tersebut dicatat dan ada saksi. Tujuannya agar penulis segera melunasi utang di salah satu a-bank BUMN tersebut.
Saat berusaha melunasinya, ternyata bukan perkara mudah berurusan pihak a-bank. Saat pertama mengajukan kredit, penulis mengingat kebaikan pelayanan di a-bank konvensional tersebut. Petugasnya pun sangat ramah.
Namun saat penulis hendak melunasi, ternyata berbelit-belit. Wajah petugasnya pun tidak se-ceria dan kurang komunikatif. Salah satunya, uang yang kami bawa dari a-bank lain ke a-bank yang hendak ditempati melunasi, kasirnya sempat menolak. Alasannya uang pecahan dua puluh ribu yang kami bawa sulit dihitung pakai mesin. Padahal uang tersebut baru saja penulis bersama istri mengeluarkannya dari salah satu a-bank BUMN juga. Karena penulis anggap ada upaya mempersulit, penulis pun menelepon kepala cabangnya. Akhirnya baru bisa diterima.
Tak sampai di situ, perbankan konvensional tersebut juga memasang denda penalti. Sebab penulis melunasi utang sebelum masa waktunya. Untuk memperoleh sertifikat tanah usai pelunasan pun harus diambil di kantor wilayah di Makassar, ibu kota Provinsi Sulsel. Padahal, saat itu penandatangan perjanjian kreditnya dilakukan di Kota Parepare.
Petugas kredit yang melayani penulis saat itu tak memberi keringanan sedikit pun. Tampang wajahnya pun kurang bersahabat. Padahal, penulis setiap bulan selama delapan tahun membayar kredit selalu tepat waktu. Tanpa pernah didenda.
Penulis juga sempat menceritakan jika beberapa tahun lalu, penulis pernah mempromosikan anak perusahaan a-bank tersebut saat punya kantor cabang di Kota Parepare. Saat itu, perusahaan media yang penulis kelola bekerjasama dengan salah satu organisasi pengembang perumahan menggelar jalan santai. Pesertanya ribuan orang dengan hadiah satu unit rumah. Biaya publikasi selama berhari-hari di media yang kami kelola itu kami gratiskan untuk mensupport pihak a-bank.
Namun hal itu tak dihiraukan. Petugas kreditnya tak bergeming untuk memberikan keringanan. Menurut petugas kredit tersebut, konsumen harus bayar denda penalti dengan dalih untuk membayar gaji karyawan. Dengan lapang dana, penulis akhirnya melunasinya dan sepekan kemudian mengambil sertifikat tanah di kantor wilayah di Makassar. Usai melunasi utang di a-bank tersebut, penulis berdoa kepada Allah SWT semoga tidak terjerumus dan tergiur lagi mengajukan kredit utang di bank konvensional.
Saat ini, penulis berupaya bekerja dan mengumpulkan upah kerja sebagai pengajar, jurnalis dan pedagang susu kambing Super Goat. Uang tersebut dikumpul sedikit demi sedikit untuk membayar utang tanpa bunga dan denda untuk membayar sisa pinjaman seorang sahabat yang telah berbaik hati tersebut.
Nah, kepada keluarga, kerabat dan sahabat yang bingung dikejar dan ditagih debt collector di masa Pagebluk Covid-19 ini, bisa jadi tulisan ini menjadi solusi dan bahan referensi melunasi kredit.
Penulis akan menceritakan juga kisah sahabat penulis yang menjadi pengusaha dan kini terbebas dari utang. Tidak tanggung-tanggung utangnya bisa dilunasi di bank senilai Rp9 miliar hanya dalam setahun. Bagaimana kisahnya, berikut ulasannya.
Cara Mudah Bayar Utang
Anda kesulitan melunasi utang? Bisa jadi, Anda harus belajar dan berguru pada seorang pengusaha asal Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Namanya Rasdha Tadjuddin (42). Rasdha sejak tahun 1998 berwirausaha di Yogyakarta sebelum menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Anak ke 3 dari 9 bersaudara ini ayahnya berasal dari Sidrap dan Ibunya berasal dari Kalosi, Enrekang.
Awalnya, Rasdha membuka usaha warung internet (warnet) dengan menyewa satu tempat dan membeli lima unit komputer bekas di Yogyakarta.
Usaha ini kemudian berkembang hingga suatu ketika tergiur dengan tawaran dari salah satu bank. “Bantuan modal dari bank awalnya Rp30 juta. Saya kemudian membeli sejumlah peralatan untuk mengembangkan usaha warnet tersebut,” kata Rasdha, owner Merapi Online Corp Yogyakarta ini.
Karena tabiat utang memang selalu membuat kecanduan, lanjut Rasdha, usaha tersebut kemudian berkembang hingga utang di bank mencapai Rp9 miliar.
“Jumlah titik bank dari 1 menjadi 4 titik. Saya kira lebih sakit jika jatuh cinta, ternyata lebih sakit dan pusing jika jatuh tempo kredit,” ujar Rasdha saat menjadi pembicara pada Seminar Cara Mudah Lunasi Utang yang digelar Komunitas Masyarakat Tanpa Riba (MTR) Parepare di Hotel Parewisata, Sabtu 12 Januari 2019 lalu.
Di hadapan 150 peserta Temu Pengusaha dan Warga Masyarakat Tanpa Riba (TP-WMTR) Parepare, Rasdha menceritakan kisah perjuangannya melunasi utang Rp9 miliar dalam tempo 1 tahun pada Desember 2017 lalu.
“Saat utang Rp9 milar, setiap bulan saya harus membayar cicilan Rp90 juta per bulan. Meski usaha kami masih berkembang, namun tak ada ketenangan jiwa dan keharmonisan rumah tangga," ujar Rasdha.
Karena melihat usaha terus berkembang, lanjut Rasdha, pihak bank kemudian hendak merealisasikan pinjaman dari Rp9 miliar menjadi Rp12 miliar. "Namun saya tidak jadi teken kontrak pinjaman, karena Allah SWT mempertemukan saya dengan komunitas pengusaha tanpa utang dalam mengembangkan bisnis. Akhirnya saya belajar dan terus belajar, kemudian menjual sejumlah aset lalu membayar utang di bank senilai Rp9 miliar,” ungkap Rasdha.
Ia mengaku, sangat takut azab Allah SWT seperti yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur'an surah Al Baqarah ayat 278-279 yang artinya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 278-279).
Rasdha mengaku tobat dan berazam untuk tidak lagi berhubungan dengan utang. Sebab selama 20 tahun berwirausaha, ia bergelut dengan riba. “Jadi solusinya saya bersama istri sepakat mengiklankan sejumlah aset untuk dijual guna melunasi utang tersebut. Di samping itu, melobi pihak perbankan untuk memberikan keringanan. Syukur Alhamdulillah, Desember 2017 saya berhasil melunasi utang tersebut,” tandas Rasdha yang mengaku suka menu Ikan Bakar usai makan siang di salah satu warung makan di Kota Parepare.
Rasdha mengingatkan kepada peserta untuk menghentikan tabiat dan kebiasaan buruk berutang. Setidaknya, dari 20 tabiat berutang, Rasdha mengungkap 8 poin tabiat buruk berutang di dunia ini.
Pertama, kata Rasdha, utang itu membuat kecanduan. Tengok saja, sejumlah pengusaha dan pegawai yang gemar berutang. Awalnya, mungkin pinjamannya hanya kecil, namun lama-kelamaan akan menjadi besar. “Awalnya mau cicil rumah, namun belum lunas rumahnya, mau lagi beli motor dan mobil dengan cara cicil yang bisa jadi di dalamnya ada unsur riba,” pungkas Rasdha.
Kedua, lanjut Rasdha, jika gemar berutang, maka utangnya selalu bertambah. “Seperti yang saya alami, awalnya utang hanya Rp30 juta namun terus bertambah hingga Rp9 miliar,” kata Rasdah sambil tertawa.
Ketiga yakni menambah beban hidup. “Dan keempat, orang yang masih punya utang sering sakit-sakitan. Tabiat buruk kelima yakni hilangnya kemesraan dalam rumah tangga, keenam gelisah di malam hari dan ketujuh terhina di siang hari, karena sering dikejar-kejar debt collector atau ditelepon sama pihak bank,” tutur Rasda.
Kedelapan tabiat buruk dan bahaya orang suka berutang, sambung Rasdah yakni bisa bunuh diri. “Ada beberapa kejadian yang pernah dimuat media, seseorang bunuh diri karena terlilit utang,” ujar Rasdha.
Nah, apa solusinya jika kita bisa mudah melunasi utang? Menurut Rasdha, sebagai muslim, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan agar Allah swt memudahkan kita melunasi utang. Tiga hal tersebut yakni fokus memperbaiki diri seperti memperbaiki salat lima waktu. Jika laki-laki, upayakan salat berjemaah di masjid di awal waktu (catatan penulis; di masa pandemik, cukup beribadah dan berjamaah di rumah sesuai anjuran MUI untuk mencegah penularan Covid-19), rajin infaq dan sadaqah, dan memperbaiki hubungan silaturahim kepada sesama manusia.
Fokus kedua, lanjut Rasdha, memperbaiki tim kerja.
“Jadi selain pimpinannya memperbaiki diri seperti mengamalkan ajaran Allah SWT dan menjauhi larangannya, juga mengajak kepada seluruh tim kerjanya untuk melakukan hal serupa. Nah, ini saya lakukan kepada hampir 300 karyawan di beberapa bidang usaha seperti kafe, hotspot center, perumahan, depot isi ulang air minum dan sejumlah usaha lainnya,” ungkap Rasdha yang kini menjadi tim pemasaran tingkat nasional susu kambing plus gula aren SuperGoat.
Fokus ketiga, tutur Rasdha yakni berupaya memperbaiki ketidakberesan pada umat, utamanya mengajak dan memberi solusi agar umat tidak lagi gemar berutang.
"Setelah saya ikut berdakwah dan berbagi pengalaman cara mudah bebas utang, saya semakin dimudahkan dalam bidang usaha. Hati dan jiwa pun kian tenang,” ujar owner perumahan Ngaliyan Residence, Semarang, Jawa Tengah ini.
Selama menjadi pegiat Masyarakat Tanpa Riba (MTR), Rasdha juga kini lebih bisa memilah-milah yang mana kebutuhan dan keinginan. “Ini penting, agar hidup bisa lebih tentram. Karena itu, diharapkan membeli sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Kuncinya beli sesuatu harus cas dan lunas, meski harus terlebih dulu menabung,” tandas Rasdha.
Selain kisah Rasdha Tajuddin, penulis juga menuliskan kisah Fahri Firman yang kini jadi ASN di Dinas Kominfo Parepare. Ia juga kini terbebas dari utang ribawi.
Yuk simak kisah Fahri Firman
"Syukur Alhamdulillah. Persis seperti janji Allah, barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan digantikan dengan yang lebih baik." Itulah penggalan komentar tulisan whatsapp, Fahri Firman (34) yang dulu menjadi penjual minuman franchise Nyoklat Super di Jalan Veteran, depan Kantor BNI Parepare, beberapa waktu lalu.
Komentar tersebut ditulis saat mengomentari screenshot tanda kelulusannya jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN.
Fahri, sarjana Ilmu Komunikasi Unhas ini lulus menjadi PNS tahun 2018 di Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Parepare. Ayah dua anak ini, lulus pada jabatan Pranata Hubungan Masyarakat Ahli Pertama.
Suami Adriani yang pernah bertahun-tahun jadi marketing penjualan mobil di Hadji Kalla, Soreang, Parepare ini, awalnya sudah tak berkeinginan mendaftar CPNS. “Cita-cita itu sebenarnya sudah pupus sejak kerja di Hadji Kalla. Namun setelah resign, saya beralih menjadi penjual telur ayam ras secara offline dan online,” kata pria berkacamata yang kini melanjutkan pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di IAIN Parepare ini.
Saat ada pendaftaran CPNS 2017 lalu, Fahri kembali mencoba peruntungan dengan melakukan pendaftaran. “Namun Allah belum berkehendak. Saya tidak lulus. Yah, saya kembali lagi berbisnis telur online,” ujar Fahri kepada PIJARNEWS, Sabtu, 5 Januari 2018 lalu.
Kurang lebih setahun jualan telur, putra tunggal pasangan Drs H Firman dan Dra Hj Amriati—keduanya juga guru PNS, rasanya belum seimbang antara pengeluaran dengan kebutuhan sehari-hari.
“Jadi saya kemudian mencoba peruntungan lain. Maka muncullah ide bisnis minuman franchise. Pilihannya Nyoklat Super. Tapi sebelum jual nyoklat, saya sempat kerja di bagian marketing di IndiHome,” ungkap Alumni SMA Negeri 1 Parepare ini.
Sambil berbisnis jual nyoklat super, Fahri kemudian didorong keluarga dan kerabatnya kembali mendaftar CPNS tahun 2018.
“Kurang lebih setengah tahun jualan Nyoklat, terbuka pendaftaran CPNS Oktober 2018. Saya dorong istri untuk mendaftar. Karena saya pikir, umur saya sudah menjelang akhir masa pendaftaran CPNS. Namun karena dorongan keluarga dan kerabat, akhirnya saya juga ikut mendaftar,” kata pengusaha yang tergabung dalam komunitas Masyarakat Tanpa Riba (MTR) Parepare ini.
Apakah saat mendaftar CPNS tahun 2018 lalu Fahri optimis bisa lulus? Fahri justru berharap istrinya yang lulus jadi PNS dan ia tetap berwirausaha.
“Saya mendaftar sama istri. Justru saya berharap istri yang lulus CPNS. Karena peluangnya lebih besar yakni 1 banding 20 pelamar. Sedangkan di formasi saya, 1 banding 50. Tapi ternyata Allah maha berkehendak. Saya yang dikasi lulus,” ungkap warga BTN Beringin, Kecamatan Bacukiki, Parepare ini.
Meski sudah jadi PNS, Fahri masih rencana berwirausaha. “Insya Allah setelah lulus jadi PNS akan tetap berwirausaha. Karena Rasulullah saw bersabda, orang yang berdagang akan dijamin rezekinya oleh Allah swt. Dari 10 pintu rezeki, 9 itu dari berdagang. Ada berkah tersendiri jika kita berdagang,” ujar Fahri yang mengaku lebih leluasa beribadah kepada Allah SWT setelah berwirausaha.
Di antaranya menjalankan ibadah salat 5 waktu secara berjemaah di masjid, mengeluarkan infaq dan sedekah.
Kepada penulis, Fahri juga mengungkap lika-liku perjuangannya, saat merintis usaha dengan modal tanpa kredit. Sebab khawatir terjerat unsur riba. “Hasil tabungan dari bekerja selama ini saya kumpul. Kemudian saya buat usaha kecil-kecilan. Beberapa waktu lalu saat hendak menambah modal, tiba-tiba ada keluarga meminjamkan uang tunai puluhan juta tanpa bunga. Saya yakin ini semua atas kebaikan Allah Subhana Wataala,” pungkas Fahri.
Beberapa jam usai melihat pengumuman kelulusan PNS, Fahri Firman kemudian membuat status di Facebooknya. Ia menulis, “Bagi teman-teman yang masih takut untuk HIJRAH. Bagi siapa saja yg masih tidak yakin akan janji Allah. Maka cukuplah ini bisa kalian ambil sebagai pelajaran. Bahwa sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah swt, maka Allah akan gantikan sesuatu itu dengan yang lebih baik,” tulis Fahri di akun Facebook-nya.
Status tersebut mendapat 319 like, 138 komentar, dan 8 kali dibagikan. Umumnya, komentar keluarga dan kerabatnya bernada positif dan mengucapkan selamat atas kelulusan Fahri jadi PNS.
Hijrah yang dimaksud Fahri dalam status facebooknya yakni selama ini banyak bergelut dan bekerja berkaitan dengan kredit. Membeli dan menjual kendaraan mobil dan motor serta kebutuhan elektronik seperti televisi dan handphone umumnya menggunakan proses kredit berbunga.
Namun kini, Fahri akan berupaya hijrah dan meninggalkan cara tersebut. Fahri mengaku akan berupaya membeli kebutuhan dengan cara kontan, meski terlebih dulu harus menabung.
“Saat saya bergelut dengan aktivitas kredit, perasaan selalu tidak tenang. Saya dan anggota keluarga bahkan kerap mendapat musibah seperi kecelakaan lalulintas. Anak saya juga sering sakit-sakitan. Karena itu saya tobat berurusan kredit ribawi," tutup Fahri.
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, penulis menukil kutipan testimoni Vitra Aeny, KSW#06 dari buku bersampul merah yang diterbitkan MTR. Judul bukunya, kesalahan-kesalahan fatal pengusaha mengembangkan bisinis dengan utang. Vitra Aeny mengatakan,"Saya memutuskan berhenti berutang dan melunasi utang yang ada. Karena dengan berutang, hidup selalu tidak nyaman. Bekerja pontang-panting hanya untuk membayar utang. Setiap bulan ada hasil hanya untuk membayar utang."
Di buku yang sama ada pula testimoni mantan pegawai bank. Namanya Riwan, MTR#07. Testimoninya, Kami Kapok Ngutang!. "Saya mantan banker yang doyan ngutang kartu kredit. Saya tahu rasanya nagih-nagih orang dan ditagih-tagih bank. Tidur gak nyeyak, bangun tidur gak tenang mikir tagihan, lagi enak-enak ngobrol dengan teman atau saudara ada telepon tagihan dan lain-lain. Pusing mikirin utang.."
Nah, dari beberapa contoh dan kisah di atas, semoga kita semuanya diberi kemudahan melunasi utang. Terutama di masa pagebluk Covid-19. Bagi yang sudah lunas utangnya, semoga berkomitmen untuk tidak lagi berutang. Begitu juga piutangnya segera terbayarkan.(*)
Editor : Redaksi