BUKAMATA - Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (UNILA) mengalami rentetan intimidasi karena menyelenggarakan diskusi bahas tentang Deskriminasi Rasial terhadap Papua.
Kejadian ini bermula saat Pemimpin Umum Teknokra, Chairul Rahman Arif menerima 8 kali panggilan lewat gawainnya saat sedang makan bersama Ketua AJI Bandarlampung, Hendry Sihaloho, dan Dian Wahyu Kusuma, Sekretaris AJI Bandarlampung. Penelepon mengaku alumni UNILA.
Chairul Rahman Arif kemudian ditelepon Wakil Rektor Kemahasiswaan dan Alumni Prof Yulianto untuk menghadapnya di ruangan kerjanya. Lalu, Dia bersama dan Editor Teknokra, Yesi Sarika menemui Prof Yulianto.
Hasil pertemuan itu, Prof Yulianto menyampaikan untuk menunda diskusi yang diselenggarakan oleh Teknokra karena dihubungi oleh BIN. Serta, Prof. Yulianto menyarankan menambahkan pembicara diskusi.
Kru Teknokra berdiskusi kembali hasil dari masukan Prof. Yulianto dan dari dewan pembina Teknokra untuk menambah pembicara diskusi. Setelah mendengar masukan dan arahan, pengurus Teknokra akan tetap menjalankan dengan narasumber yang sudah ada.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Teknora Mitha Setiani Asih mendapat pesan kode OTP dari salah satu ojek daring. Awalnya tidak curiga dan mengabaikannya. Tak berselang lama, Whatsapp Mitha menerima telepon dan chat dari banyak driver ojek daring.
Driver menanyakan pesanan oleh akun ojek daring Mitha. Padahal, Mitha sama sekali sedang tidak memesannya.
Sembari membalas chat dan mengangkat telepon bertubi-tubi dari driver sekaligus untuk konfirmasi kalau Mitha tidak memesannya. Tetiba, sudah ada dua driver ojek daring yang sampai ke depan Grha Kemahasiswaan Unila mengantarkan makanan.
Mitha dan Irul menjelaskan kedua ojek daring yang telah sampai itu kalau mereka tidak memesannya dan masih banyak driver lainnya yang akan mengantarkan makanan juga. Sesuai arahan dari driver ojek daring untuk meminta Mitha membatalkan seluruh pesanan yang di dalam aplikasi ojek daring.
Namun, Mitha sudah tidak dapat lagi membantalkan banyak pesanan makanan itu karena sudah pada proses diantarkan. Alhasil, para ojek daring itu juga membantu Mitha untuk menelpon Call Center ojek daring untuk membekukan akun Mitha.
Sembari menunggu satu jam itu supaya benar tertutup akun ojek daring Mitha, masih terus berlanjut para driver-driver menelpon dan chat whatsaap untuk konfirmasi pesanan. Serta ada yang masih berdatangan para driver ojek daring untuk anter makanan.
“Bagaimana nasib driver gojek dan makanannya. Saya tahu sekali rasa sakitnya dicancel dan menunggu satu jam para drivernya supaya bisa terima orderan lagi. Saya tau perasaan mereka karena pernah jadi driver gojek juga,” ungkap Mitha.
Melihat situasi Sekretariat UKPM Teknokra di Grha Kemahasiswaan sudah tidak aman. Kru Teknokra, Irul dan Mitha. Serta Sri Ayu Indah Mawarni, Redaktur Daring, mengamankan diri di suatu rumah yang aman.
Barang-barang sekret kamera dan handycame turut dibawa. Mereka dibantu Silviana alumni Teknokra untuk diantarkan ke rumah aman.
Saat mengamankan diri, Pemum Teknokra terus diteror dengan kata-kata ancaman dan menuduh provokasi. Bahkan mengirimkan data-data identitas lengkap Chairul Rahman dan orangtuanya bersama foto yang persis di KTP.
Supaya juga mengamankan diri dari para driver yang berdatangan di depan Grha Kemahasiswaan yang sudah mulai emosi karena order fiktif itu.
Tidak hanya itu, para peneror mulai meretas akun-akun media sosial UKPM Teknokra, Facebook dan Yahoo. Beruntungnya masih bisa diambil alih lagi, untuk diamankan.
Para peneror juga salah sasaran malah meretas akun IG Lembaga Pers Mahasiswa Teknokrat Tv bukan Teknokra Unila. Selanjutnya, peneror mulai meretas akun media sosial Mitha dan alumni Teknokra Khorik Istiana yang menghapus seluruh thread twiitternya.
Mitha mengatakan tindakan intervensi ini yang harus kita kecam bersama-sama. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat sebagai warga Indonesia telah dibatasi. Membungkam suara dengan menakut-nakuti lewat jalan kotor, peretasan, pengacaman, dan merugikan pihak driver ojek daring.
“Kejadian ini bisa menimpa kita semua jika kita tetap diam. Boleh tidak suka dengan isinya, tetapi tidak dengan membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi sejak Sekolah Dasar kita sudah sepakat bahwa Semboyan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Papua adalah bagian dari Indonesia. Menghargai keberagaman dan mencintai keunikan masing-masing itu Indonesia,” tutup Mitha.