Redaksi : Kamis, 16 April 2020 08:42
FOTO: Bukamatanews.id

BUKAMATA - Sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat menghadapi kondisi tantangan sekarang. Menurut pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji, model pembelajaran satu arah yang masih berjalan di sebagian besar sekolah membuat anak-anak Indonesia tidak siap menghadapi abad 21.

"Sekarang kenapa guru kesusahan kerja dari rumah, pendidikan kesulitan. Artinya pendidikan tidak sesuai zaman," ujarnya di kutip CNNIndonesia.com.

Kondisi ini dilihat dari kebiasaan anak-anak yang tidak bersikap kreatif, inovatif, dan mampu memecahkan masalah. Siswa hanya tahu didikte, menghafal, mendengarkan penjelasan guru, tanpa dibiasakan untuk komunikasi dua arah.

"Setiap tahun anggaran pendidikan bisa sampai Rp500 triliun, tapi kok pembelajaran daring saja kita begitu kacau. Artinya anak-anak Indonesia tidak siap menghadapi abad 21," tutur Indra.

Akibat kurangnya pemahaman terhadap kurikulum yang didesain pemerintah pusat, ia menilai guru hanya mengajar sesuai pemahaman masing-masing.

Orang tua pun terbiasa mengandalkan pihak eksternal, mulai dari sekolah hingga bimbingan belajar, dalam mendidik anak. Akhirnya terjadi kebingungan ketika proses belajar terpaksa dilakukan di rumah.Dalam hal ini Indra mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memandu guru dan orang tua dengan petunjuk teknis yang jelas untuk membimbing anak belajar di rumah.

"Itu yang sebetulnya harus dipandu sekarang, sekarang kan dibiarkan saja. Guru nggak dipandu oleh Kemdikbud. Orang tua juga nggak dipandu. Semua chaos saja," pungkasnya.

Terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto juga menyatakan hal serupa. Ia menilai Kemendikbud harus membuat program belajar dari rumah dengan teknis yang jelas.

Ia mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan program belajar dari rumah. Salah satunya terkait kondisi ekonomi dan budaya masyarakat.

Dari sisi ekonomi ia menilai pembelajaran daring tidak bisa dilakukan merata, karena masih banyak siswa yang tak memiliki akses terhadap teknologi, atau tak mampu membayar biaya belajar daring.Sedangkan dari sisi budaya, Kemendikbud mesti memperhatikan budaya siswa yang belum bisa belajar mandiri.

"Culture kita itu tidak bisa belajar mandiri, harus ada guru. Ketika tidak ada guru belajar dari rumah gak ada guru dianggap libur bukan sekolah di rumah," jelasnya.

Suyanto menilai dalam situasi seperti ini langkah membuat kurikulum darurat perlu dipertimbangkan dengan matang. Jika tidak, implementasinya bisa berdampak panjang.

Ia mengingatkan perubahan kurikulum tidak segampang membalik telapak tangan. Bahkan, memangkas materi kurikulum saja bisa berdampak besar.

"Misalnya kurikulum disederhanakan, akan banyak guru yang tidak dapat jam belajar. Itu bisa jadi masalah. Dan kalau permasalahannya menyangkut banyak hidup orang itu bisa jadi politis, dan bisa mengganggu stabilitas [negara]," tambahnya.Sejak wabah corona merebak, sebagian besar daerah melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari rumah. Namun implementasinya tak berjalan mulus.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima setidaknya 213 keluhan siswa soal tugas menumpuk selama PJJ. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendapati 58 persen anak mengaku tidak senang menjalani program Belajar dari Rumah.

Sedangkan keterbatasan fasilitas komunikasi menghambat aktivitas mengajar guru. Tak jarang guru mengajar di sekolah yang siswanya tak punya akses teknologi, sehingga komunikasi terputus.