Prof Agus Pakpahan: Guremisasi Pertanian Menakutkan
"Ke depan, politik ekonomi kita harus mencerminkan semangat patriotisme founding father kita," ujar Prof Agus Pakpahan.
BUKAMATA - Bukan Covid-19 yang menakutkan. Tapi guremisasi pertanian. Itu diungkap pakar ekonomi pertanian, Prof Agus Pakpahan. Apakah itu guremisasi pertanian?
Dalam Zoominari yang dipandu Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, Prof Agus Pakpahan mengungkapkan, evolusi kita macet. Pertanian seperti sawit, sudah memberikan jutaan ton. Terbesar di dunia. Tapi kemudian tidak berlanjut dengan industrinya.
"Beras juga sama. Jutaan ton. Tidak ada tuh power plant menggunakan sekam padi. Macet lagi evolusinya," jelasnya.
Kenapa macet? Menurut Agus, ada beberapa hipotesa. Pertama kata dia, kita tidak bisa keluar dari track yang dibangun Belanda. Kita juga tidak pernah keluar dari blue print yang dibikin Belanda.
Beda dengan Jepang. Pada tahun 1900-an, Jepang dicap sebagai bangsa pemalas. Jepang kata Agus, beda budayanya. Tahun 90-an Jepang bisa bikin Toyovet. Ini beda dengan kita.
"Jepang punya semangat patriotisme. Nasionalisme. Sehingga dia bisa terjang blokade pemikiran itu. Karena, yang namanya penjajahan, yang namanya ekonomi, adalah proses pemerdekaan. Di situ perlu hero," terangnya.
Ini kata Prof Agus, tanggung jawab kaum intelektual. Orang Jepang kata dia, tahu bagaimana menghayati bunga uang itu akan menyebabkan jadi pemalas. Itu makanya dinolkan. Karena, berbahaya bagi masa depan Jepang.
"Kita bicara petani ini. UKM dikenakan bunga 17 persen. Korporasi 9 persen. Dalam tempo berapa tahun, kalau bunga 17 persen, utang kita menjadi dua kali lipat. Makin tinggi itu bunga, makin tidak ada visi masa depan," terangnya.
Kalau bunga nol persen kata Prof Agus, maka terjadi invalid planning horison. Jadi, Jepang membuat perencanaan dalam tempo yang tidak terbatas. Ini menurut Prof Agus, tanggung jawab kaum intelektual.
"Paling tidak saya ambil referensi Jepang, pasti ada perdebatan panjang. Bunga nol persen itu, saya dengar 4 lawan 5," tambahnya.
Sistem yang kita ikuti selama ini lanjut Prof Agus, ada di jalan buntu. Pertanian menggurem.
"Guremisasi tinggi. Industri menggurem. Jadi mau kemana dua sektor yang sangat penting ini? Mengecil," terangnya.
Prof Agus mengaku terkejut. Pasalnya, berdasarkan angka BPS, jumlah petani gurem meningkat. Dari 2013-2018 lebih dari 50 persen.
"Ini menurut saya menakutkan. Bukan Covid yang menurut saya menakutkan, tapi guremisasi. Di sini bertentangan antara keperluan ketahanan pangan, kontradiksi guremisasi. Industri yang kita harapkan mengangkat bangsa ini, tidak tumbuh," terangnya.
"Saya lebih takut guremisasi dari pada covid," ungkapnya sambil tertawa.
Indonesia lanjut Prof Agus, merdeka pakai bambu runcing. Menurutnya, itu seharusnya bisa melecut semangat.
"Ada dua buku yang penting kita baca. Satu dari seorang penulis Jepang, Kanno. Dia tidak bisa melihat ke arah mana Indonesia akan berjalan. Dia menunjukkan data kepada kita sejak 1850 dipenggal-penggal jaman Hindia Belanda, Indonesia Merdeka, sampai sekarang, belum ada perubahan fundamental dalam ekonomi bangsa Indonesia. Itu makanya kita selalu krisis. Sekarang kita guremisasi," ungkapnya.
Satu buku lagi. Ditulis Chan. "Bad Summerism". Di situ kata Prof Agus, menunjukkan Jepang bisa berubah dengan kemasan budaya. Merdeka pun dengan kemasan budaya.
"Marilah kita melihat apa yang diwariskan leluhur untuk keluar dari krisis ini," terangnya.
"Dalam kerangka jangka pendek. Misalnya, kita tidak pernah melihat sawah itu sebagai inovasi yang dahsyat dari leluhur kita. Kita hanya melihat sawah itu sebagai tempatnya petani gurem kita. Jadi kita buat gurem," terangnya.
Padahal sawah itu lanjut dia, katakanlah sudah memberikan 70 juta ton. Berapa itu bahan bakar sekamnya, berapa itu silikanya. "Ini dikawinkan dengan iklim tropika kita. Banyak air, panas, lembap, cepat pembusukan. Masukkan sekam itu ke mina padi, praktis itu ajaran leluhur kita," terangnya.
"Maksud saya, mungkin kita bisa petakan knowledge yang sudah teruji ribuan tahun. Kalau green revolution mungkin hanya berapa tahun," tambahnya.
Sawah ini kata Prof Agus, sudah lebih 1000 tahun di leluhur kita. Inilah supaya kita tidak terlalu cepat berpikir. Kita gali dari dalam. Perkebunan itu kan buah pikiran Belanda. Kita harus curi bagaimana yang terbaik untuk Indonesia.
"Perkebunan itu, kita hanya diajari untuk menanam. Lalu diangkut secepat-cepatnya. Kecuali tebu dan CPO. Karena tidak bisa diangkut. CPO itu dibikin minyak. Kalau diukur dengan complexity index, negatif 2 itu. Bagaimana kita mau bangun industri, ekonomi complex kita masih minus 0,7," terangnya.
Menurut Prof Agus, selama reource kita terbengkalai, kita akan rusak. "Di mana titik lemahnya, RND belum dipandang sebagai bagian dari investasi. Inilah titik lemah dari pertanian," terangnya.
Prof Agus bilang, kita perlu kembali ke semangat. Apakah kebijakan yang kita lahirkan itu, dalam bidang pertanian terutama, itu mencerminkan pertanian tidak.
"Saya melihat, banyak kebijakan kita tidak membesarkan kita. Tabel input output BPS menunjukkan, setiap kita mengimpor 7 juta ton gula, kita berpotensi menganggurkan 2,3 juta orang di pedesaan dan 800 ribu orang di urban. Tapi politik ekonomi kita mengimpor," terangnya.
"Sehingga perbaikan kita ke depan, politik ekonomi kita harus mencerminkan semangat patriotisme founding father kita," pungkasnya.