Redaksi : Kamis, 06 Januari 2022 00:33
Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta

BUKAMATA - Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) seharusnya dihapuskan karena akan semakin menggerus kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun, ambang batas parlemen perlu dipertahankan tanpa harus dinaikan lebih tinggi lagi untuk menjaga pluralitas politik.

Pemilu 2019 menjadi catatan buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Pasalnya, banyak penyelenggara pemilu meregang nyawa akibat sistem pemilu serentak.

"Persyaratan presidensial threshold (20 persen kursi DPR) menyebabkan polarisasi yang sangat tajam,” tegas Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta dalam diskusi virtual Gelora Talk bertema 'Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?', Rabu (5/1/2022). dengan menghadirkan narasumber Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, politisi Fahri Hamzah serta Pendakwah Nasional Haikal Hassan Baras.

Menurutnya, sistem tersebut berpengaruh pada penciptaan polarisasi yang sangat tajam. Pihak penyelenggara pemilu serentak pun melahirkan situasi yang overload hingga menyebabkan banyak menelan korban.

"Ini kalau kita menyampingkan teori konspirasi, tapi angka 900 lebih hilang nyawa dari penyelenggara Pemilu itu. Artinya untuk setiap satu kursi DPR RI ada hampir dua nyawa yang jadi korbannya, itu angka yang sangat besar,” ucapnya.

Anis menambahkan, pengalaman demokrasi yang sangat buruk itu harus dijadikan pembelajaran penting bagi pemerintah.

Belum lagi, daftar pemilih dalam Pemilu 2019 dikurangi dengan adanya suara rusak serta partai yang tidak lolos threshold. Maka, total anggota DPR yang ada di Senayan kurang dari 50 persen dari angka 575 tersebut.

“Artinya itu juga menunjukkan keterwakilan antara persentasi sangat ini salah salah satu dari hal-hal yang ingin evaluasi di Partai Gelora sebagai bagian dari usaha pembenahan pada sistem politik kita,” tutupnya.