Faisal Basri: Bantuan Sosial Jangan Sembako, Lebih Baik Tunai, Agar Ekonomi Bergerak
Ekonom Senior, Faisal Basri menganggap, seharusnya bantuan sosial ke rakyat diberikan dalam bentuk tunai, sehingga bisa memberdayakan warung tetangga.
JAKARTA, BUKAMATA - Narasi Institute kembali menggelar zoominari. Dipandu founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, kali ini menghadirkan salah satu pembicara, Ekonom Senior, Faisal Basri.
Pada kesempatan itu, Faisal Basri mengungkapkan, tidak ada hubungan antara naik kelas dengan pandemi. Kata dia kita naik kelas 2019. Harusnya kata dia, 2018 itu kita sudah naik kelas. Namun, Nilai tukar rupiah terhadap dolar pada 2018 itu jeblok.
"Oke kita sudah naik kelas dengan USD4.050 per kapita. Pendapatan kotor. Kira-kira lima dolar di atas ambang batas bawah income negara berpendapatan menengah ke atas," jelasnya.
Jadi kita kata Faisal Basri, satu-satunya negara yang naik kelas dari negara yang berpendapatan menengah ke bawah ke negara berpendapatan menengah ke atas.
Kemudian ada negara naik kelas dari lower middle, itu Benin. Ada pula yang naik dari Upper Middle ke High Income, yakni, Mauritius, Nauru dan Rumania.
Ada pula yang turun kelas dari Upper Middle ke Lower Middle, yakni Tanzania, Srilanka, dan Aljazair.
Itu lanjut Faisal, sekadar angka saja. Kemungkinan besarnya kata dia, negara kita naik kelasnya satu tahun. 2020 ini, kita turun lagi. "Mudah-mudahan 2021, kita naik kelas lagi," tambahnya.
Tak naik kelas pun kata dia, kita tak lagi memperoleh GSP dari Amerika. Kalau produk kita ke Amerika kata dia, kena biaya masuk. Kita juga tidak mendapat lagi fasilitas Official Development Assistance (ODA), karena kita sudah middle income.
"Itu tidak ada kaitannya dengan covid. Nah, Covid kita kemungkinan besar akan turun lagi tahun ini," ungkapnya.
Menurut Faisal, kita harus bisa menjaga agar tetap on the right track. Kuncinya lanjut dia, adalah bagaimana kita bisa mengendalikan Covid-19.
Ekonomi kata dia, sangat bergantung pada penanganan Covid-19. Jadi lanjut dia, jangan dibalik-balik, ekonomi dulu covid belakangan.
Hiruk pikuk pemerintah sambung Faisal, masih bussiness in usual. Sense of crisis rendah. "Itu pak Jokowi bilang," cetusnya.
"Pak Jokowi jangan mengeluh terus. Dia punya kuasa mengendalikan dan melakukan langkah luar biasa. Tapi Perpres Nomor 1 2020 yang dijadikan UU Nomor 2 2020, bukan tentang emergency planning menghadapi covid. Tapi itu adalah untuk menjaga stabilitas sektor keuangan. Wajar kalau penanganan covid amburadul, Karena panglimanya tak jelas. Apakah Luhut Panjaiitan, atau mentan, atau Menhan. Kita tidak tahu," ungkap Faisal.
Dia menambahkan, datanya juga terkesan disembunyikan oleh Menkes. "Angka kematian sudah melewati 15 ribu. Tapi yang tercatat baru 3000. Katanya nanti masyarakat kalut kalau disampaikan yang sebenarnya," papar Faisal.
"Jadi ayo, seluruh sumber daya kita kerahkan untuk tangani covid dulu. Semakin amburadul, prospek ekonominya semakin tidak jelas," tegasnya.
Faisal mengibaratkan, kita menaruh air di ember bocor. Ini kata dia, soal sense of ciris. Kenapa anggaran pertahanan tidak dipotong. "Masa cuma Rp9 triliun. Anggaran pertahanan satu-satunya di atas Rp100 triliun," jelasnya.
Faisal juga melihat penanganan covid-19 di Indonesia, justru mematikan usaha kecil. Padahal kata dia, seharusnya usaha kecil, usaha mikro, ultra mikro diberdayakan.
"Ada dana Rp63 triliun, dipakai beli sembako. Diserahkan ke rakyat itu dalam bentuk sembako. Rakyat tidak beli lagi di warung tetangga," ungkapnya.
Sembako itu lanjut Faisal, justru dibeli pemerintah di pabrik, dikemas lalu dibagikan. Harusnya kata dia, rakyat itu diberikan uang tunai saja.
"Rakyat yang diabetes tidak beli beras. Rakyat yang ada anak kecilnya bisa pakai beli susu," ungkapnya.
Indonesia sambung Faisal, sangat beragam. Covid ini kata dia, mengajarkan kepada kita, bahwa kuncinya ada di daerah. Jangan sampai pemerintah pusat menarik-narik untuk atau mengambil kewenangan daerah, sehingga semakin sentralistik.
"Ayo kita perkuat daerah. Perkuat otonomi. Hanya daerah yang kuatlah yang membuat Indonesia kuat. Hanya daerah yang tahu masalah yang mereka hadapi. Budaya berbeda, sehingga cara penanganannanya juga berbeda," paparnya.
Faisal juga meminta para ahli harus dilibatkan dalam penanganan ini. Menurutnya, dulu pernah dilakukan. Sekarang tidak lagi.
"Di Bappenas dulu beragam. Sekarang teknokratik yang semakin tawar. Semua serba bagai mesin. Tidak berjiwa. Kita harus semangat kolaboratif. Tidak bisa sektoral," ungkapnya.
Krisis ini lanjut Faisal adalah pembelajaran. Menurutnya, kita tidak belajar dari krisis 1998, kita tidak belajar dari krisis 2008. "Kalau ada krisis kita selalu mau penyelesaiannya lewat utang," tegas Faisal.