Dinas Sosial Sulsel Serahkan Bantuan untuk 387 Eks Penderita Kusta di Makassar
25 Oktober 2025 22:27
Whoosh cepat sampai, utang pun menggunung. Analisis mendalam soal urgensi kereta cepat Jakarta-Bandung dan jebakan utang China. Benarkah proyek ini perlu? Simak kritik soal cost overrun yang membebani APBN.
BUKAMATANEWS - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh, yang digadang-gadang sebagai lompatan modernisasi transportasi, kini justru menyisakan pertanyaan besar dan beban utang yang menggunung. Bukan sekadar masalah kecepatan, fokus kini beralih pada urgensi, keberlanjutan finansial, dan 'warisan' yang harus ditanggung oleh pemerintahan pasca-Jokowi, termasuk di era Presiden Prabowo Subianto.

Pertanyaan kritis yang mencuat adalah: Untuk siapa sebenarnya proyek yang menelan biaya fantastis ini dibangun? Apakah benar-benar demi kebutuhan mendesak masyarakat?
Dr. Handi Rizsa Idris, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, menyoroti bahwa dihadapkan pada jarak 150 km, masyarakat sebetulnya masih memiliki opsi transportasi yang nyaman dan jauh lebih terjangkau, seperti bus atau kereta reguler. "Jarak 150 km Jakarta-Bandung bagi masyarakat masih nyaman menggunakan moda transportasi bus atau kereta. Karena (Whoosh) belum menunjukkan tingkat urgensi," tegas Handi. Artinya, nilai keharusan (urgensi) proyek ini bagi mobilitas publik masih dipertanyakan.
Dilema Biaya dan "Jebakan" Utang China
Di balik kecepatan Whoosh, tersimpan cerita panjang tentang perubahan skema pembiayaan yang kian memberatkan.
Awalnya, proyek ini disepakati pada tahun 2015 dengan skema business to business (B2B) dan nilai $6,071 miliar dari konsorsium BUMN yang menyetujui proposal China (menggantikan Jepang). Ironisnya, proyek ini tetap dilanjutkan meskipun sempat ditentang oleh Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, karena alasan ketidakvisibelan dan kerugian.
Dalam perjalanannya, biaya proyek justru membengkak ( cost overrun) hingga mencapai selisih Rp21,4 triliun. Beban ini kemudian dialokasikan kepada konsorsium PT KAI, yang harus menanggung 25% dari overrun tersebut.
Namun, bagian terbesar dari pembengkakan biaya, sekitar Rp16 triliun, datang dari pinjaman China Development Bank. Inilah yang dikritik sebagai "jebakan utang" yang membuat akumulasi utang proyek membengkak.
Kondisi semakin menyulitkan ketika China mensyaratkan jaminan dari APBN Indonesia. Hal ini seolah-olah memaksa negara masuk ke dalam skema yang awalnya B2B, melalui skenario di mana PT KAI sebagai ketua konsorsium dianggap berpotensi gagal bayar. Akhirnya, beban APBN tak terhindarkan dengan adanya Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar $9,5 miliar dari pemerintah.
"Ini jelas menunjukkan bagaimana proses transaksi didesain sedemikian rupa 'memaksa dengan skema negara'," tutup Handi.
Pada akhirnya, ambisi kecepatan Whoosh harus dibayar mahal oleh keuangan negara, mewariskan utang besar dan sebuah proyek yang urgensinya bagi rakyat masih menjadi tanda tanya besar di tengah pilihan transportasi yang lebih ekonomis. Beban utang ini kini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan yang menjabat.
25 Oktober 2025 22:27
25 Oktober 2025 19:57
25 Oktober 2025 18:13
25 Oktober 2025 11:39
25 Oktober 2025 10:18