Redaksi : Jumat, 11 Oktober 2024 19:46

JAKARTA, BUKAMATANEWS - Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 Fahri Hamzah mendorong keberadaan Kementerian BUMN di kabinet Presiden terpilih Prabowo Subianto sebaiknya dibubarkan, dan tidak dibentuk.

Sebab, Kementerian BUMN selama ini menjadi alat permainan pasar dan permainan politik dalam kegiatan politik. Sehingga tidak sesuai konstitusi, terutama pasal, pasal 33 UUD NRI yang mengatur soal kegiatan ekonomi.

"Saya pernah menjadi Anggota Komisi VI cukup lama, 5 tahun dan saya menulis buku tentang BUMN. Kesimpulan saya, Kementerian BUMN sebaiknya dibubarkan. Jadi ini mohon maaf kementeriannya yang dibubarkan, bukan BUMN-nya," kata Fahri Hamzah dalam dalam keterangannya, Jumat (11/10/2024).

Hal itu disampaikan Fahri Hamzah saat menjadi narasumber dalam BNI Investor Daily Summit 2024, Accelerating Resilient Growth-Plenary Session Day 2 di Jakarta, Rabu (9/10/2024) sore.

Menurut Fahri, keberadaan BUMN sendiri tidak bisa dibubarkan, karena diamanatkan dalam pasal 33 UUD NRI 1945. Baik pada ayat 1, 2, 3 dan 4, dimana menjadi dasar bagi negara dalam mengatur kegiatan ekonomi.

"Kementerian BUMN selama ini banyak mengirimkan sinyal ganda kepada market. Market kita itu, tidak ada yang fair karena sebagian dari pemain-pemain iitu nebeng dan dompleng kepada negara. Nebeng dan domplengnya macem-macem," katanya.

Atas dasar hal itu, Fahri berkesimpulan bahwa keberadaan Kementerian BUMN sebenarnya tidak diperlukan oleh negara. Negara cukup mengamankan pasal-pasal yang dimandatkan oleh konstitusi.

"Seperti pasal sumberdaya alam, hajat hidup orang banyak, industri strategis. Itu saja yang kita amankan menjadi satu badan atau menjadi satu pengelolaan tersendiri," katanya.

Nantinya, keuntungan dari badan tersebut, tidak menjadi profit, tetapi sebagai kekayaan negara yang dipisahkan atau dana abadi. Dimana suatu saat dana abadi tersebut, digunakan untuk melakukan stimulan kepada industri.

"Akibat kekayaan negara yang tidak dipisahkan itu, maka BUMN kerap menjadi alat permainan bagi penegakan hukum. Kalau dia untung tidak hargai, dan kalau merugi dia disebutkan merugikan kekayaan negara dan masuk penjara," katanya.

Selain itu, dalam pengurusan izin berusaha di Indonesia juga terlalu banyak sumber otoritas yang mengeluarkan pemberian izin dalam kegiatan ekonomi.

"Hal ini tentu saja membuat pasar kebingungan, belum lagi soal banyaknya backing-backing di belakang layar. Hal-hal seperti ini, membuat iklim investasi tidak kondusif dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi," ujarnya.

Kondisi tersebut terjadi, karena ketika negara menciptakan pasar, negara juga membuat 'lapak' untuk berdagang dan bersaing dengan swasta di pasar yang sama.

"Pasti akan pasti menimbulkan ketidakadilan, karena anda kenal dengan polisi, petugas pajak atau petugas bank. Anda juga bisa minta subsidi, dan anda bisa mengontak polisi untuk menangkap klie anda, ketika berselisih di pasar. Ini jelas merusak iklim usaha kita," katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini berharap agar Presiden terpilih Prabowo Subianto bisa membersihkan oknum-oknum negara yang melakukan permainan pasar dan politik dalam kegiatan ekonomi.

"Ke depan itu, kalau kita mau menggiatkan ekonomi pasar, maka hal-hal seperti ini harus mulai dihilangkan. Tidak boleh ada lagi pemain politik pasar di dalam negara. Sehingga pasar tidak akan takut dalam mengambil keputusan," tegas Fahri.

Akibat banyak permainan politik di pasar ini, membuat ketidakpastian dalam kegiatan ekonomi. Permainan ini tidak hanya terjadi lembaga eksekutif, tapi juga di legislatif dan di yudikatif.

"Ketika saya duduk di Komisi VI dulu, kalau rapat dengan BUMN , itu BUMN-nya dipanggil kayak rapat pemegang saham saja. Di situ nggota dewan bawa kontraktor, dan ketika kontraktornya kalah tender, ngamuknya di ruang sidang. Kita jadi kasihan BUMN dan swastanya," ungkap Fahri.

Sementara di Yudikatif, lanjut Fahri, terjadi penyanderaan berbagai proyek, sehingga banyak pembangunan yang mangkrak. Hal ini pernah dilaporkan secara langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara langsung.

"Di eksekutif pun demikian, pemain-pemain pasar ini berhubungan dengan mereka yang bermain di lingkar kekuasaan," ujarnya.

Karena itu, Fahri Hamzah mengingatkan para menteri dari partai politik (parpol) agar patuh dan loyal kepada Presiden, bukan kepada ketua umum parpol mereka.

Sebab, dalam sistem presidensial, negara memberikan otoritas kepada Presiden pemegang kekuasan tertinggi, bukan para ketua umum parpol.

"Jadi kalau ada menteri yang loyalnya kepada ketua umum, bukan kepada Presiden, tentu saja akan mengacaukan konsolidasi negara," katanya.

Apabila negara tidak solid, kata Fahri, akan mengganggu proses pembangunan, kepastian penegakan hukum, kepastian iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi.

"Karena kita tahu sifat pemain ini hanya cari uang. Kalau situasi nggak jelas dia nggak mau turun, tapi kalau ada kekacauan sedikit dia kabur dulu," katanya.

Ia menambahkan, agar investasi datang berbondong-bondong ke Indonesia, maka sebaiknya komisaris BUMN tidak diisi oleh perwakilan parpol agar bisa berkembang.

"Kita harapkan nantinya Pak Prabowo bisa mengirim sinyal kuat kepada market mengenai aturan yang transparan, penegakan hukum dan lain-lain. Saya yakin uang akan berbondong-bondong ke kita dan Indonesia akan menjadi negara maju," pungkasnya.