BUKAMATA - Ma’asyiral hadirin, jamaah Jumat hafidhakumullah, Pada kesempatan yang mulia ini, di tempat yang mulia ini, kami berwasiat kepada pribadi kami sendiri dan juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan selalu berusaha melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Semoga usaha takwa kita bisa menjadikan sebab kita kelak pada waktu dipanggil Allah subhanahu wa ta’ala, kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatimah, amin ya Rabbal ‘alamin.
Jamaah rahimakumullah.
Allah swt berfirman dalam surah alisra ayat 1:
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-Isra’: 1).
Pada kisah isra’ mi’raj ini Allah berfirman menggunakan kata subhana sebagaimana yang tertera pada ayat pertama surat al-Isra’ , Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, kalimat subhâna di sini menunjukkan betapa agungnya Allah ta’ala. Hanya Allah saja yang mampu menjalankan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Palestina dan Palestina sampai langit ke-7 hanya dalam waktu tidak sampai satu malam. Bahkan dalam satu riwayat mengisahkan, setelah Nabi Muhammad melakukan isra’ mi’raj, tempat tidurnya masih hangat dan tempayan bekas Nabi melakukan wudhu tadi belum sampai kering. Ini adalah keajaiban yang luar biasa. Hanya Allah yang bisa melakukan yang mana bumi dan seisinya di bawah kendali-Nya. Keajaiban yang mencengangkan tersebut sangat sesuai jika memakai kata subhana. Tentang subhana, Ibnu Katsir mengatakan:
“Allah ta’ala mengagungkan Dzat-Nya sendiri, mengagungkan keadaan-Nya, karena kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mampu dilakukan siapa pun selain Dia. Tiada Tuhan selain Dia.” (Abul Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Dar Thayyibah: 1999], juz 5, hlm. 5). Ats-
Tsa’labi menyatakan bahwa kalimat subhana berarti kalimat ta’ajjub
Artinya: “Subhana di ayat ini mempunyai arti sebuah keajaiban yang menakjubkan.” (Tafsir Ats-Tsa’labi, juz 6, hlm. 54).
Banyak juga ulama yang menjelaskan, subhana pada ayat ini mempunyai makna penyucian dari segala kekurangan. Apabila dalam menjajaki kemampuan Allah dalam memperjalankan Nabi Muhammad pada malam hari dengan acuan akal yang terbatas sehingga Allah dianggap tidak mampu, maka Allah disucikan dari anggapan yang seperti demikian ini.
Hadirin hafidhakumullah, Di sini Allah juga tidak menyebut Nabi Muhammad dengan menyebut namanya, tapi malah menyifati Nabi Muhammad yang diperjalankan di waktu malam memakai istilah abduhu “hamba-Nya”. Kenapa Allah lebih memilih memberi label Nabi Muhammad hanya dengan predikat “hamba” padahal ini merupakan kejadian yang fenomenal? Sebagian mufassir seperti Imam Al-Qusyairi mengatakan, hanya “hamba” yang memahami posisinya sebagai hamba yang bisa memahami kebesaran Tuhannya. Sehingga apabila Tuhan melakukan apa pun, walaupun tidak masuk akal di otak hambanya, ia bisa memahami bahwa bagi Tuhan yang posisinya tidak sama dengan hamba, mampu melakukan hal yang seolah mustahil di mata hambanya tersebut. Sebagian ulama lain lagi mengungkapkan, hal ini untuk mengagungkan Allah semata dan sebagai bentuk tawadhu’ Nabi Muhammad.
Hadirin hafidhakumullah, Perjalanan Nabi pada isra’ mi’raj bukan atas inisiatif dan kemauan beliau, tapi murni atas kehendak Allah “yang menjalankannya”. Oleh karena itu, masuk akal atau tidak, bagi seorang hamba harus mengedepankan posisinya sebagai hamba dan mengagungkan ketuhanan Allah yang mampu melakukan apa saja dan hamba tersebut menomorduakan akalnya yang serba terbatas. Kalau kita menengok sejarah, memang orang Arab waktu itu tidak semuanya dengan mudah memahami isra’ mi’raj Nabi Muhammad dengan landasan logika saja. Mungkin, apabila dilogikakan hari ini, di saat dunia sudah banyak kecanggihan teknologi, kita akan bisa mendekatkan pikiran ke arah sana. Dahulu, saat isra’ mi’raj ini berlangsung, masyarakat terlampau jauh untuk menganalogikannya. Bagaimana jarak antara Makkah sampai Palestina yang panjangnya sekitar 1.500 km itu hanya ditempuh dalam waktu sangat singkat?
Hadirin hafidhakumullah
Beberapa Hikmah/ pelajaran yang bisa diambil di balik peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya Nabi Muhammad Saw
Pertama: Perjalanan malam Nabi Muhammad yang fenomenal itu menghasilkan sebuah perintah shalat lima waktu dengan kisah yang cukup panjang. Yang perlu kita garisbawahi di sini, shalat adalah sebuah perintah yang melalui momen sakral, fenomenal. Dalam kejadian fenomenal tersebut, Allah mewajibkan kita semua untuk menjalankan shalat lima waktu. Dengan demikian, shalat lima waktu bukanlah hal yang sepele. Tapi sebuah pekerjaan yang ditugaskan oleh Allah swt melalui perjalanan fenomenal untuk menerima tugas tersebut. Pada hari ini, saat kita menjalankan shalat, kita sedang menjalankan perintah Tuhan yang sangat besar nilainya,sehingga shalat bukanlah hal yang bisa kita kesampingkan.
Hadirin hafidhakumullah
Disebutkan dalam riwayat bahwa tadinya Allah mewajibkan shalat lima puluh kali dalam sehari semalam, tapi Rasul saw. berbolak-balik memohon keringanan sehingga pada akhirnya tinggal lima kali. Ini antara lain bertujuan agar tidak ada lagi dalih bagi siapa pun yang masih menilainya sebagai kewajiban untuk menganggapnya berat. Bukankah jika seseorang ditugasi suatu kewajiban lalu dikurangi dan dikurangi sehingga yang diwajibkan hanya sepersepuluh dari kewajiban semula, ia seharusnya tidak lagi meminta untuk dikurangi, lebih-lebih mengabaikan kewajiban itu?
Hadirin hafidhakumullah
Begitu agungnya shalat, dalam beberapa ayat Al-Qur’an shalat sering disebutkan secara beriringan dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Di antaranya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala yang diberikan Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al-Baqarah: 277)
Apabila kita perhatikan juga, betapa banyak disebutkan dalam al-Qur’an secara beriringan antara perbuatan meninggalkan shalat dengan kekufuran. Allah ta’ala berfirman memberitakan tentang penduduk neraka ketika ditanya: “Apakah yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?. Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (QS al Muddatstsir: 42-46).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang maknanya: “Induk dari segala perkara adalah Islam dan tiangnya adalah shalat” (HR Ahmad, an-Nasaa’i, at-Tirmidzi dan lain-lain. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih).
Jamaah rahimakumullah.
Hikmah atau pelajaran kedua yang bisa dipetik dari peristiwa isra' mi'raj Yaitu sebagai Salah satu cara Allah menyeleksi orang yang betul-betul beriman atau tidak beriman pada masa Nabi Muhammad. Ketika itu banyak kaum muslimin yang ragu, merasa tidak percaya, mempertanyakan apa yang dilalui oleh Nabi Muhammad Saw. Yang awalnya mereka beriman, awalnya mereka Islam, awalnya mereka dekat dengan Nabi Muhammad Saw. dengan peristiwa isra’ dan mi’raj ini banyak di antara mereka yang akhirnya keluar dan murtad.
Bahkan mereka menuduh Nabi Muhammad Saw. itu sebagai orang yang gila dan tidak masuk akal apa yang dia katakan. Karena Peristiwa Isra Mi’raj bukanlah sebuah peristiwa yang dapat diterima oleh akal, apalagi oleh akal masyarakat Mekah saat itu.
Pada pagi hari setelah diisra’kan Rasulullah merasa tertekan, ia mengetahui bahwa orang-orang akan mendustakannya, ia pun duduk menyendiri dengan termenung dalam kesedihan. Dalam Musnad Imam Ahmad No. 2860, Ibnu Abbas menceritakan: "Saat Rasulullah sedang duduk menyendiri, lewatlah Abu Jahal. Ia bertanya dengan nada mengejek, “Ada sesuatu yang terjadi kepadamu?”, maka Rasul menjawab, “Ya”. Rasul lalu bercerita bahwa ia diisra’kan tadi malam ke Baitul Maqdis, kemudian Abu Jahal bertanya, “Engkau mengaku telah pergi ke Baitul Maqdis (Palestina), kemudian pagi ini engkau telah berada di tengah-tengah kami?”, beliau menjawab, “Ya.”, kemudian Abu Jahal memanggil kaum Rasulullah SAW untuk berkumpul supaya diceritakan oleh Rasulullah SAW perihal peristiwa yang dialaminya. Setelah mereka mendengar cerita tersebut, diantara mereka ada yang bertepuk tangan dan meletakkan tangannya di kepala karena terkesima dan sebagai bentuk pendustaan terhadap Rasulullah.
Salah seorang dari kaum Bani Ka’ab bin Lu’ai yang pernah berkunjung ke Majidil Aqsha berkata, “Jika benar kau telah mengunjungi Masjidil Aqsha, coba tunjukkan kepada kami ciri-ciri masjid itu!” Rasulullah menjelaskan secara terperinci ciri-ciri Masjidil Aqsha, hingga akhirnya orang yang bertanya itu berkata, “Demi Allah, semua ciri yang dia ceritakan adalah benar!”
Namun, mereka yang menyikapi cerita tersebut dengan logika tetap mendustakannya. Para kafir Quraisy menjadikan Isra Mi’raj sebagai alat untuk menjatuhkan wibawa Rasul. Abu Jahal memprovokasi para muallaf untuk murtad, dan tidak sedikit yang murtad.
Abu Bakar adalah sahabat Rasul pertama yang membenarkan Isra Mi’raj. Ia berkata, “Jika Muhammad SAW berkata seperti itu, sungguh dia telah berkata jujur”. Abu Bakar mempercayai Isra Mi’raj tanpa keraguan sedikitpun, dia berkata, “Sungguh, aku tidak ragu sedikitpun apa yang dikatakan Muhammad. Bahkan lebih daripada itu, aku membenarkannya atas berita langit yang datang pada waktu pagi ataupun sore hari.” (HR Imam Hakim, Al-Mustadrak No. 4407).
Jadi, peristiwa isra’ dan mi’raj itu menjadi sebuah peringatan, menjadi sebuah ujian kepada kaum muslimin ketika itu. Apakah mereka masih mempertahankan imannya atau tidak. Orang yang beriman yakin betul bahwa apapun tidak ada yang mustahil bagi Allah. Tetapi orang yang tidak beriman, maka mereka tidak akan percaya sesuatu yang berada di luar nalar dan logika mereka.
Semenjak saat itulah Abu Bakar selalu dipanggil dengan sebutan Ash-Shiddiq (Sang Pembenar). Sikap Abu Bakar yang membenarkan Isra Mi’raj punya pengaruh besar bagi perkembangan Islam di Mekah, dia adalah parameter kepercayaan masyarakat Mekah dalam menyikapi Isra Mi’raj, dia mampu meneguhkan orang-orang yang terguncang iman Islam-nya karena provokasi Abu Jahal dan para kafir Quraisy. Oleh karena itu, Isra Mi’raj adalah peristiwa yang merupakan konsumsi iman bukan logika, hendaknya kita sebagai muslim bersikap seperti Abu Bakar supaya peristiwa Isra Mi’raj ini memeperkokoh iman Islam kita bukan malahan membuat kita meragukan Islam.
Jamaah rahimakumullah
Mari kita jaga shalat kita. Harapan kita, kelak, saat kita meninggalkan dunia ini, dalam keadaan menetapi iman Islam, tidak meninggalkan shalat. Kita meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah, amin ya Rabbal alamin.
Editor : Redaksi