Redaksi
Redaksi

Rabu, 03 Juli 2024 13:13

UU Cipta Kerja Dinilai Halangi Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan, DPR Siapkan RUU Kepariwisataan

UU Cipta Kerja Dinilai Halangi Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan, DPR Siapkan RUU Kepariwisataan

Komisi X DPR sedang melakukan perbaikan melalui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

JAKARTA, BUKAMATANEWS -Sektor pariwisata harus masuk ke dalam jajaran skala prioritas nasional, bukan hanya sekadar opsi. Sebab itu, Komisi X DPR sedang melakukan perbaikan melalui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Upaya ini dilakukan lantaran demi mengubah paradigma pemerintah, baik pusat dan daerah, agar serius dan konsisten membangun sektor pariwisata yang berkelanjutan.

Perubahan tersebut terkait bagaimana dari yang bersifat wisata yang berorientasi pada jumlah (mass tourism) menjadi wisata yang berorientasi pada kualitas (quality tourism), sebagaimana menjadi titik berat dalam perubahan UU tersebut.

Demikian pernyataan tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat membuka agenda Forum Legislasi bertema 'Menilik Urgensi RUU Kepariwisataan di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2024).

Ia menegaskan mengukur ‘profit’ sektor pariwisata dengan hanya berdasarkan jumlah wisatawan (mass tourism) saja tidak adil.

"Pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) bermakna bahwa kita tidak ingin sekadar mendorong orang-orang berbondong-bondong untuk mengunjungi wisata lalu mendatangkan keuangan bagi wilayah setempat. Tapi, ingat, sudut pandangnya harus diubah, bukan sekadar menambah jumlah kunjungan, tetapi juga bagaimana tetap mempertahankan ekosistem setempat supaya tidak rusak," ucap Ledia.

Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) itu menyampaikan sektor pariwisata perlu dikelola dengan nilai kehatian-hatian.

Pasalnya, meskipun berpotensi besar menjadi bagian dari tulang punggung ekonomi negara, kekayaan hayati, maritim, sosial, dan budaya milik bangsa Indonesia juga harus dilindungi dengan sepenuh hati.

"Kita tahu bahwa pemerintah sempat meletakkan satu treatment khusus (seperti adanya pariwisata destinasi superprioritas agar) pariwisata itu akan menjadi tulang punggung ekonomi, sesudah Minerba. Tetapi ketika kita lihat (pariwisata superprioritas) belum didorong dengan semestinya dan belum mendapatkan perhatian yang besar seperti yang dikatakan (oleh Kemenparekraf). Jadi, kami harap RUU ini bisa mengubah paradigma mengelola pariwisata," tandasnya.

Sebagai informasi, pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah gagasan yang mengusung pengembangan dan pengelolaan sektor pariwisata dengan mempertimbangkan segi lingkungan, sosial, budaya, maupun ekonomi.

Dengan memprioritaskan keberlanjutan dalam pengembangan pariwisata, pemerintah dan komunitas dapat menciptakan destinasi wisata yang tidak hanya memikat untuk dikunjungi, tetapi juga bertahan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, gagasan pariwisata berkelanjutan perlu dimulai dengan perbaikan regulasi. Harapannya, perbaikan regulasi terkait pariwisata bisa membangun inisiatif para pemangku kepentingan, yang telah diambil oleh sektor publik, untuk mengatur pertumbuhan pariwisata supaya pariwisata berkelanjutan menjadi prioritas negara.

Di sisi lain, perbaikan regulasi diharapkan setiap usaha atau bisnis lebih bertanggung jawab untuk melindungi sumber daya yang penting bagi pariwisata, baik kini maupun masa depan.

Pengamat Pariwisata Azril Azahari mengakui penyusunan revisi UU Kepariwisataan terhalang Undang-Undang Cipta Kerja.

“Jadi banyak hal yang harus kita sinkronisasi ke sana,” ujar Azril.

Ia juga memiliki kesamaan pandangan dengan Ledia, bahwa pariwisata sudah bergeser paradigmanya pada pariwisata dunia.

Dahulu di era 80-an, katanya kebanyakan target wisata masih berkutat pada jumlah wisatawan. Tapi sekarang lebih pada Land of Sale. Yaitu targetnya pada berapa banyak uang yang dibelanjakan.

Dengan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional mencapai 15%, dalam pandangan Azril tidak sampai 10% makanya sebenarnya sektor pariwisata belum menjadi sektor unggulan.

Hal lain yang menjadi penekanan Azril adalah belum adanya pemetaan secara jelas dari pemerintah, tentang tujuan dari kunjungan wisata. Sebab, menurutnya ada dua hal berbeda dari visitors, yaitu antara turis dengan pelancong.

Turis, menurutnya keberadaannya di sebuah destinasi wisata biasanya hanya dalam hitungan hari. Sedangkan pelancong biasanya lebih lama.

Kesalahan dalam memetakan antara turis dengan pelancong dapat berakibat pada target pendapatan darfi sektor pariwisata.

Sementara itu, Praktisi Media Mokhamad Munib mengakui penyusunan revisi UU Kepariwisataan akan banyak menemui jalan terjal.

Munib mengatakan seperti Disiounngu Ledia terkait keterkaitan dengan UU Cipta Kerja yang tidak bisa mengubah pasal per pasal atau sebagian dari sebagai dari UU Cipta Kerja, tetapi harus mengubah secara keseluruhannya.

Misalnya untuk tenaga kerja asing dalam UU Cipta Kerja, apabila ingin menghapus bagaimana kelanjutannya? Apakah setiap tempat wisata harus ada tenaga kerja asingnya secara bebas atau tidak.

“Ini kan bisa menjadi masalah,” ujar Munib.

Penulis : Surya Irawan - Surya Irawan
#Cipta Kerja #DPR RI

Berita Populer