Redaksi
Redaksi

Selasa, 12 Januari 2021 18:49

Kotak hitam jenis FDR Sriwijaya Air SJ182 sidah ditemukan.
Kotak hitam jenis FDR Sriwijaya Air SJ182 sidah ditemukan.

Kotak Hitam FDR Sriwijaya Air Sudah Ditemukan, Ini Fungsinya

Kotak hitam SJ182 sudah ditemukan. Namun baru Flight Data Record. Sedangkan Cockpit Voice Recorder masih dicari.

JAKARTA, BUKAMATA - Kotak hitam Flight Data Recorder (FDR) milik Sriwijaya Air SJ182 sudah ditemukan. Sudah diserahterimakan dari Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto kepada Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Bagus Puruhito yang langsung menyerahkan ke Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono.

Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkapkan proses penemuan FDR black box pesawat Sriwijaya Air SJ182. Hadi menyebut tim penyelaman TNI AL awalnya menemukan pecahan dari FDR.

"Hari ini tepat jam 14.00 Kepala Staf Angkatan Laut menyampaikan informasi kepada saya bahwa sesuai dengan perkiraan yang sudah ditentukan di wilayah yang sudah ditandai telah ditemukan bagian dari flight data recorder pada jam 14.00," kata Hadi.

Lalu dilakukan pencarian di lokasi yang sama hingga ditemukan bagian FDR yang lainnya.

"Kepada Staf menyampaikan bahwa bagian yang ditemukan justru adalah pecahan dan underwater acoustic beacon yang fungsinya memberikan sinyal dan saya sampaikan kepada KSAL agar terus dicari FDR yang kemungkinan besar masih di wilayah yang menjadi perkiraan kita semuanya," jelasnya.

Hadi mengatakan pada pukul 16.40 WIB bagian FDR ditemukan kembali. Saat ini tim masih mencari Cockpit Voice Recorder (CVR).

Apa itu FDR dan apa bedanya dengan CVR?

FDR ini merekam data-data penerbangan. Menurut investigator KNKT, Moch Haryoko, alat ini merekam data-data teknis pesawat seperti ketinggian, kecepatan, putaran mesin, radar, auto pilot dan lain-lain. Ada 5 sampai 300 parameter data penerbangan yang direkam dalam black box ini. 

FDR mempunyai durasi rekaman hingga 25-30 jam. Artinya setelah 25-30 jam, data akan terhapus dengan sendirinya. CVR dan FDR ini akan hidup secara otomatis apabila mesin pesawat dihidupkan.

Kendati merekam data-data penerbangan, FDR ini tidak kalah penting. "FDR sangat perlu karena membaca ketinggian pesawat," jelas Mardjono. 

Data yang diperoleh lantas ditampilkan dalam bentuk grafik maupun transkrip apabila data tersebut berupa percakapan. Kemudian data bisa divisualkan dengan animasi melalui software, yang salah satunya bernama Insight View. Dengan demikian bisa diperkirakan posisi pesawat terakhir sebelum kecelakaan.

Sedangkan CVR, sesuai namanya Cockpit Voice Recorder, merekam data-data percakapan pilot di dalam kokpit. Menurut analis dan investigator kotak hitam Nugroho Budi, CVR ini ada 4 saluran yang merekam percakapan.

Saluran 1 terhubung dengan pengeras suara yang biasa digunakan pramugari kepada penumpang Saluran 2 terhubung dengan co-pilot 

Saluran 3 terhubung dengan pilot yang terhubung dengan air traffic controller (ATC) 

Saluran 4 merekam seputar suasa kokpit, misalnya mesin yang berisik atau hujan. 

"Singkatnya CVR adalah perekam yang dihubungkan dengan sistem audio," jelas Budi.

Menurut Investigator In Charge (IIC) untuk kecelakaan SSJ 100, Prof Mardjono Siswosuwarno, CVR itu juga bisa merekam suara-suara instrumen di kokpit.

"Paling tidak ada 3 kanal kita dengarkan. Apa yang terdengar di kokpit itu instrumen juga bisa didengarkan, bunyi alarm dan lain-lain. Pembacaan seminggu mudah-mudahan selesai," jelas Mardjono yang juga guru besar Teknik Penerbangan ITB ini.

Sementara menurut Kasubag Pelayanan Investigasi dan Penelitian KNKT, Moch Haryoko pada 2007 lalu, durasi perekaman untuk CVR adalah 30 menit. Maksudnya setiap 30 menit data percakapan akan terhapus dan diganti dengan yang baru secara otomatis. 

Dalam laporan final KNKT yang bisa dilihat di situsnya, KNKT membandingkan antara data CVR dan FDR tersebut. Misalnya saat pilot meminta pada ATC, saat itu ketinggian pesawat berapa dan kecepatan angin berapa. 

Hal ini bisa dilihat dalam laporan final KNKT, seperti kecelakaan Merpati Nusantara Airlines dengan pesawat MA-60 di Kaimana 7 Mei 2011 lalu. KNKT menyusun kronologi data CVR dan FDR ini dalam tabel berlini masa UTC/Coordinated Universal Time. 

Dalam detik-detik kecelakaan, kolom UTC Time ditulis "0448.43", sedang di CVR kala Enhanced Ground Proximity Warning Systems (EGPWS) atau Terrain Awareness and Warning System (TAWS) alias sistem untuk mengindari tumbukan pesawat berbunyi, KNKT menuliskan kolom CVR seperti: EGPWS sounded “two hund....” followed by warning “terrain, terrain”. 

Sedangkan di sampingnya, data dalam FDR, KNKT menuliskan, "151 feet radio altitude, 158 knotsairspeed, bank angle 28° to the left,70% left and 82% right engine torque, heading 301 degree, vertical speed 2944 fpm down".

Dengan demikian apa yang dilakukan pilot di dalam kokpit dengan kondisi lingkungan eksternal pesawat bisa diketahui.

Kedua jenis peranti ini dilengkapi Underwater Locator Beacon (ULB) yang bisa mendeteksi bila pesawat ini jatuh ke laut. ULB ini merupakan transmitor yang akan memancarkan gelombang akustik untuk memudahkan pendeteksian.

Black box sengaja didesain untuk tahan air, tahan benturan, dan tahan panas. Benda ini bisa tahan air sampai dengan 2 bulan. "Tahan panas bisa sampai 1.000 derajat, tapi dalam waktu terbatas, tidak terus menerus seribu derajat. Kalau black box rusak itu artinya rusak luarnya. Memorinya tidak," terang Budi. 

Black box juga diberi warna mencolok, oranye, sesuai standar ICAO dan agar mudah ditemukan. "Black box adalah sesuatu yang hitam, diartikan sesuatu yang mengandung misteri. Kenapa warnanya oranye? Karena itu yang paling mencolok di mata. Warnanya tidak kamuflase," ujar Budi.

Kedua black box ini juga ditaruh di bagian belakang, tepatnya di bagian ekor pesawat. "CVR dan FDR diletakkan di bagian pesawat yang paling aman yaitu di ekor pesawat. Di ekor karena kalau ada apa2 dia tidak frontal. Sudah ada studi bahwa area yang paling aman adalah bagian ekor pesawat," terang Budi.

#Tragedi Sriwijaya Air #Pesawat Jatuh